Ketua Asosiasi Franchise Indonesia: Tidak Ada Bisnis ”Autopilot”
Usaha waralaba didominasi jenis makanan dan minuman. Pangsa pasar Indonesia dinilai cukup menjanjikan untuk mengembangkan bisnis tersebut karena permintaan domestik yang terus ada.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bisnis waralaba ”autopilot” memang tampak menjanjikan. Asosiasi Franchise Indonesia Anang Sukandar menyayangkan banyaknya investor yang tergiur skema tersebut. Padahal, idealnya, mereka tetap harus mengikuti tiap proses yang terjadi.
Menurut Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) Anang Sukandar, masyarakat saat ini, khususnya generasi milenial dan Z, kerap terbuai dengan bisnis waralaba autopilot. Bisnis itu kerap digaungkan karena bisa berjalan tanpa perlu pengawasan berkala.
”Kita jangan terbuai dengan cara-cara yang asal jadi. Dalam bisnis, enggak bisa jalan sendiri. (Istilah) ‘autopilot’ cuma ada di dunia penerbangan, bisnis enggak ada,” ujar Anang di bilangan Senopati, Jakarta, Selasa (15/8/2023).
Dalam usaha waralaba, semestinya pemilik juga menjadi operator. Apabila ia hanya menjadi investor, tanpa mau menjadi operator, usaha tersebut akan sulit berhasil. Sebab, pemilik perlu belajar sembari mengikuti proses yang ada.
Anang menilai, banyak pula usaha yang belum memenuhi syarat, tetapi sudah mengaku sebagai waralaba. Hal yang lebih jauh, ada pula pihak yang menagih uang muka dan menerapkan sistem usaha waralaba, meski usahanya belum berstatus resmi. Risikonya, hal semacam ini bisa dimanfaatkan oknum tertentu untuk menipu masyarakat awam.
Ia merekomendasikan agar pihak yang berminat membuka usaha waralaba dapat melihat laporan proyeksi pendapatan. Dalam laporan itu, calon investor dapat melihat berbagai hal, seperti angka penjualan per hari hingga per tahun.
”Kalau enggak ada (laporan), artinya dia enggak pernah hitung,” kata Anang.
Selain itu, produk trendi juga tak direkomendasikan. Sebab, produk-produk itu cenderung tak bertahan lama. Dianjurkan pula, perjanjian waralaba idealnya imbal balik dapat dirasakan lima tahun. Dalam 2,5 tahun pertama, pelaku usaha akan balik modal, sedangkan 2,5 tahun berikutnya, ia mulai menikmati keuntungannya.
Walakin, Anang tetap mendorong agar masyarakat membentuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) karena memiliki beragam potensi, khususnya industri makanan dan minuman (food and beverage).
”Memang paling cepat di food and beverage (untuk waralaba), dan itu di mana pun. Sebanyak lebih dari 55 persen, umumnya, baik di Indonesia atau negara-negara lain, memang mulai dari F & B,” ujar Anang.
Dominasi industri makanan dan minuman tecermin pula dalam Waralaba Internasional, Lisensi, dan Pameran serta Konferensi Konsep Bisnis atau IFRA 2023. Direktur Utama Dyandra Promosindo Daswar Marpaung mengatakan, 50 persen waralaba yang akan berpartisipasi berasal dari industri makanan dan minuman.
”Dari top three yang kami tampilkan, yang pertama adalah (bisnis) F&B, nomor dua adalah minimarket, dan nomor tiga adalah jasa, termasuk kecantikan dan spa,” kata Daswar.
IFRA 2023 berlangsung pada 25-27 Agustus 2023 di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Banten. Dalam helatan itu terdapat lebih dari 275 perusahaan dan 400 jenama dari sekitar 35 jenis bisnis. Dyandra Promosindo yang bekerja sama dengan AFI dan Bank Mandiri menargetkan 55.000 pengunjung dengan total transaksi Rp 1,65 triliun.
Kelas menengah
Indonesia tak seperti negara lain yang bergantung pada perdagangan luar negeri. Alasannya, konsumsi domestik menyokong perputaran ekonomi dalam negeri.
Anang mengatakan, konsumsi domestik menciptakan permintaan domestik pula. Permintaan itu menarik pihak lain untuk berinvestasi. Hal inilah yang menggerakkan perekonomian Indonesia. Indonesia memiliki kelas menengah yang cukup besar. Mereka juga yang banyak berkontribusi terhadap konsumsi.
Berdasarkan laporan Bank Dunia (2020), kelompok kelas menengah atas Indonesia tumbuh lebih cepat dibanding kelas lainnya. Setidaknya ada 52 juta penduduk Indonesia tergolong kelas menengah atas. Tiap tahun, konsumsi ekonomi kelas itu sebesar 12 persen sejak 2002.