Pasar Lesu, Eksportir Bertahan dengan Beragam Cara
Tidak semua eksportir dapat mendiversifikasi pasar karena bergantung pada kondisi setiap perusahaan. Dalam kondisi saat ini, perjanjian dagang juga tidak bisa sepenuhnya menggantikan permintaan ekspor yang hilang.
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Permintaan ekspor dari negara mitra dagang utama Indonesia masih lesu. Eksportir mencoba mempertahankan usaha dengan beragam cara. Di sisi lain, pasar alternatif baru dan perjanjian dagang belum sepenuhnya dapat menggantikan permintaan yang hilang.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indoneaia (Apindo) Shinta W Kamdani, Kamis (10/8/2023), mengatakan, hampir semua industri manufaktur berorientasi ekspor masih terdampak pelemahan permintaan global. Hal itu khususnya terjadi pada industri yang memproduksi barang konsumsi tahan lama, seperti pakaian, sepatu, dan furnitur.
”Dalam kondisi saat ini, mengalihkan pasar atau mengikat kontrak dengan pembeli dari luar negeri baru bukan hal yang mudah. Jadi yang paling bisa dilakukan perusahaan untuk bertahan adalah meningkatkan efisiensi produksi dengan konsekuensi penurunan produktivitas atau kapasitas terpakai,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Mengalihkan pasar atau mengikat kontrak dengan pembeli dari luar negeri baru bukan hal yang mudah.
Selain itu, kata Shinta, banyak perusahaan pengekspor yang memiliki pasar domestik mengalihkan kapasitas produksi untuk menyediakan produk-produk yang bisa dijual di dalam negeri. Adapun yang tidak bisa mengalihkan produknya ke pasar domestik umumnya mereka terus berkoordinasi dengan pembeli dari luar negeri, terutama yang memiliki kontrak penjualan atau rantai pasok untuk meminimalkan potensi stop produksi.
Ada juga yang mulai mendiversifikasi pasar ke negara-negara yang tingkat permintaannya lebih baik meskipun daya belinya lebih rendah. Mereka semula yang mengekspor ke Amerika Serikat dan Uni Eropa, misalnya, mulai memindah pasar ke China, India, dan beberapa negara di Afrika.
”Namun, tidak semua eksportir dapat mendiversifikasi pasar karena bergantung pada kondisi setiap perusahaan,” katanya.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menginisiasi sejumlah perjanjian perdagangan bilateral dengan sejumlah negara. Perjanjian itu berupa kesepakatan tarif preferensial (PTA) dan kemitraan ekonomi komprehensif (CEPA).
Kementerian Luar Negeri mencatat, sejak 2008-April 2023 terdapat sembilan perjanjian yang sudah diratifikasi. Beberapa di antaranya Indonesia-Pakisatan PTA, Indonesia-Chile PTA, Indonesia-Asosiasi Perdagangan Bebas Uni Eropa CEPA, Indonesia-Mozambik PTA, Indonesia-Korea Selatan CEPA, dan Indonesia-Uni Emirat Arab CEPA.
Shinta berpendapat, perjanjian-perjanjian perdagangan itu sangat membantu para pelaku usaha dan industri. Namun, dalam kondisi saat ini, perjanjian dagang tidak bisa sepenuhnya menggantikan permintaan ekspor yang hilang.
Mengalihkan dan mendapatkan pasar ekspor baru tidak mudah dan butuh waktu untuk menciptakan relasi perdagangan dengan volume yang signifikan. Apalagi, mayoritas perjanjian dagang Indonesia adalah dengan negara-negara tujuan ekspor nontradisional yang belum tentu bisa menjadi pasar alternatif yang menguntungkan jika dibandingkan risiko usahanya.
”Hal itu baik mencakup daya beli masyarakat negara tersebut, volume ekspor yang belum kompetitif, standardisasi produk, maupun biaya logistik,” kata Shinta.
Sementara itu, badan usaha milik negara (BUMN) terus berupaya membuka peluang ekspor. Salah satunya ID Food, Holding BUMN Pangan yang meningkatkan kemitraan dengan Amerika Serikat dan Kamboja.
Pada 8 Agustus 2023, ID Food bertemu dengan Asosiasi Nasional Departemen Pertanian Negara Bagian Amerika Serikat (NASDA) di Jakarta. Salah satu fokus pertemuan itu adalah membahas kerja sama peningkatan ekspor kedua negara melalui kemitraan strategis.
Direktur Utama ID Food Frans Marganda Tambunan mengatakan, kemitraan strategis itu diharapkan dapat memperkuat dan membuka peluang baru kerja sama di sektor pangan antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Peluang perdagangan pangan itu mencakup berbagai komoditas, seperti daging sapi, bibit indukan ayam, susu, dan sejumlah produk perikanan.
”Kami memiliki portofolio bisnis yang beragam. Beberapa di antaranya merupakan komoditas yang berpotensi diekspor, seperti tuna, gurita, kopi, dan rumput laut,” ujarnya melalui siaran pers.
Kami memiliki portofolio bisnis yang beragam. Beberapa di antaranya merupakan komoditas yang berpotensi diekspor, seperti tuna, gurita, kopi, dan rumput laut.
Berdasarkan data ID Food, pada 2023, perusahaan milik negara tersebut telah mengekspor ikan tuna dan gurita masing-masing sebanyak 406 ton dan 294 ton ke Jepang dan Amerika Serikat. ID Food juga telah mengekspor kopi ke Mesir sebanyak 100 ton dan rumput laut ke China sebanyak 900 ton.
Selain dengan NASDA, ID Food melalui PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) juga menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan perusahaan Kamboja, Ung Kheang Group Co., Ltd di sela-sela acara Promosi Perdagangan dan Pariwisata Indonesia (ITTP) ke-14 di Kamboja pada 4-6 Agustus 2023.
”MoU itu bertujuan untuk menciptakan sinergi dalam memanfaatkan potensi komoditas yang dimiliki masing-masing negara, terutama di sektor pangan. Ini merupakan langkah strategis untuk memperluas jangkauan pasar komoditas pangan Indonesia,” kata Kepala Divisi Perdagangan Internasional PT PPI Joyce Josephine.