Kebijakan Antidumping dan Inovasi Dapat Sokong Industri Keramik
Saat ini, Indonesia perlu menjaga iklim investasi karena industri keramik sedang berekspansi. Kalau impor tidak dibendung, pabrik baru yang akan berproduksi sulit bersaing dengan produk impor.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja industrikeramik tengah melesu lantaran gempuran produk impor dari China di pasar dalam negeri. Oleh sebab itu, kalangan pelaku industri menyatakan membutuhkan kebijakan antidumping sembari berinovasi dalam teknologi manunfaktur keramik sehingga dapat memperkuat laju ekspansi.
Pada semester I-2023, Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto menyebutkan, utilitas produksi industri keramik berada di posisi 73 persen. Padahal, rata-rata utilisasi sepanjang 2022 mencapai 78 persen. Dia menilai, penurunan utilisasi produksi dipengaruhi oleh banjirnya impor keramik dari China di pasar Indonesia. ”Indonesia mesti berhati-hati karena China mengalihkan impor produk keramiknya ke Tanah Air dengan harga yang tak masuk akal karena sulit masuk ke pasar Amerika Serikat (AS). Pasar properti di China pun masih stagnan (untuk menyerap produk keramik),” ujarnya saat dihubungi, Kamis (27/7/2023).
Secara total, lanjutnya, kapasitas terpasang produksi keramik mencapai 550 juta meter persegi. Sebanyak 150 juta meter persegi di antaranya merupakan kapasitas produksi maksimal keramik yang spesifikasinya mirip dengan yang diimpor dari China. Adapun rata-rata impor produk tersebut berkisar 70 juta-80 juta meter persegi. Imbasnya, utilitas kapasitas produksi keramik di dalam negeri tak optimal.
Data Asaki menunjukkan, nilai impor produk keramik sepanjang 2017-2022 lebih dari tiga kali lipat nilai ekspornya. Sepanjang 2022, nilai impor produk keramik mencapai 332 juta dollar AS, sedangkan ekspornya 53,4 juta dollar AS. Sepanjang Januari-Mei 2023, nilai impor tercatat 104,4 juta dollar AS, sedangkan ekspor 17,3 juta dollar AS. Imbasnya, selama Januari 2017 hingga Mei 2023, defisit neraca perdagangan produk keramik sebesar 1,51 miliar dollar AS.
Edy menilai, upaya untuk menahan laju impor mendesak direalisasikan demi menciptakan ekosistem yang mendukung ekspansi industri keramik. Saat ini, terdapat pelaku industri yang tengah berekspansi dengan tambahan kapasitas 75 juta meter persegi dan akan direalisasikan pada 2024. Tambahan ini akan membuat Indonesia duduk dalam lima besar produsen keramik dunia setelah China, India, dan Iran. Ekspansi industri keramik juga berdampak ganda lantaran tingkat komponen dalam negeri pada produknya mencapai 75 persen ke atas.
Selain itu, lanjutnya, besaran bea masuk tindak pengamanan (BMTP) atau safeguard untuk produk keramik impor yang akan berlaku pada November 2023 sebesar 13 persen. Di sisi lain, pemerintah China memberikan fasilitas tax rebate dengan besaran yang hampir sama. Oleh sebab itu, dia berharap pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan tarif antidumping untuk keramik China sebesar 70-100 persen dari nilai produk mulai akhir 2023. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan tarif antidumping yang diterapkan AS terhadap China yang berkisar 220-360 persen.
Pada pertengahan Maret 2023, Komite Anti-Dumping Indonesia menyatakan telah memulai penyelidikan antidumping terhadap impor produk ubin keramik dari China. Setidaknya ada 10 pos tarif yang masuk dalam penyelidikan. Penyelidikan tersebut merupakan tindak lanjut permohonan Asaki yang mewakili PT Jui Shin Indonesia, PT Satyaraya Keramindoindah, dan PT Angsa Daya.
Edy berharap, setelah penerapan tarif antidumping, pemain keramik China memilih berinvestasi langsung dan membangun pabrik di Indonesia sehingga dapat menghasilkan produk yang harganya bersaing dengan pelaku industri Tanah Air. ”Saat ini, Indonesia perlu menjaga iklim investasi karena industri keramik sedang berekspansi. Kalau impor tidak dibendung, pabrik baru yang akan berproduksi sulit bersaing dengan produk (impor) yang harganya tidak masuk akal,” katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian Ignatius Warsito menilai, lonjakan kenaikan impor ubin keramik sepanjang 2017-2022 berdampak serius dan mengancam eksistensi industri keramik nasional. Pada triwulan I-2023, volume impor keramik sebanyak 268.000 ton atau sekitar 13 persen dari total kebutuhan keramik domestik. Kebijakan safeguard sudah diterapkan sejak November 2021 selama tiga tahun dengan angka BMTP 17 persen (tahun pertama), 15 persen (tahun kedua), dan 13 persen (tahun ketiga).
Saat ini, dia mengatakan, industri keramik nasional berada di peringkat ke-8 di dunia sebagai produsen di tingkat dunia. ”Dalam industri keramik, terdapat 70 perusahaan yang mampu menyerap 150.000 tenaga kerja,” ujarnya saat dihubungi.
Praktisi industri keramik, Achmad Widjaja, berpendapat, kebijakan safeguard dan harga gas industri yang diberikan pemerintah sebaiknya diiringi dengan inovasi teknologi manufaktur. ”Kebijakan yang berorientasi perlindungan diberikan agar industri keramik bertumbuh dan berinovasi sesuai dengan perkembangan pasar,” katanya.
Dia melanjutkan, ruang inovasi bagi industri keramik memang pernah terhambat karena kebijakan gas yang tidak mengakomodasi. Namun, sekarang kebijakan itu berubah. Sudah saatnya industri keramik bangkit dan mengejar penerapan teknologi beserta terobosannya. Lompatan inovasi yang memperhatikan perkembangan kebutuhan pasar, baik global maupun dalam negeri, dibutuhkan untuk mengimbangi neraca perdagangan industri keramik nasional.