Ada berbagai modus kejahatan keuangan digital, antara lain entitas ilegal yang menawarkan layanan jasa keuangan tak berizin dan entitas ilegal yang menyamar seakan-akan lembaga legal untuk tipu nasabah.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat harus mewaspadai berbagai modus kejahatan keuangan yang terus berkembang dengan menumpang teknologi digital. Tak hanya pemberantasan, edukasi perlu terus-menerus dilakukan untuk melindungi masyarakat dari jeratan kejahatan ini.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi menjelaskan, saat ini berkembang berbagai modus kejahatan keuangan digital.
Yang pertama adalah masih berkeliarannya entitas ilegal yang menawarkan layanan jasa keuangan tak berizin, seperti pinjaman online (pinjol) ilegal ataupun kegiatan investasi bodong yang menipu masyarakat. Mereka biasanya berkeliaran di beragam platform media sosial dengan iming-iming kemudahan dan imbal hasil yang tak masuk akal dengan tanpa risiko.
Modus kedua, entitas ilegal yang menyamar seakan-akan lembaga jasa keuangan legal, padahal bertujuan menipu nasabah. Misalkan modus penipu menyamar dan mengaku pihak bank yang meminta nasabah menginformasikan data kredensial pribadi nasabah sehingga bisa digunakan pelaku untuk membobol rekening nasabah. Selain itu, juga ada modus promo fasilitas perbankan apabila nasabah mengirimkan ke sejumlah uang ke nomor rekening pelaku.
”Pelaku kejahatan keuangan memanfaatkan teknologi digital untuk menipu masyarakat,” ujar Friderica dalam webinar bertajuk ”Melawan Kejahatan Keuangan Berbasis Digital”, secara daring, Senin (21/8/2023).
Friderica yang akrab disapa Kiki ini menjelaskan, masih terus menjamur dan merebaknya kejahatan keuangan ini disebabkan masih rendahnya literasi keuangan masyarakat Indonesia. Mengutip Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK), tingkat literasi keuangan pada 2022 pada posisi 49,68 persen. Artinya, baru sekitar setengah dari responden survei yang betul-betul memahami cara kerja, mengidentifikasi legalitasnya, dan memahami potensi risiko dari layanan jasa keuangan.
Kondisi literasi keuangan ini masih berada di bawah tingkat inklusi keuangan yang pada 2022 pada posisi 85,10 persen. Dengan demikian, terdapat ketimpangan antara tingkat literasi dan inklusi yang besarnya 35,41 persen. Artinya, masih banyak masyarakat yang sudah bisa mengakses layanan jasa keuangan, tetapi belum betul-betul memahami cara kerja, mengidentifikasi legalitasnya, dan memahami potensi risikonya.
Selain itu, menurut Kiki, salah satu penyebab masih banyak orang terjerumus kejahatan keuangan digital lantaran masih merebaknya cassino mentality. Ini adalah keadaan mental yang menginginkan kaya dengan instan dan cepat seperti halnya mendapatkan keberuntungan menang judi di kasino.
Pemberantasan
Kiki menambahkan, upaya pemberantasan kejahatan keuangan dan berbagai aktivitas keuangan ilegal telah diperkuat dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang diundangkan Januari lalu. Dalam UU itu, melarang secara tegas menghimpun dana masyarakat, mengelolanya, dan disalurkan kembali ke masyarakat tanpa izin dari OJK.
Adapun pelanggaran tersebut akan diancam pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama sepuluh tahun. Selain itu, pelaku juga akan diancam pidana paling sedikit Rp 1 miliar dan paling banyak Rp 1 triliun. Ketentuan itu tertulis pada Pasal 237 dan Pasal 305 UU P2SK.
Satgas yang terdiri atas 12 kementerian dan lembaga antara lain Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Polri ini, punya tugas berat bahu-membahu memberantas kejahatan keuangan ini.
Mengutip data satgas, sejak 2017 hingga 2022, kerugian masyarakat akibat penipuan entitas investasi ilegal diestimasi mencapai Rp 137,84 triliun
Dari aspek penindakan, sejak 2017 hingga 31 Juli 2023, Satgas telah menghentikan 6.894 entitas keuangan ilegal yang terdiri dari 1.193 entitas investasi ilegal, 5.450 entitas pinjaman online ilegal, dan 251 entitas gadai ilegal.
Pada kesempatan yang sama, Kabiro Penyidikan dan Pengawasan Brigjen Iwan Kurniawan mengatakan, untuk pemberantasan kejahatan siber, Polri memiliki divisi khusus, yakni Direktorat Tindak Pidana Siber (Dirtipidsiber) Bareskrim.
Ia menjelaskan, kejahatan siber terbagi menjadi dua jenis, yakni computer crime dan computer related crime. Yang dimaksud kejahatan siber computer crime adalah kejahatan di mana pelaku menjadi komputer sebagai targetnya untuk diambil data pribadinya, seperti peretasan dan penyadapan. Adapun computer related crime adalah kejahatan yang memanfaatkan komputer sebagai alat kejahatannya, seperti pembuatan situs pinjol ilegal, dan penyebaran hoaks.
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menambahkan, isu keamanan pada dunia ekonomi digital sudah menjadi topik global. Hal ini bahkan sudah dibahas pada forum G-20. Hal ini sudah menjadi fenomena global dan perhatian setiap negara.