Cegah Perlambatan Ekonomi Kawasan, ASEAN Perkuat Rantai Pasok Regional
Kondisi ekonomi global yang tak tentu bisa merambat pada melemahnya pertumbuhan ekonomi kawasan. Menteri-menteri ekonomi ASEAN pun menyepakati penguatan kerja sama ekonomi dan rantai pasok regional yang lebih inklusif.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk mengantisipasi risiko perlambatan ekonomi kawasan di tengah ketidakpastian global, negara-negara Asia Tenggara bersepakat memperkuat rantai pasok regional yang lebih inklusif. Keterlibatan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah sebagai tulang punggung ekonomi kawasan yang selama ini sulit menembus pasar global akan lebih terjamin.
Pada tahun 2022, total nilai produk domestik bruto (PDB) ASEAN tercatat 3,6 triliun dollar AS. Di antara negara-negara anggota ASEAN, Malaysia mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi (8,7 persen), disusul Vietnam (8 persen), Filipina (7,6 persen), Indonesia (5,31 persen), dan Kamboja (5,1 persen).
Meski demikian, perekonomian negara-negara ASEAN lainnya masih sulit bangkit selepas pandemi. Brunei Darussalam dan Timor Leste masih mengalami pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi. Sementara perekonomian Kamboja, Myanmar, dan Laos belum kembali ke kondisi prapandemi.
Di tengah proses pemulihan yang masih berlangsung itu, kondisi ekonomi global semakin tidak pasti. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Minggu (3/9/2023), mengatakan, proyeksi perekonomian global yang tak tentu ke depan ikut mengindikasikan adanya potensi perlemahan dan ketidakpastian pertumbuhan ekonomi di kawasan.
ASEAN menghadapi kompleksitas tantangan, seperti efek rambatan tensi geopolitik, rantai pasok global yang semakin terfragmentasi, tuntutan transisi hijau, inovasi digital, serta pertumbuhan inklusif. Penguatan integrasi ekonomi kawasan pun penting untuk menjamin ketahanan ekonomi ASEAN di tengah ancaman krisis dan perubahan lanskap ekonomi global.
”Kondisi ekonomi ke depan sangat dinamis dan penuh tantangan. Kita harus meningkatkan kerja sama dan integrasi ekonomi kawasan melalui penguatan arsitektur perdagangan dan rantai pasok regional,” katanya seusai pertemuan ASEAN Economic Community Council (AECC) ke-23 di Jakarta.
Proyeksi terbaru Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperkirakan, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata negara ASEAN tahun ini akan melambat menjadi 4,2 persen, lebih rendah dari proyeksi OECD pada Maret lalu sebesar 4,6 persen.
”Perekonomian negara ASEAN akan menghadapi tantangan berupa penurunan permintaan eksternal (di luar kawasan) yang persisten sehingga ekspor terkontraksi seiring dengan perlambatan perekonomian di negara maju,” kata Director of OECD Development Centre Ragnheiður Elín Árnadóttir dalam sesi peluncuran laporan OECD’s Economic Outlook for Southeast Asia, China, and India 2023 Update pada ASEAN Business & Investment Summit, Minggu.
Deputi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Edi Prio Pambudi mengatakan, meski potensi integrasi ekonomi di ASEAN sebenarnya besar, masih ada beberapa hambatan perdagangan bersifat nontarif yang membuat rantai pasok kawasan kurang solid.
Alih-alih semakin kuat, perdagangan intraregional sesama negara ASEAN melemah seusai diterapkannya skema Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015. Tingkat perdagangan dan investasi antarnegara ASEAN cenderung berjalan di tempat. Laju perdagangan intra-ASEAN masih kalah dibandingkan kemajuan perdagangan ASEAN dengan negara lain di luar kawasan.
”Potensi besar itu masih sulit dicapai karena masih ada hambatan perdagangan yang sifatnya nontarif. Standar kebijakan tiap negara berbeda, kapasitasnya berbeda. Itu yang sedang kita coba harmonisasikan karena akan susah kalau kita tidak punya pedoman yang sama. Walau tarif dibuat rendah sekalipun, kalau standar kebijakan berbeda, tetap sulit diakses,” kata Edi.
Kesepakatan
Pertemuan AECC pun menyepakati sejumlah draf perjanjian untuk memperkuat kerja sama ekonomi dan rantai pasok yang lebih inklusif di kawasan. Berbagai konsep kesepakatan itu dibahas di tingkat menteri-menteri ekonomi dan akan dideklarasikan bersama oleh para pemimpin negara ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-43 ASEAN, pekan ini.
Ada total 16 poin kesepakatan yang dibahas dalam AECC dan akan dibahas di forum KTT. Berbagai rancangan kesepakatan itu berada di bawah tiga fokus utama, yaitu membangun kembali ekonomi ASEAN melalui keterbukaan pasar, mendorong percepatan transformasi digital yang inklusif, serta mendorong pengembangan ekonomi berkelanjutan di kawasan.
Dari total 16 prioritas tersebut, 11 prioritas bisa diselesaikan dan disepakati saat KTT ASEAN. Sementara lima prioritas lain baru akan dirampungkan akhir tahun ini karena masih perlu dibicarakan lebih detail.
Salah satu kesepakatan untuk memperkuat rantai pasok kawasan itu akan direalisasikan lewat kerja sama mendorong transformasi digital yang inklusif. Di sela-sela pertemuan AECC, menteri-menteri ekonomi ASEAN meluncurkan dimulainya perundingan ASEAN Digital Economy Framework Agreement (DEFA).
Melalui kesepakatan itu, potensi ekonomi digital ASEAN diperkirakan meningkat dari 300 miliar dollar AS-400 miliar dollar AS saat ini menjadi 1 triliun dollar AS pada 2025 dan 2 triliun dollar AS pada 2030. Negosiasi DEFA diawali dari keketuaan Indonesia tahun ini, ditindaklanjuti keketuaan Laos tahun depan, dan resmi disahkan saat keketuaan Malaysia pada 2025.
Edi mengatakan, kerja sama ekonomi digital yang inklusif itu akan melibatkan pelaku UMKM secara lebih aktif. Laporan ASEAN Investment Report 2022 menunjukkan, meski sektor UMKM mendominasi struktur perekonomian di kawasan hingga 97 persen dari total pelaku usaha dan 45 persen dari total PDB kawasan, kontribusi sektor UMKM terhadap ekspor masih rendah.
Pelaku UMKM ASEAN masih sulit menembus rantai pasok global sehingga kontribusinya hanya berkisar antara 2,8 persen sampai 38,3 persen dari total nilai ekspor. ”Dengan digitalisasi yang terintegrasi ini, UMKM yang selama ini sulit masuk ke rantai pasok global karena akses dan koneksinya terbatas ke depan lebih mudah masuk,” kata Edi.