Sebanyak 15 PLTU Bisa Dipensiundinikan hingga 2030
Sebanyak 15 PLTU di sistem ketenagalistrikan Jawa-Madura-Bali dan Sumatera dapat dipensiundinikan hingga tahun 2030, dengan jumlah total kapasitas 4,8 GW. Itu berpotensi menurunkan emisi 36 juta ton karbon dioksida.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Asap membubung dari cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Barat 2 atau yang dikenal dengan PLTU Palabuhanratu yang terletak di Pantai Cipatuguran, Kelurahan Jayanti, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (4/1/2023). Pembangkit ini mempunyai kapasitas produksi 3 x 350 megawatt. Dikutip dari ptba.co.id, PT PLN (Persero) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) melakukan penjajakan dalam pengakhiran lebih awal (early retirement) PLTU Palabuhanratu. Dengan program pengakhiran lebih awal, masa operasional PLTU Palabuhanratu akan terpangkas dari 24 tahun menjadi 15 tahun yang berpotensi memangkas emisi karbon dioksida ekuivalen sebesar 51 juta ton atau setara Rp 220 miliar.
JAKARTA, KOMPAS — Kajian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bersama para pemangku kepentingan menunjukkan bahwa hingga 2030, sebanyak 15 pembangkit listrik tenaga uap dapat diakhiri lebih cepat masa operasinya. Hal tersebut berpotensi menurunkan emisi sebesar 36 juta ton karbon dioksida atau CO2 hingga 2030.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana dalam wawancara tertulis, Kamis (24/8/2023), mengatakan, kajian dilakukan bersama sejumlah pihak, seperti PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung (LAPI ITB).
”Sebanyak 15 PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) di sistem ketenagalistrikan Jawa-Madura-Bali dan Sumatera dapat dihentikan lebih awal operasinya atau pensiun dini hingga tahun 2030, dengan jumlah total kapasitas 4,8 gigawatt (tidak termasuk PLTU Jawa-3),” ujar Dadan.
Adapun di luar daftar tersebut, proyek percontohan (pilot project) pensiun dini PLTU yang saat ini tengah dibahas ialah PLTU Palabuhanratu di Sukabumi, Jawa Barat, dan PLTU Pacitan di Jawa Timur. Masa operasi kedua PLTU tersebut dipangkas dari sebelumnya hingga 2045 menjadi tahun 2037.
Menurut Dadan, diskusi intensif dilakukan dengan Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, dan PLN, khususnya terkait skema pembiayaan dan penghitungan aset. ”Agar tidak memengaruhi biaya pokok penjualan tenaga listrik, yang dapat berpengaruh terhadap subsidi dan kompensasi. Belum diputuskan skemanya write-off/accelerateddepreciation (penghapusan) atau transfer aset melalui spin-off,” ucap Dadan.
Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik mengamanatkan penyusunan peta jalan percepatan masa operasi PLTU. Peta jalan itu sedang disiapkan oleh pemerintah.
Dadan menuturkan, selain Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, PLN, dan LAPI ITB, koordinasi penyusunan peta jalan dilakukan dengan Mandiri Sekuritas, United Nations Office for Project Services (UNOPS), dan Institute for Essential Services Reform (IESR). Nantinya hal itu diharapkan mendukung tercapainya emisi puncak sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030 atau sesuai target Kerja Sama Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP).
Pihaknya juga menyusun sejumlah alternatif skenario, seperti pemanfaatan energi terbarukan dengan baterai, pemanfaatan energi terbarukan dengan interkoneksi Jawa-Sumatera, dan co-firing (pencampuran batubara dengan biomassa) PLTU maksimal 10 persen. Itu untuk mendapat nilai optimal penurunan emisi gas rumah kaca 2030.
”Kementerian ESDM saat ini tengah melakukan updating (pembaruan) draf peta jalan (pensiun dini PLTU) tersebut berdasarkan hasil masukan dari Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan PLN,” kata Dadan.
Ia menjelaskan, peta jalan dalam bentuk keputusan menteri itu tak akan memuat daftar nama PLTU yang akan dipensiundinikan, tetapi bersifat indikasi jumlah total kapasitas. Adapun daftar nama PLTU akan ditetapkan dalam keputusan menteri terpisah. Kedua keputusan menteri itu perlu mendapat persetujuan Menteri BUMN dan Menteri Keuangan.
Suasana malam hari di kawasan PLTU Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Selasa (29/3/2022). PT Paiton Energy (PE)-PT Paiton Operation & Maintenance Indonesia (POMI) membangun instalasi pembangkit listrik tenaga surya guna mendukung energi terbarukan dengan menekan penggunaan batubara ke depan. Listrik berkapasitas 1 megawatt tersebut dimanfaatkan di area pembangkit, atap gedung dan perumahan, serta untuk mengoperasikan bus listrik karyawan.
Kriteria
Dadan menyebutkan, sejumlah kriteria PLTU yang akan dipensiundinikan ialah kapasitas PLTU (milik PLN, IPP atau swasta, dan captive power), usia PLTU yang dihitung sejak operasi (COD), utilisasi berupa capacity factor PLTU berbasis batubara, dan emisi gas rumah kaca PLTU. Juga nilai tambah ekonomi, ketersediaan pendanaan serta teknologi dalam dan luar negeri, serta keandalan sistem.
”Hal utama lain yang juga diperhitungkan adalah perlunya komitmen pendanaan agar tak berpengaruh terhadap biaya pokok produksi (BPP) tarif tenaga listrik, yang berpotensi berpengaruh pada kenaikan subsidi dan kompensasi,” ujarnya.
Program kemitraan JETP, senilai 20 miliar dollar AS, memiliki lima area investasi dan salah satunya ialah pemensiunan dini PLTU. Oleh karena itu, lanjut Dadan, pensiun dini PLTU diharapkan menjadi aksi mitigasi tambahan yang dapat mendukung pencapaian nationally determined contribution (NDC) dengan dukungan pihak internasional.
”Bantuan pendanaan internasional melalui JETP saat ini telah diidentifikasi sekitar 2,5 miliar dollar AS untuk dukungan Energy Transition Mechanism (ETM). (Itu) untuk penyiapan pensiun dini, repurposing (peralihan tujuan), dan just transition (transisi berkeadilan),” kata Dadan.
Rencana pensiun dini PLTU batubara harus matang. Kesiapan energi terbarukan yang akan menggantikannya haruslah jelas.
Pakar energi sekaligus Guru Besar Bidang Teknik Mesin, Fakultas Teknik Univesitas Gadjah Mada (UGM), Deendarlianto, berpendapat, rencana pensiun dini PLTU batubara harus matang. Kesiapan energi terbarukan yang akan menggantikannya haruslah jelas. Sebab, hal itu juga menyangkut konsumsi energi serta pertumbuhan ekonomi nasional.
Sementara itu, peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Novia Xu, mengatakan, just (keadilan) dalam JETP juga masih diperdebatkan. Sebab, keadilan dalam transisi energi ini menjadi sesuatu yang baru, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di dunia.
Dalam penyusunan CIPP, tambah Novia, memang ada kelompok kerja transisi berkeadilan, yang kemudian mengembangkan kerangka kerjanya (JET framework). Kerangka tersebut berisi, antara lain, bahwa program itu tidak boleh meninggalkan siapa pun serta memperhatikan keberlanjutan dan ketahanan.
”Kalaupun sudah teridentifikasi, selanjutnya apa yang perlu dibantu? Apakah ada business matching, seperti pada pekerja untuk diarahkan dengan sektor baru. Misalnya, setelah tak bekerja di batubara mau ke mana? Jadi harus ada basis data yang dua arah seperti itu,” kata Novia.