Dekarbonisasi Tidak Harus dengan Kendaraan Berbasis Baterai
Transisi energi melalui elektrifikasi kendaraan dinilai bukan satu-satunya jalan dekarbonisasi untuk mencapai emisi nol bersih. Ada berbagai alternatif lain, salah satunya adalah melalui penggunaan bahan bakar nabati.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·3 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Industri otomotif Tanah Air berkomitmen untuk ikut mendukung upaya pemerintah dalam mencapai emisi nol bersih atau net zero emission. Salah satu upaya yang dilakukan industri otomotif adalah mengembangkan kendaraan sesuai standar Euro IV.
Hal ini mengemuka dalam Gaikindo International Automotive Conference (GIAC) 2023 di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Selasa (15/8/2023). Pada penyelenggaraan ke-17 ini, GIAC mengusung tema ”Towards Net Zero Emission Now”.
Ketua III Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia Gaikindo sekaligus Ketua Pameran Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2023, Rizwan Alamsjah, mengatakan, tahun ini GIIAS mengusung tema future now atau masa depan itu dimulai dari sekarang. Ini merupakan bentuk komitmen industri otomotif domestik untuk ikut berkontribusi dalam dekarbonisasi melalui teknologi hijau masa depan.
”Oleh sebab itu, kami memilih toward net zero emission now sebagai tema konferensi pada tahun ini dengan menghadirkan para pembicara industri otomotif global. Apalagi, Pemerintah Indonesia juga telah menyatakan komitmennya untuk menurunkan emisi karbon pada tahun 2060,” ujarnya dalam sambutan.
Indonesia menargetkan bersih dari emisi karbon pada tahun 2060 melalui Nationally Determined Contribution (NDC). Lebih lanjut, pemerintah pada tahun 2022 kembali meningkatkan target (enhanced) NDC dengan kemampuan sendiri sebesar 31,89 persen dan dengan dukungan internasional sebesar 43,20 persen pada tahun 2030.
Rizwan menyebut, industri otomotif akan berupaya memberikan kontribusi secara signifikan dalam menurunkan emisi karbon. Namun, hal ini memerlukan kolaborasi dari para pemangku kepentingan agar tujuan tersebut tercapai.
Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama menyampaikan, komitmen industri otomotif untuk mengurangi bauran emisi patut diapresiasi. Namun, hal ini tidak hanya soal pengembangan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB), melainkan bisa juga dengan teknologi berbahan bakar nabati (biofuel), seperti biodiesel.
”Sebagian orang masih memiliki pemahaman yang kurang tepat bahwa transisi energi menuju NZE itu tidak hanya melalui ekosistem kendaraan listrik. Seperti yang disebutkan oleh OICA (Organisasi Produsen Kendaraan Bermotor Internasional), jangan biarkan politik menentukan masa depan otomotif,” ujarnya.
Menurut Basuki, masa depan industri otomotif lebih ditentukan oleh hukum ekonomi, yakni permintaan-penawaran (supply-demand) di dalam pasar. Lebih lanjut, pengembangan KBLBB hanyalah menjadi satu pilihan dari berbagai inovasi teknologi berbasis bahan bakar energi hijau atau energi terbarukan.
Mobilnya sudah siap untuk bahan bakar bersih. Mobil kita sudah Euro IV. Tapi, kalau yang diberi bahan bakar kotor, keluarnya juga kotor.
Terkait pilihan energi hijau tersebut, lanjut Basuki, PT Pertamina telah menyesuaikan dengan kondisi pasar global, yakni dengan mengembangkan geotermal, biodiesel, dan hidrogen. ”Para pelaku industri otomotif pasti paham dengan permintaan masyarakat, apa yang dibutuhkan oleh masyarakat,” lanjutnya.
Menanggapi hal itu, Ketua Gaikindo Yohannes Nangoi menyampaikan, industri otomotif Tanah Air tidak menutup terhadap beragam inovasi guna mengurangi emisi karbon. Salah satunya dengan memproduksi kendaraan sesuai standar Euro IV atau standar yang diterapkan oleh negara Eropa terkait batas emisi yang dihasilkan oleh mobil per kilometernya.
Sebagai informasi, Euro IV memiliki ketentuan, yakni kandungan nitrogen oksida pada kendaraan berbahan bakar bensin tidak boleh lebih dari 80 miligram per kilometer. Selain itu, batas tersebut juga berlaku pada mesin diesel maksimal 250 miligram per kilometer dan untuk diesel particulate matter maksimal 25 miligram per kilometer.
”Mobilnya sudah siap untuk bahan bakar bersih. Mobil kita sudah Euro IV. Tapi, kalau yang diberi bahan bakar kotor, keluarnya juga kotor,” kata Nangoi.
Bahan bakar nabati
Secara terpisah, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yudo Dwinanda Priaadi memaparkan, biofuel akan menjadi solusi bahan bakar rendah karbon sehingga berperan penting dalam transisi energi, khususnya sektor transportasi. Saat ini, biofuel di Indonesia terus berkembang hingga per Februari 2023 telah menggunakan B35 (campuran 35 persen bahan bakar nabati dan 65 persen solar) secara nasional.
”Berdasarkan BP Statistical Review of World Energy tahun 2022, ASEAN memberikan kontribusi signifikan terhadap pasokan biofuel global. Produksi Indonesia mencapai 174.000 barel per hari sekaligus menjadi negara penghasil bahan bakar nabati terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan Brasil,” kata Yudo dalam keterangan resmi, Rabu (2/8/2023).
Agricultural Attaché at the Embassy of Brazil in Jakarta Bruno Breitenbach menjelaskan, etanol menjadi salah satu produk biomassa andalan Brasil. Saat ini terdapat 360 pabrik produksi aktif yang telah menyerap lebih dari 705.000 pekerjaan formal dan sekitar 2,1 juta orang pekerja tidak langsung.
Menurut Bruno, keberadaan pabrik etanol akan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) per kapita rata-rata di wilayah sekitar pabrik sebesar 1.098 dollar AS.
”Konsumsi etanol oleh mobil berbahan bakar fleksibel yang wajib dikombinasikan dengan campuran, saat ini sebesar 27 persen anhidrat etanol dalam bensin dan telah mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar lebih dari 630 juta ton sejak Maret 2003. Jumlah ini setara dengan total emisi Korea Selatan,” ujarnya saat sesi diskusi GIAC 2023.