Sebelumnya, sempat mengemuka wacana subsidi Pertamax, BBM dengan nilai oktan (RON) 92, untuk disubsidi, guna meningkatkan penggunaan BBM yang lebih ramah lingkungan. Saat ini, yang dominan ialah Pertalite (RON 90).
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memastikan tak ada pembahasan terkait rencana subsidi bahan bakar minyak jenis pertamax maupun penerbitan regulasi yang mendorong penggunaan bahan bakar ramah lingkungan. Yang bisa dilakukan saat ini, dalam rangka mengurangi polusi udara, baru sebatas imbauan-imbauan.
Sebelumnya, sempat mengemuka wacana subsidi pertamax, bahan bakar minyak (BBM) dengan nilai oktan (RON) 92, untuk disubsidi, guna meningkatkan penggunaan BBM yang tingkat emisinya lebih rendah. Pasalnya, di tengah polemik polusi udara, pertalite (RON 90) masih dominan digunakan oleh masyarakat.
”Enggak ada pembahasan (rencana menyubsidi Pertamax),” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji, di kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (29/8/2023).
Dalam beberapa pekan terakhir, polusi udara menyelimuti Jakarta dan sekitarnya. Selain faktor El Nino, ada sejumlah penyebab yang mengemuka di antaranya emisi dari sektor transportasi dan sisa abu pembakaran batubara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Mengenai jenis produk BBM yang didorong agar semakin ramah lingkungan, Tutuka menyebutkan, baru akan terwujud pada 2024 saat ada kilang minyak yang memproduksi BBM (standar emisi) euro 5 dengan kapasitas tinggi. Adapun saat ini rata-rata berkisar euro 2 hingga euro 3.
”Euro kita belum tinggi. Baru akhir tahun 2024 yang (akan produksi) euro 5, di salah satu kilang Pertamina. Tapi itu kan tidak bisa cepat. Untuk jangka pendeknya ya (didorong menggunakan) RON lebih tinggi atau diesel CN-51. Saat ini baru imbauan saja, tetapi kalau sudah keluar dari kilangnya kita bisa memenuhi," kata Tutuka.
Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso membenarkan, peningkatan kapasitas kilang (Refinery Development Master Plan/RDMP) Kilang Balikpapan, Kalimantan Timur, yang ditargetkan rampung 2024, akan memberi peningkatan signifikan bagi produksi BBM dengan standar emisi euro 5.
Akan tetapi, ia pun menyebut Pertamina sebenarnya sudah memproduksi BBM dengan standar emisi euro 5. ”Produk pertadex dari Kilang Balongan (Indramayu, Jawa Barat) sudah comply euro 5 dari segi parameter sulfur. Juga pertamax dari TPPI (Trans-Pacific Petrochemical Indotama) juga sudah comply euro 5 dari segi sulfur. Tapi untuk 100 persen memang belum ada," kata Fadjar.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional Taufik Aditiyawarman, menjelaskan Kilang Cilacap telah menyelesaikan Tahap I proyek Green Refinery pada Februari 2022 lalu. Dengan demikian, kilang itu dapat memproduksi produk yang lebih ramah lingkungan yakni green diesel dengan kandungan sulfur setara euro 5.
Ia menambahkan, Kilang Balongan merupakan kilang dengan Nelson Complexity Index (NCI) tertinggi dibandingkan dengan kilang-kilang lainnya, yakni 11,9. NCI ialah indeks kompleksitas satu kilang. Artinya, semakin tinggi angkanya, maka semakin banyak produk berkualitas serta efisien, yang dihasilkan.
”Kilang Balongan saat ini memproduksi beragam produk, antara lain: pertalite, pertamax, pertamax turbo, solar, pertamina dEX, elpiji, propylene, avtur serta produk specialty chemical untuk keperluan industri gas oil for antifoam (GO Foam),” kata Taufik, dalam keterangannya, Kamis (17/8/2023).
Kilang minyak Pertamina di Balikpapan, Kalimantan Timur, terlihat dari udara, Kamis (5/2/2015).
Akar permasalahan
Terkait polemik penyebab polusi udara di Jakarta dan sekitarnya, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro berpendapat, yang pertama perlu dilakukan ialah identifikasi. Apa-apa saja yang menjadi penyebab utama dari polusi udara serta seberapa besar bobotnya. Semua mesti diperjelas.
”Semua pihak perlu adil dan jujur mengenai akar masalahnya. Apabila sudah ditemukan, lalu selesaikan masalahnya. Apabila misalnya ingin menggeser RON 90 ke RON 92, perlu kajian mendalam karena risikonya juga tidak sederhana, terlebih berkaitan dengan anggaran negara. Akan ada dampak secara langsung pada APBN,” kata Komaidi.
Kilang di Indonesia, imbuh Komaidi, sebenarnya juga sudah ada yang bisa menghasilkan BBM setara euro 5. Namun, penjualannya tidak sederhana. Sebab, ujungnya akan berkait dengan daya beli masyarakat dan pasar. Harga produk BBM setara euro 5 pasti akan lebih tinggi dibandingkan kualitas di bawahnya.
Menurut dia, pelajaran yang didapat dari tingginya polusi udara di Jakarta dan sekitarnya yakni menjadi pelajaran bersama bagi semua pihak, misalnya dalam penggunaan kendaraan pribadi. ”Perlu evaluasi bersama. Ini saatnya memformulasikan yang baik dan tidak saling menyalahkan serta saling klaim. Jika masih seperti itu, masalah tak selesai, tetapi justru polusinya akan terus bertambah,” ujar Komaidi.