Antisipasi Penguatan Dollar AS, BI Terbitkan Instrumen Moneter Baru
Penerbitan instrumen SRBI ini untuk mendorong pendalaman pasar uang dan menarik masuk arus modal ke dalam sistem keuangan dalam negeri sehingga bisa menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Taklimat media mengenai Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) di Kantor Pusat BI, Jakarta, Senin (28/8/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah tren menguatnya mata uang dollar AS terhadap mata uang dunia, termasuk rupiah, Bank Indonesia menerbitkan instrumen moneter baru bernama Sekuritas Rupiah Bank Indonesia atau SRBI. Instrumen moneter ini diharapkan bisa mendorong pendalaman pasar uang, menarik masuk arus modal, sehingga mampu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Edi Susianto menjelaskan, pihaknya menerbitkan instrumen SRBI ini untuk mendorong pendalaman pasar uang dan menarik masuk arus modal ke dalam sistem keuangan dalam negeri sehingga bisa membantu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
”Situasi global saat ini tengah diliputi ketidakpastian. Kami berpikir bagaimana agar ada instrumen operasi moneter yang bisa mendukung pendalaman pasar uang. Harapannya adalah bisa mendorong arus modal masuk sehingga nilai tukar rupiah bisa terjaga,” ujar Edi dalam taklimat media mengenai SRBI, Senin (28/8/2023), di Jakarta.
Peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global menyebabkan nilai tukar rupiah sampai dengan 23 Agustus 2023 melemah 1,41 persen dibandingkan akhir Juli 2023. Namun, apabila dilihat sejak awal tahun sampai 23 Agustus 2023, nilai tukar rupiah menguat 1,78 persen.
Angka tersebut lebih baik dibandingkan dengan nilai tukar mata uang negara berkembang lainnya, seperti rupee India yang terdepresiasi sebesar 0,07 persen serta baht Thailand dan peso Filipina yang masing-masing terdepresiasi 1,31 persen dan 1,77 persen. Mengutip kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan Jumat (25/8/2023) berada di level Rp 15.297 per dollar AS.
Tren menguatnya mata uang dollar AS belakangan ini mencuat karena adanya kemungkinan bank sentral Amerika Serikat, yakni The Federal Reserve (The Fed), dikabarkan akan menaikkan suku bunga acuannya pada September ini. Jika suku bunga The Fed naik, investor menilai, menyimpan uang di AS lebih berisiko rendah dibandingkan menyimpan dananya di aset negara berkembang seperti Indonesia.
Hal inilah yang berpotensi memicu arus modal keluar dari Indonesia sehingga mengurangi pasokan mata uang dollar AS pada sistem keuangan dalam negeri. Situasi tersebut dapat menggerus nilai tukar rupiah.
SRBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek dengan menggunakan underlying asset berupa Surat Berharga Negara (SBN) milik BI. Dengan demikian, BI akan berperan seperti halnya sekuritas, dengan mengelola kembali SBN miliknya untuk kemudian diperjualbelikan di pasar uang.
Karakteristik SRBI diterbitkan tanpa warkat, diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto. Selain itu, dapat dipindahtangankan dan dapat dimiliki oleh penduduk atau bukan penduduk (nonresident/asing) di pasar sekunder.
SRBI akan diimplementasikan mulai 15 September 2023. Pada tahap awal, SRBI akan diterbitkan pada tenor enam bulan, sembilan bulan, dan 12 bulan. Adapun nanti, SRBI akan diperdagangkan untuk periode satu minggu hingga 12 bulan. Jadwal dan hasil lelang akan diumumkan di laman BI.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pegawai perusahaan penukaran uang asing Valuta Artha Mas di ITC Kuningan, Jakarta, menghitung dan melihat kondisi lembaran uang dollar AS, Senin (7/8/2023).
Edi menjelaskan, peluncuran instrumen baru moneter ini juga dimaksudkan untuk mendorong pasar atau pro-market. Sebab, menurut pandangan investor dunia, Indonesia masih sangat menarik sebagai destinasi investasi arus modal. Harapannya, instrumen baru ini dapat memikat investor sehingga mencatatkan arus modal masuk, memperdalam pasar uang, dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Menjawab kebutuhan
Pada kesempatan yang sama, Kepala Departemen Pendalaman Pasar Keuangan BI Dony Hutabarat menuturkan, alasan BI meluncurkan instrumen baru ini adalah agar jadi solusi kebutuhan pelaku pasar akan instrumen aset keuangan. ”Ini menjadi relevan dengan kondisi saat ini, di saat kondisi global yang cukup rentan. Pelaku pasar ingin yang tidak terlalu tinggi risikonya,” katanya.
Dihubungi terpisah, peneliti makroekonomi dan pasar keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, menyatakan, instrumen ini lebih menarik untuk investor asing karena memiliki fleksibilitas tenor yang pendek. Apalagi, underlying asset atau aset yang diperjualbelikan adalah SBN milik BI yang memiliki kualitas baik.
”Instrumen ini mengisi ruang yang belum ada sebelumnya,” ujar Riefky.
Dengan pertimbangan ini, lanjutnya, instrumen SRBI seharusnya bisa menarik investor asing karena aset ini dinilai cukup kredibel untuk pengelolaan operasi moneter. Kendati demikian, yang jadi tantangan adalah besar bunga atau imbal hasil yang ditawarkan ini. Sebab, saat ini selisih suku bunga acuan BI dengan suku bunga The Fed sangat tipis.
Suku bunga The Fed saat ini tercatat 5,25-5,50 persen, sedangkan suku bunga acuan BI pada posisi 5,75 persen. Selisih yang tipis ini bisa memicu arus modal keluar dari Indonesia sehingga berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah.
Menurut Riefky, keluarnya instrumen ini juga jadi salah satu alat tambahan BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar tanpa perlu menaikkan suku bunga acuan. Saat ini, kondisi inflasi terus melandai sehingga BI tidak ada urgensi untuk menaikkan suku bunga acuan.