Langkah The Fed Naikkan Suku Bunga Diyakini Tidak Memberatkan RI
Naiknya tingkat suku bunga acuan The Fed kali ini diyakini hanya akan memicu gejolak sesaat di pasar keuangan, tetapi tidak sampai memicu pelemahan nilai tukar rupiah yang lebih dalam. BI siapkan langkah antisipasi.
Oleh
AGNES THEODORA,, BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
Tayangan konferensi pers Ketua The Federal Reserve Jerome Powell di gedung Bursa Efek New York, Rabu, 26 Juli 2023. Respons pasar saham bervariasi terhadap keputusan The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) ke kisaran 5,25-5,5 persen, mencatat rekor tertinggi selama lebih dari dua dekade.
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan bank sentral Amerika Serikat menaikkan kembali tingkat suku bunga acuannya diyakini tidak akan berdampak signifikan terhadap Indonesia. Kenaikan yang sudah diprediksi serta kondisi perekonomian dalam negeri yang stabil membuat risiko arus modal keluar (capital outflow) dan efek pelemahan nilai tukar rupiah bisa ditekan.
Bank sentral AS, The Federal Reserve atau The Fed, menaikkan tingkat suku bunga acuannya Fed Fund Rate (FFR) sebesar 25 basis poin menjadi 5,25-5,5 persen dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang digelar pada Rabu (26/7/2023). The Fed juga menyiratkan adanya peluang untuk kembali menaikkan suku bunganya pada September 2023.
Ini menjadi kali kesebelas The Fed menaikkan suku bunga sejak mulai melakukan pengetatan kebijakan moneter pada Maret 2022 selepas perang Rusia-Ukraina. Level suku bunga acuan saat ini juga mencatat rekor tertinggi dalam dua dekade terakhir.
Meski demikian, berbeda dengan sebelumnya, dampak dari kebijakan The Fed kali ini dinilai tidak akan banyak berdampak pada perekonomian Indonesia. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Kamis (27/7/2023), berpendapat, naiknya suku bunga The Fed kali ini hanya akan memicu gejolak sesaat di pasar keuangan.
”Dampaknya akan minimal. Memang ada kemungkinan pelemahan nilai tukar rupiah, tetapi itu hanya short term. Masih di batas wajar, ada gejolak sesaat lalu segera normal kembali,” kata Faisal.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Petugas Bank Syariah Indonesia menghitung uang kertas rupiah di kantor cabang BSI Thamrin, Jakarta, Senin (22/5/2023). Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) kemarin, nilai tukar rupiah menguat 39 poin menjadi Rp14.897 per dollar AS.
Menurut dia, ada beberapa faktor yang membuat langkah The Fed tidak banyak memberatkan perekonomian dalam negeri. Pertama, kenaikan itu sudah sesuai ekspektasi pasar. The Fed memang diperkirakan menaikkan suku bunganya secara moderat sebesar 25 basis poin hingga menyentuh level 5,75 persen, yang berarti tinggal terjadi sekali lagi tahun ini.
Berhubung sudah bisa diprediksi, kenaikan itu diyakini tidak membuat investor beramai-ramai menarik modalnya keluar dari Indonesia, sehingga potensi arus modal keluar (capital outflow) bisa ditekan dan stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tetap terjaga.
”Jadi, ini sudah sesuai prediksi dan diantisipasi. Lagi pula kenaikan kali ini lebih mild, tidak agresif lagi seperti tahun lalu,” katanya. Tahun lalu, untuk mengendalikan inflasi di AS, The Fed sempat menaikkan tingkat suku bunga acuan FFR hingga 75 bps sehingga memicu arus modal keluar yang signifikan di banyak negara dan melemahkan nilai tukar mata uang, termasuk rupiah.
Memang ada kemungkinan pelemahan nilai tukar rupiah, tetapi itu hanya short term.
Ekonomi kuat
Faktor kedua adalah kondisi perekonomian dalam negeri yang masih relatif kuat. Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, fundamental ekonomi RI yang masih positif membuat gejolak eksternal seperti langkah The Fed itu bisa diredam.
”Memang ekonomi kita juga melambat, tetapi outlook kita masih lebih baik dibandingkan dengan negara lain yang tengah menurun tajam. Selain itu, memang kenaikan suku bunga FFR ini sudah terprediksi, jadi tidak banyak dimainkan oleh spekulan,” kata Eko.
Eko menilai, RI tetap perlu mengantisipasi risiko penurunan ekonomi lebih lanjut akhir tahun ini akibat melandainya berbagai harga komoditas serta efek El Nino yang berisiko mengganggu ketersediaan pangan dan memicu kenaikan inflasi.
Namun, sejumlah faktor risiko itu diyakini tidak akan serta-merta membuat Bank Indonesia ikut mengerek kenaikan suku bunga acuannya. Saat ini, sesuai keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 24-25 Juli 2023, BI 7-Day Reverse Repo Rate dipertahankan di tingkat 5,75 persen.
”Bahkan, ada kemungkinan BI bisa merelaksasi dan menurunkan tingkat suku bunga acuannya di akhir tahun ini,” ujarnya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pergerakan harga saham terpantau dari monitor elektronik di dinding gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (4/7/2023). Indeks Harga Saham Gabungan ditutup pada posisi 6.681,75, melemah14,96 poin atau 0,22 persen dari penutupan hari sebelumnya.
Senada, Faisal menilai, ada peluang BI menurunkan suku bunga acuannya pada akhir tahun, dengan catatan The Fed tidak menaikkan tingkat FFR lagi pasca-September, inflasi di AS menurun ke 3 persen, serta inflasi di dalam negeri dan nilai tukar rupiah tetap terjaga stabil.
”Selama faktor itu terpenuhi dan inflasi kita terjaga di rentang target 2-4 persen, itu kondisi ideal untuk BI mulai menurunkan tingkat suku bunga,” katanya.
BI telah menyiapkan sejumlah langkah antisipatif untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
Antisipasi BI
Sebelumnya, dalam jumpa pers rapat hasil RDG BI, Selasa (25/7/2023), Gubernur BI Perry Warjiyo telah memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunganya dua kali lagi tahun ini, yakni pada Juli dan September, dengan kenaikan masing-masing sebesar 25 basis poin.
Menurut Perry, hal itu akan membuat selisih imbal hasil antara surat berharga negara (SBN) yang dirilis AS dan SBN Pemerintah Indonesia mengecil. Selisih yang mengecil itu berpotensi memicu capital outflow yang mengurangi pasokan dollar AS di dalam negeri sehingga bisa melemahkan nilai tukar rupiah.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah) memimpin konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia di Gedung BI, Jakarta, Selasa (18/4/2023). BI tetap mempertahankan suku bunga acuan pada 5,75 persen. Suku bunga acuan ini telah bertahan selama empat bulan sejak keputusan RDG BI menaikkannya 25 basis poin pada Januari 2023.
Meski demikian, Perry menjelaskan, BI telah menyiapkan sejumlah langkah antisipatif untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Salah satunya dengan melanjutkan kebijakan intervensi pasar dan membeli surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder.
BI juga akan melanjutkan twist operation, yaitu instrumen moneter dengan menjual SBN di pasar sekunder dengan tenor pendek, agar meningkatkan daya tarik imbal hasil SBN bagi masuknya investor portofolio asing.
Nilai tukar rupiah sejak awal tahun tercatat menguat 3,63 persen, lebih kuat dibanding peso Filipina, rupee India, dan baht Thailand masing-masing sebesar 1,78 persen, 1,11 persen, dan 0,42 persen.
”Ke depan, dengan meredanya ketidakpastian pasar keuangan global, BI memperkirakan nilai tukar rupiah akan menguat ditopang prospek pertumbuhan ekonomi kuat, inflasi yang rendah, imbal hasil aset keuangan domestik yang menarik, dan dampak positif dari implementasi kebijakan devisa hasil ekspor sumber daya alam,” ujar Perry.