Pasokan Bioetanol yang Berkelanjutan Jadi Tantangan
Implementasi E5 terus dipantau hingga ke depan diharapkan akan naik menjadi E10. Salah satu hal penting dalam implementasi bioetanol sebagai campuran BBM ialah keberlanjutan pasokan bahan baku tetes tebu.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi bioetanol sebagai campuran bahan bakar minyak atau BBM telah dimulai beberapa waktu lalu oleh PT Pertamina (Persero) dengan produk Pertamax Green 95. Apabila saat ini campuran bioetanol sebesar 5 persen atau E5, ke depan akan ditingkatkan bertahap. Kepastian pasokan bahan baku menjadi salah satu tantangan.
Sebelumnya, di Jakarta, Senin (24/7/2023), PT Pertamina Patra Niaga resmi memperkenalkan Pertamax Green 95 sebagai produk baru. Produk itu hasil pencampuran bensin (gasoline) dengan bioetanol 5 persen (E5) yang berbahan baku tetes tebu (molases) hingga menghasilkan BBM RON (nilai oktan) 95.
Untuk tahap awal, Pertamax Green 95 tersedia di 10 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Surabaya dan 5 SPBU di Jakarta dengan harga jual Rp 13.500 per liter. Harga jual itu berada di antara Pertamax (RON 92) yang Rp 12.400 per liter dan Pertamax Turbo (RON 98) seharga Rp 14.000 per liter (untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya).
Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis PT Pertamina Patra Niaga Harsono Budi Santoso, dalam seminar integrasi biofuel dalam rangka Keketuaan Indonesia ASEAN 2023, di Jakarta, Rabu (2/8/2023), mengatakan, penjualan Pertamax Green 95 masih terbatas. Pasokan bioetanol pun terus dipastikan dan dukungan ekosistem berjalan baik.
Implementasi E5 terus dipantau hingga ke depan diharapkan naik menjadi E10. ”Saat siap untuk E10, kami perlu melihat bagaimana (optimal digunakan) pada mesin manufaktur dan otomotif, termasuk pada mobil-mobil tua. Jadi, perencanaan sangat penting dan kami belajar banyak untuk itu,” kata Harsono.
Menurut dia, Pertamina telah berpengalaman dari implementasi pencampuran biodiesel pada bahan bakar solar. Program tersebut dimulai pada 2008 dengan campuran biodiesel sebesar 2,5 persen atau B2,5, sedangkan saat ini sudah mencapai 35 persen atau B35. Dalam prosesnya, ada sejumlah tantangan, mulai dari dampak terhadap mesin otomotif, industri, penerimaan masyarakat, hingga kesiapan pasar yang kemudian dapat diatasi.
Peningkatan bioetanol pun memerlukan kesiapan serupa. ”Artinya, kami harus mengidentifikasi pasokan tetes tebu di setiap lokasi di Indonesia. Juga terkait aktivitas pencampurannya,” ujar Harsono.
Sebelumnya, Direktur PT Energi Agro Nusantara (Enero)—produsen bioetanol—Puji Setiyawan mengatakan, kapasitas produksi pabrik Enero di Mojokerto, Jawa Timur, ialah 100.000 liter per hari atau 3 juta liter per bulan. Kebutuhan Pertamina untuk tahap awal implementasi E5 pun dijamin.
Implementasi pencampuran bioetanol dengan bensin itu beriringan dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang diundangkan pada 16 Juni 2023. Peningkatan produksi bioetanol hingga pembangunan pabrik bioetanol diatur dalam perpres tersebut.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Yudo Dwinanda Priaadi menuturkan, biofuel atau bahan bakar nabati menjadi elemen penting dalam mendukung capaian emisi nol bersih (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Penerapan biodiesel dan bioetanol termasuk di dalamnya.
Dalam implementasi biofuel, hal yang tidak kalah penting adalah keterjangkauan masyarakat. ”Saat berbicara kebijakan energi, keterjangkauan masyarakat adalah hal penting. Kami ingin menciptakan sesuatu yang baru (lebih hijau), tetapi juga memastikan masyarakat bisa menjangkaunya,” ucap Yudo.
Di sisi lain, dalam menuju NZE 2060, hal krusial lain ialah regulasi, khususnya Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang saat ini tengah dibahas pemerintah dan DPR. Regulasi menentukan di tahap-tahap awal transisi energi. ”RUU EBET akan menjadi game changer dan fondasi solid menuju NZE 2060,” lanjutnya.
Reformasi subsidi
Menurut anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDI-P, Mercy Chriesty Barends, para anggota DPR memberikan perhatian lebih dalam pengembangan energi terbarukan. Salah satu yang didorong ialah reformasi subsidi karena pada 2022 subsidi dan kompensasi energi, termasuk untuk BBM, menghabiskan anggaran sekitar Rp 532 triliun.
”Karena itulah kami mendorong secara bertahap agar (anggaran) bisa direalokasi dari subsidi untuk energi fosil ke pengembangan energi terbarukan. Di sisi lain, kami bersama pemerintah terus mediskusikan bagian-bagian dalam RUU EBET. Diharapkan, ke depan, energi terbarukan bisa menjadi baseload (pemikul beban dasar) bagi energi nasional,” katanya.
Implementasi biofuel menjadi salah satu topik dalam Keketuaan Indonesia ASEAN 2023 pada sektor energi. Sejumlah kolaborasi di antara negara-negara anggota ASEAN di antaranya ialah sinergi dalam ekonomibiocircular green (BCG) dan menciptakan produksi biofuel yang berkelanjutan, tanpa berkompetisi dengan pangan dan tak menyebabkan deforestasi.