Kementerian ESDM: Izin Tambang Pasir Laut Kewenangan Daerah
Selain IUP, pendelegasian pemberian izin ke daerah juga meliputi surat izin penambangan batuan dan izin pertambangan rakyat. Juga izin pengangkutan dan penjualan dan IUP untuk penjualan komoditas mineral bukan logam.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian izin usaha pertambangan komoditas pasir laut sejak tahun lalu tak lagi menjadi kewenangan pemerintah pusat, melainkan pemerintah daerah. Sementara terkait pengelolaan sedimentasi laut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral masih menunggu koordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yose Rizal, saat dikonfirmasi mengenai data terbaru izin usaha pertambangan pasir laut, mengatakan bahwa saat ini kewenangan pemberian izin komoditas tersebut ada di daerah.
”Pasir laut sudah (menjadi) kewenangan daerah. (Itu) sesuai Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara,” kata Rizal melalui pesan singkat, Rabu (26/7/2023).
Dalam Perpres No 55/2022 disebutkan pendelegasian meliputi pemberian sertifikat standar dan izin. Pemberian izin di antaranya izin usaha pertambangan (IUP) dalam rangka penanaman modal dalam negeri untuk komoditas mineral bukan logam, komoditas mineral logam jenis tertentu, dan komoditas batuan. Itu dengan ketentuan berada dalam satu daerah provinsi; atau wilayah laut sampai dengan 12 mil laut.
Selain IUP, pendelegasian pemberian izin juga meliputi surat izin penambangan batuan (SIPB) dan izin pertambangan rakyat (IPR). Juga izin pengangkutan dan penjualan dan IUP untuk penjualan komoditas mineral bukan logam, komoditas mineral bukan logam jenis tertentu, dan komoditas batuan.
Di sisi lain, saat ini Kementerian ESDM menjadi salah satu unsur kementerian/lembaga dalam tim kajian penyusunan dokumen percencanaan pengelolaan sedimentasi laut. Itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut.
Saat dikonfirmasi mengenai hal tersebut, Rizal menyatakan pelaksanaan PP No 26/2023 berada pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). ”Saat ini Kementerian ESDM masih menunggu koordinasi atas proses penyusunan peraturan turunan dari PP dimaksud,” ujarnya.
Sebelumnya, terbitnya PP No 26/2023 menjadi sorotan karena membuka peluang diekspornya kembali pasir laut, setelah dilarang sejak 2002. Saat itu, larangan diberlakukan setelah dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Dalam Pasal 9 PP itu disebutkan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut digunakan untuk: reklamasi di dalam negeri; pembangunan infrastruktur pemerintah; pembangunan prasarana oleh pelaku usaha; dan/atau ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Warga Suku Laut mendayung sampan di kawasan pesisir yang menjadi lokasi tambang pasir kuarsa di Desa Penaah, Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, Kamis (21/7/2022).
Abai
Sebelumnya, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin mengatakan, nilai ekonomi yang dihasilkan dari ekspor pasir laut lebih rendah dibandingkan dengan nilai pelestarian ekosistem laut, termasuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Walhi berencana mengajukan uji materi atas PP No 26/2023 beserta peraturan-peraturan turunannya (Kompas, 26/7/2023).
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Akmaluddin Rachim, Rabu (26/7) menuturkan, diterbitkannya PP itu mengabaikan konsep dan visi yang dicetuskan Presiden Joko Widodo, yakni memperkuat negara maritim. Juga abai terhadap ekologi laut serta menegasikan dampak kerusakan lingkungan yang akan timbul.
Kehadiran Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang Diekspor, di mana pasir alam lainnya sudah tak tertera lagi, dapat memperkeruh suasana dan tata kelola pasir laut. ”Permendag tersebut wujud dari kompaknya pemerintah untuk mendorong dan membuka keran ekspor pasir laut seluas-luasnya,” ucapnya.
Akmaluddin menekankan, catatan penting yang perlu diperhatikan ialah bahwa kebijakan ekspor pasir laut sama dengan menjual pulau-pulau kecil secara perlahan. ”Luas wilayah NKRI akan semakin berkurang. Kedaulatan sebagai sebuah bangsa maritim tereduksi secara tidak langsung dari adanya PP No 26/2023 juncto Permendag No 22/2023,” lanjutnya.