Gebrakan Wirausaha Muda Berdayakan Masyarakat Akar Rumput
Satu dekade terakhir, wirausaha muda bermunculan di dalam negeri. Mereka membuat gebrakan inovasi yang bisa sekaligus mengatasi masalah masyarakat akar rumput.
Sejumlah bisnis yang digawangi oleh wirausaha muda, seperti eFishery, Amartha, Ladang Lima, dan Du Anyam, menciptakan terobosan yang berangkat dari permasalahan masyarakat akar rumput dan pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Inovasi yang mereka kembangkan selama satu dekade terakhir mampu membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada awal Juli 2023, perusahaan akuakultur eFishery yang berdiri sejak 2013 meraih pendanaan seri D senilai 200 juta dollar AS atau sekitar Rp 3 triliun. Putaran pendanaan ini dipimpin oleh 42XFund, perusahaan manajemen investasi global asal Abu Dhabi, didukung antara lain oleh Kumpulan Wang Persaraan (Diperbadankan), ResponsAbility Investment AG, dan 500 Global. Investor awal eFishery, seperti Northstar, Temasek, dan Softbank, juga turut berpartisipasi. Goldman Sachs secara eksklusif bertindak sebagai penasihat pendanaan.
Solusi awal eFishery saat didirikan tahun 2013 adalah pemberian pakan secara terjadwal dan sesuai takaran melalui alat pemberi pakan otomatis yang terhubung dengan aplikasi di ponsel atau eFeeder. Petani budidaya dapat mengatur frekuensi, jadwal, dan takaran pemberian pakan. Dalam aplikasi terdapat pola pemberian pakan berbasis algoritma.
Solusi seperti itu mampu meningkatkan efisiensi dalam pemberian pakan dibandingkan pemberian pakan dengan cara tradisional, yakni menggunakan tangan atau hand-feeding. Metode hand-feeding yang biasanya langsung dilempar ke kolam berisiko mengurangi nutrisi karena terendam dalam air. Padahal, dalam usaha budidaya ikan khususnya, biaya yang dikeluarkan pemilik kolam untuk pakan dapat mencakup 60–70 persen dari total biaya produksi.
Dalam perkembangannya sampai bisa meraih pendanaan seri D, solusi eFishery telah berkembang lengkap end-to-end, dari mulai memberikan akses terhadap pakan, pendanaan, hingga pasar bagi pembudidaya ikan dan petambak udang. Baru-baru ini, eFishery bekerja sama dengan Shipper, perusahaan rantai pasok dan ecommerce enabler, untuk meningkatkan efisiensi distribusi pakan dan benih di industri akuakultur.
Jumlah mitra pembudidaya ikan dan petambak udang eFishery saat ini telah mencapai lebih dari 200.000 di 280 kabupaten/kota. Sekitar 20 persen dari total mitra berorientasi ekspor. Sementara karyawan eFishery telah mencapai di atas 2.500 orang.
Co-Founder dan CEO eFishery, Gibran Huzaifah (34), Jumat (11/8/2023), di Jakarta, mengatakan, pada masa-masa awal eFishery berdiri, dirinya harus melewati tantangan sulit. Misalnya, belum banyak perusahaan modal ventura atau venture capital yang percaya dan bersedia mendanai perusahaan rintisan bidang teknologi (start up) akuakultur.
”Hampir 99 persen venture capital yang kami temui untuk mengajukan pendanaan menolak. Konsumen juga belum terbangun karena kami masih berusaha meyakinkan petani. Sering kehabisan modal dan harus memutar otak agar bisa membayar gaji karyawan,” ujarnya.
Setelah hampir satu dekade beroperasi, menurut dia, tantangan yang dihadapi bergeser menjadi berupa skalabilitas bisnis dan organisasi. Jika satu dekade pertama ini cenderung lebih banyak berkutat pada solusi di hulu budidaya ikan dan tambak ikan, satu dekade ke depan, eFishery akan perlahan-lahan menguatkan solusi hilir untuk meningkatkan nilai tambah pembudidaya ikan. Pembudidaya juga akan memperoleh harga yang lebih adil dan transparan. Solusi hilir yang dimaksud berupa jaringan distribusi langsung hasil budidaya ikan ataupun tambak udang ke pasar domestik, seperti warung makan dan restoran, dan pasar internasional.
EFishery sekarang melakukan uji coba komersial solusi hulunya, yakni eFeeder, di India. Akhir tahun 2023 diharapkan sudah bisa resmi komersial.
”Kami fokus dulu di India, setelah itu baru melangkah ke kawasan regional lainnya. Pasar akuakultur di dalam negeri juga masih punya peluang besar. Indonesia memiliki sekitar 3,7 juta pembudidaya yang kami ingin 1 juta di antaranya bisa menjadi mitra eFishery dalam beberapa tahun mendatang,” kata Gibran yang pernah masuk daftar 30 Under 30 Asia Forbes 2017.
Amartha
Jika eFishery berkecimpung mengembangkan solusi end to end bagi pembudidaya ikan dan petambak ikan, penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi Amartha memilih fokus kepada pembiayaan ultramikro bagi perempuan pelaku usaha mikro. Amartha sendiri saat ini telah berusia 13 tahun.
Pendiri dan CEO Amartha Andi Taufan Garuda (36), saat dihubungi terpisah, percaya, segmen usaha akar rumput memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, meskipun pada segmen ini tantangan yang dihadapi sulit, seperti rendahnya literasi keuangan dan digital, kurang meratanya infrastruktur digital, hingga batasan sosial budaya yang umum dihadapi oleh perempuan perdesaan.
Sejak awal didirikan sampai sekarang, Amartha percaya bahwa kesejahteraan merata dapat tercapai apabila segmen akar rumput dapat sejahtera. Mereka yang berada di lapisan piramida terbawah memiliki jumlah yang sangat masif. Apabila segmen ini diberdayakan dengan baik lewat layanan keuangan inklusif, pendampingan usaha, penyediaan teknologi, dan edukasi yang memadai, kesejahteraan dapat dirasakan oleh semua lapisan.
Pada tahun 2010, Amartha berdiri di Ciseeng, Bogor. Pada awalnya, Amartha adalah pembiayaan ultramikro bagi perempuan pelaku usaha mikro. Saat itu, Amartha masih menjalankan operasional bisnis tradisional dan permodalan bagi mitra diperoleh dari dana pribadi pendiri perusahaan. Pada 2016, Amartha bertransformasi menjadi perusahaan teknologi keuangan yang menjembatani para pendana di kota besar kepada mitra UMKM, terutama perempuan pelaku usaha mikro di perdesaan. Amartha menerima suntikan permodalan dari individu sampai investor global, seperti Women’s World Banking.
Hingga saat ini, Amartha telah menyalurkan permodalan lebih dari 12 triliun rupiah kepada lebih dari 1,7 juta pelaku usaha mikro yang tersebar di 42.000 desa di Indonesia. Berdasarkan Laporan Akuntabilitas Sosial Tahun 2021–2022 yang dirilis oleh Amartha, sebanyak 37,76 persen pendapatan tahunan mitra meningkat meskipun dalam kondisi pandemi Covid-19. Sebanyak 90.000 pelaku usaha di akar rumput berhasil naik kelas menjadi usaha kecil menengah. Lebih dari 271.000 lapangan kerja informal berhasil diciptakan oleh pelaku usaha yang menjadi mitra binaan Amartha.
Agar terus dapat menciptakan dampak kepada mitra, Amartha menerapkan beberapa strategi. Andi mencontohkan, salah satu strateginya, yaitu ekspansi ke berbagai penjuru Tanah Air. Baru-baru ini, Amartha membuka kantor operasional di wilayah Nusa Tenggara agar layanan keuangan inklusif semakin merata di seluruh Indonesia, tidak terpusat di Pulau Jawa saja. Amartha juga fokus mengembangkan inovasi digital yang terintegrasi, mudah, dan adaptif.
Baca juga: Bappenas Dorong Transformasi dan Kolaborasi Menuju Indonesia Emas 2045
Du Anyam
Di sektor kerajinan, ada Du Anyam yang didirikan tahun 2014 oleh Hanna Keraf (35), Melia Winata, dan Azalea Ayuningtyas. Du Anyam pertama kali menjejakkan karya di Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, guna menampung kekayaan lokal penduduk sekitar yang secara turun-temurun mampu membuat anyaman berbahan dasar daun lontar. Nama Du Anyam sendiri diambil dari bahasa lokal, yakni du’a (ibu) dan anyam (menganyam).
Hanna lahir dan besar di Jakarta. Namun, sebagai orang yang masih memiliki darah Nusa Tenggara Timur (NTT), dia ingin menggerakkan roda perekonomian di tempat asalnya melalui pemberdayaan masyarakat.
Menurut dia, berbagai permasalahan sosial di wilayah timur Indonesia, seperti isu kesehatan, ketimpangan ekonomi, dan pendidikan, dapat dituntaskan dengan mulai meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Du Anyam diharapkan bisa menjadi bagian dalam solusi itu.
”Dengan memberdayakan perempuan, taraf hidup masyarakat bisa ditingkatkan. Kami bertiga yakin, semua dimulai dari ekonomi. Dengan penghasilan yang didapat, para perempuan ini dapat mengambil keputusan untuk keberlanjutan hidup, seperti perbaikan gizi, pendidikan, dan kesehatan,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (14/8/2023).
Selain membangun ekosistem bisnis dari hulu hingga hilir, Du Anyam juga turut memberikan pelatihan kepada masyarakat sekitar agar produk anyaman yang dihasilkan berkualitas dan memiliki nilai jual. Selain Nusa Tenggara Timur, Du Anyam telah merambah beberapa wilayah lain, seperti Papua dan Kalimantan Selatan.
Jumlah perempuan penganyam yang diberdayakan oleh Du Anyam hingga saat ini sekitar 1.600 orang. Dari yang semula bergerak di satu desa untuk memberdayakan 16 perempuan, saat ini Du Anyam telah melintang di lebih 50 desa.
Hasil kerajinan dari ribuan perempuan penganyam itu laris terjual di etalase berbagai hajatan internasional, seperti ASEAN Games 2018 dan G20 pada tahun 2022. Hasil kerajinan Du Anyam juga telah menarik perhatian peritel produk rumah tangga, di antaranya IKEA Indonesia.
Dengan mengusung tiga keutamaan, yakni pemberdayaan perempuan, peningkatan kesejahteraan, dan promosi budaya lokal, dia berharap akan lahir Du Anyam-Du Anyam baru lainnya di Indonesia. Sebagai generasi muda, Hanna berhasrat agar semangatnya dapat diteruskan oleh kaum muda lainnya.
Ladang Lima
Kisah lainnya mengenai pemberdayaan masyarakat datang dari Raka Bagus (42), CEO Ladang Lima. Sebelumnya, pria yang lulusan Diploma Desain Grafis FH Munster University, Jerman, ini tidak pernah membayangkan dirinya menjadi pengusaha.
Sepulangnya ke Indonesia pada tahun 2009, Raka justru berniat untuk menempuh jalur akademis sebagai pengajar desain grafis. Sembari menunggu adanya lowongan pekerjaan itu, Raka membuka agensi di bidang desain.
Dalam perjalanannya, pria asal Surabaya, Jawa Timur, ini mulai tertarik mendirikan usaha saat berjumpa dengan salah satu kliennya yang menjual produk ikan kalengan. Dari situ, Raka mulai merasa produk-produk lokal tidak kompetitif dengan produk lain sehingga perlu sentuhan inovasi.
Namun, Raka baru mendapatkan keyakinan untuk merintis bisnis makanan tatkala mengenal produk singkong fermentasi. Saat itu, saudaranya memperkenalkan singkong fermentasi yang ternyata bisa diturunkan menjadi tepung.
”Dengan proses fermentasi, singkong ini bisa memiliki karakter seperti tepung terigu. Hal ini tentu akan menciptakan ketahanan pangan dan bisa mengurangi impor terigu atau gandum. Dari sinilah muncul keinginan untuk buat usaha tepung singkong supaya bisa gantikan terigu,” ujarnya.
Tidak seperti yang dibayangkan, menjalankan bisnis singkong sembari mempertahankan usaha sebelumnya justru membuat Raka terpukul. Akhirnya, Raka memutuskan untuk bertahan dengan Ladang Lima yang didirikan tahun 2014 dan meninggalkan agensi desain rintisannya.
Namun, badai kembali menerpa. Meski telah memberdayakan belasan warga sekitar, produk modifikasi tepung ketela pohon atau modified cassava flour (mocaf) ternyata belum begitu dikenal masyarakat luas. Hal ini membuat bisnis yang baru dirintis Raka hampir gulung tikar.
Dengan menyisakan 5 ton mocaf, Raka nekat mendatangi sebuah pabrik pengolahan mi dan meminta pabrik tersebut membuat mi dengan tepung miliknya. Alhasil, mi yang dihasilkan dari mocaf tersebut justru lebih mudah diterima masyarakat yang akhirnya membuat Ladang Lima berinovasi dan menghasilkan 23 produk turunan mokaf.
”Dari situ, saya mulai berani membeli tanah di Desa Pasrepan, Pasuruan, untuk menyuplai produksi mocaf. Kebetulan di sana ada banyak lahan kosong sehingga masyarakat sekitar saya ajak untuk ikut menanam singkong. Rata-rata di sana lulusan SD-SMP dan kerjanya serabutan,” katanya.
Pelan tetapi pasti, penduduk sekitar pun akhirnya bersedia menjadi mitra Ladang Lima untuk mengisi rantai pasok singkong. Dengan mengandalkan lahan tidur (lahan kosong), warga mulai diberi pelatihan mengenai penanaman singkong, termasuk diberi bibit dan pupuk secara cuma-cuma. Saat ini tercatat ada sekitar 15 hektar ladang milik warga yang menyuplai singkong ke Ladang Lima.
Tidak hanya di sektor hulu, Raka juga membuka lapangan pekerjaan bagi ibu-ibu dalam pembuatan kue yang berasal dari mocaf. Saat ini, dengan 120 pekerja yang mayoritasnya perempuan, Ladang Lima turut menjajaki ekspor ke sejumlah negara, seperti Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Australia. Dalam dua sampai tiga bulan sekali, rata-rata terdapat dua kontainer yang diekspor.
Baca juga : Teknologi Digital Bisa Optimalkan Bisnis UMKM