Jaga Stabilitas Rupiah, BI Keluarkan Instrumen Moneter Baru
BI mengeluarkan instrumen baru, yakni Sekuritas Rupiah Bank Indonesia, untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah) didampingi para deputi gubernur, Juda Agung, Destry Damayanti, Doni P Joewono, dan Aida S Budiman (dari kiri ke kanan), saat memaparkan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia di hadapan wartawan di Gedung BI, Jakarta, Kamis (24/8/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah menguatnya mata uang dollar AS terhadap berbagai mata uang global dan rupiah, Bank Indonesia mengeluarkan instrumen baru, yakni Sekuritas Rupiah Bank Indonesia. Instrumen moneter baru yang akan mulai dilaksanakan 15 September 2023 ini akan dipadukan dengan berbagai instrumen moneter dan kebijakan lainnya.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan, di tengah tren penguatan mata uang dollar AS di dunia, BI mengeluarkan instrumen moneter baru, yakni Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
SRBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh BI sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek dengan menggunakan underlying asset atau aset yang bisa diperdagangkan berupa Surat Berharga Negara (SBN) milik BI. Dengan jaminan berupa SBN milik BI, diharapkan bisa memikat dan mendorong masuknya aliran portofolio asing.
”SRBI merupakan instrumen moneter untuk mengelola likuiditas yang sekaligus diharapkan dapat mendukung pendalaman pasar uang dan stabilitas nilai tukar rupiah karena dapat ditransaksikan dan dimiliki di pasar sekunder,” ujar Perry dalam jumpa pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI di kantor pusat BI, Jakarta, Kamis (24/8/2023).
SRBI akan diimplementasikan 15 September 2023. Pada tahap awal, SRBI akan diterbitkan pada tenor 6, 9, dan 12 bulan. Adapun jadwal dan hasil lelang akan diumumkan di situs BI.
Selain mengeluarkan instrumen moneter baru, BI juga melanjutkan berbagai kebijakan lainnya untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Kebijakan itu, antara lain, dengan intervensi di pasar valas.
Tak hanya itu, BI telah mengeluarkan tujuh instrumen moneter untuk mendukung Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA). Harapannya instrumen ini dapat jadi fasilitas agar eksportir bisa memarkirkan DHE SDA di dalam sistem keuangan dalam negeri.
Tujuh instrumen itu adalah rekening khusus DHE SDA, deposito valas bank, term deposit valas DHE SDA, promissory notes Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), penempatan deposito valas yang dapat dimanfaatkan menjadi agunan kredit rupiah, swap valas nasabah dengan bank, dan swap valas bank dengan BI. Kebijakan ini berlaku sejak awal Agustus 2023.
Peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global menyebabkan nilai tukar rupiah sampai dengan 23 Agustus 2023 melemah 1,41 persen dibandingkan akhir Juli 2023.
Namun, apabila dilihat sejak awal tahun sampai 23 Agustus 2023, nilai tukar rupiah menguat 1,78 persen. Angka ini lebih baik dibandingkan dengan nilai tukar mata uang negara berkembang lainnya, seperti rupee India yang mengalami apresiasi sebesar 0,07 persen serta baht Thailand dan peso Filipina yang masing-masing mengalami depresiasi sebesar 1,31 persen dan 1,77 persen.
Mengutip kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan Kamis (24/8/2023) berada di level Rp 15.253.
KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Tabel Besaran Bunga Term Deposit Valas DHE. Sumber: Bank Indonesia
Tren menguatnya mata uang dollar AS belakangan ini mencuat karena adanya kemungkinan bank sentral Amerika Serikat, yakni The Federal Reserve (The Fed), dikabarkan akan menaikkan suku bunga acuannya pada September ini. Jika suku bunga The Fed naik, investor menilai menyimpan uang di AS lebih berisiko rendah dibandingkan menyimpan dananya di aset negara berkembang seperti Indonesia.
Hal inilah yang memicu arus modal keluar dari Indonesia sehingga mengurangi pasokan mata uang dollar AS di sistem keuangan dalam negeri, sehingga menggerus nilai tukar rupiah.
Redam gejolak
Ekonom Bank Danamon, Irman Faiz, mengatakan, untuk meredam rambatan gejolak ketidakpastian global, BI mengeluarkan SRBI. Tujuan utama SRBI ini memang diarahkan untuk pendalaman pasar uang dengan mendorong arus modal masuk ke sistem keuangan dalam negeri.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky, mengatakan, guncangan pasar keuangan baru-baru ini telah mendorong rupiah terdepresiasi pada pertengahan Agustus. Rupiah terpangkas menjadi hanya terapresiasi 1,54 persen dibandingkan dengan awal tahun ini dari puncaknya 5,03 persen pada pertengahan April.
Riefky menambahkan, lebih rendahnya kinerja rupiah dapat disebabkan oleh memburuknya surplus neraca perdagangan sejak April 2023. Menyusutnya surplus perdagangan dapat semakin menggerus kinerja rupiah dalam beberapa bulan mendatang karena berkurangnya devisa seiring dengan penurunan ekspor.
Untuk meredam gejolak rupiah yang berasal dari ketidakpastian pengetatan moneter yang agresif oleh The Fed, BI baru-baru ini memperkuat kebijakan DHE untuk meningkatkan cadangan devisa. Sejak Agustus 2023, eksportir sumber daya alam dengan total nilai ekspor sebesar 250.000 dollar AS atau setaranya diwajibkan menyimpan hasil devisa mereka di sistem keuangan dalam negeri.
Kebijakan ini diharapkan dapat mendukung BI dalam menjaga depresiasi rupiah dengan menyediakan lebih banyak cadangan devisa. Dengan demikian, cadangan devisa sebesar 137,7 miliar dollar AS pada akhir Juli diprediksi akan meningkat pada beberapa bulan mendatang. Meski demikian, cadangan devisa yang dimiliki saat ini masih sangat cukup untuk mendukung ketahanan sektor eksternal karena setara dengan kemampuan untuk membayar 6,0 bulan impor sekaligus utang luar negeri pemerintah.
Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto mengatakan, keputusan BI untuk mempertahankan suku bunga acuan pada Agustus 2023 ini salah satunya untuk mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.
Dengan demikian, suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,00 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50 persen. Suku bunga acuan ini telah bertahan delapan bulan sejak hasil Rapat Dewan Gubernur BI pada Januari 2023.
”Keputusan mempertahankan suku bunga acuan ini sekaligus menjadi instrumen untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah sehingga tidak mengalami fluktuasi atau volatilitas yang tajam,” ujarnya.