Ekonomi Indonesia Kembali ke Jalur Pertumbuhan Normal
Setelah melemah akibat pandemi sepanjang 2020-2021 serta terangkat oleh kenaikan harga komoditas global dan efek basis rendah pada 2022, perekonomian Indonesia dinilai telah kembali ke jalur pertumbuhan normal.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perekonomian Indonesia pada pertengahan tahun ini diperkirakan bakal kembali melanjutkan tren pertumbuhan di kisaran 5 persen. Indonesia dinilai punya modal yang cukup untuk menavigasi risiko perlambatan ekonomi jangka pendek sembari melepaskan diri dari jerat pertumbuhan ”autopilot” menuju negara berpendapatan tinggi.
Sebelumnya, ekonomi Indonesia terkontraksi dan melemah akibat pandemi Covid-19 sepanjang tahun 2020-2021. Pada 2022, ekonomi meroket akibat kenaikan harga komoditas global dan efek basis pertumbuhan tahun sebelumnya yang rendah. Kini, ekonomi Indonesia dinilai telah kembali ke jalur pertumbuhan normal di kisaran 5 persen.
Pertumbuhan 5 persen itu sudah konsisten tercapai selama enam triwulan terakhir secara berturut-turut. Pada triwulan I tahun 2023, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,03 persen secara tahunan, melampaui konsensus dan prediksi banyak pihak. Pertumbuhan itu lebih tinggi dari 5,01 persen pada triwulan IV-2022 dan 5,02 persen pada triwulan I-2022.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) memperkirakan, ekonomi Indonesia akan kembali tumbuh positif di kisaran 5,07-5,10 persen pada triwulan II-2023 atau diprediksi di angka 5,09 persen.
Menurut rencana, data terbaru pertumbuhan ekonomi itu akan diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (7/8/2023) mendatang. ”Pertumbuhan ekonomi saat ini sudah kembali pada tingkat pertumbuhan ’autopilot’ di kisaran 5 persen. Seluruh komponen belanja sudah mencatat pertumbuhan yang positif,” kata ekonom LPEM FEB UI, Teuku Riefky, Jumat (4/8/2023).
Ia mengatakan, semua indikator ekonomi dari sisi pengeluaran telah kembali ke jalur lintasan pertumbuhannya. Konsumsi rumah tangga yang berkontribusi terhadap lebih dari separuh struktur PDB mencatat pertumbuhan 4,54 persen pada triwulan I-2023. Pada triwulan II-2023, laju konsumsi masyarakat itu diperkirakan meningkat akibat momen hari raya Idul Fitri.
Ekonomi yang kembali ke jalur normal itu juga ditandai dengan kinerja ekspor yang melandai akibat normalisasi harga komoditas global, meskipun masih tumbuh positif. Pada triwulan II-2023, surplus perdagangan hanya 7,8 miliar dollar AS, setengah dari surplus pada periode yang sama tahun 2022, yaitu 15,6 miliar dollar AS.
”Ekspor nonmigas yang didominasi oleh komoditas berkurang karena tren penurunan harga komoditas global, khususnya batubara dan minyak sawit, serta intervensi pemerintah untuk menambah larangan ekspor mineral,” kata Riefky.
Ekonomi Indonesia akan kembali tumbuh positif di kisaran 5,07-5,10 persen pada triwulan II-2023.
Tumbuh terbatas
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menambahkan, penurunan ekspor juga terjadi akibat melambatnya ekonomi negara mitra dagang utama Indonesia di awal tahun ini. Meski masih ditopang oleh kenaikan konsumsi rumah tangga, ekspor yang melambat itu akan berefek pada turunnya pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2023.
Ia memprediksi, ekonomi triwulan II-2023 akan tumbuh 5 persen. ”Memang sedikit melambat karena ekspor turun, tetapi ini tanda-tanda normalisasi. Tahun lalu ekonomi kita memang tinggi, tetapi itu belum mencerminkan kondisi normal, karena waktu itu basis pertumbuhan di tahun sebelumnya (2021) masih rendah,” ujarnya.
Josua juga menyoroti kinerja pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi yang pertumbuhannya masih terbatas. Indikasinya tampak dari investasi nonbangunan yang melambat, seperti impor barang modal yang mulai turun secara bulanan pada Juni 2023.
Di sisi lain, investasi bangunan terkait pembangunan infrastruktur juga tertahan seiring dengan menurunnya penjualan semen domestik. ”Dari sisi realisasi, meski investasi dalam negeri masih tumbuh, investasi asing mulai melambat karena turunnya harga komoditas global,” kata Josua.
Belanja pemerintah sebagai penyumbang PDB paling kecil diperkirakan tetap melanjutkan tren pertumbuhan positif seperti triwulan I-2023. Namun, dari sisi produktivitas, kualitas belanja pemerintah dinilai menurun akibat porsi pembayaran bunga utang yang meningkat. ”Bicara tumbuh atau tidak, memang tetap tumbuh, tetapi tidak produktif,” ujarnya.
Riefky menilai, pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen adalah keniscayaan dalam kondisi normal. ”Sejauh ini memang kapasitas autopilot kita adalah tumbuh 5 persen. Artinya, dengan jumlah penduduk, tingkat konsumsi masyarakat, dan produksi sektoral kita saat ini, most likely memang kita akan tetap tumbuh 5 persen,” ujarnya.
Ia menilai, Indonesia perlu mengoptimalkan potensinya untuk mencapai pertumbuhan 6-7 persen dan menjadi negara berpendapatan tinggi. Indonesia sebenarnya memiliki modal yang cukup untuk melakukan reformasi dan mendorong strategi industrialisasi baru demi keluar dari kondisi autopilot itu, sembari tetap menghadapi risiko perlambatan ekonomi jangka pendek.
Itu terlihat dari ekonomi yang tetap tumbuh 5 persen tahun lalu di tengah ketidakpastian global yang tinggi. ”Berlimpahnya sumber daya alam, bonus demografi, dan pasar domestik yang besar sebenarnya memberi peluang untuk mencapai pertumbuhan tinggi. Tetapi, kita butuh strategi yang lebih dari hanya sekadar memanfaatkan pertumbuhan ekonomi saat ini,” kata Riefky.
Kita butuh strategi yang lebih dari hanya sekadar memanfaatkan pertumbuhan ekonomi saat ini.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan, pertumbuhan ekonomi RI pada triwulan II-2023 akan tetap terjaga di level 5 persen, ditopang oleh permintaan domestik yang membaik seiring terjaganya indeks keyakinan konsumen dan kinerja sektoral yang positif, termasuk manufaktur yang terus mengalami ekspansi.
”Dengan perkembangan yang positif ini, pertumbuhan ekonomi, baik pada triwulan II maupun keseluruhan tahun ini, kami perkirakan masih terjaga di kisaran 5,0-5,3 persen,” katanya dalam konferensi pers hasil rapat berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), awal pekan ini.