Kontribusi Setoran Pajak dari Sektor Manufaktur Menurun
Tren melemahnya pendapatan pajak dari sisi manufaktur patut diwaspadai mengingat sektor itu diandalkan untuk menyumbang penerimaan negara dan menopang laju pertumbuhan ekonomi.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sumbangan penerimaan pajak dari industri pengolahan mengalami tren yang semakin menurun. Di luar efek basis penerimaan yang tinggi tahun lalu, melambatnya setoran pajak dari manufaktur diduga akibat gejala deindustrialisasi dini serta pemberian fasilitas perpajakan yang belum setimpal dengan hasil yang diinginkan.
Berdasarkan Laporan Realisasi APBN Semester I Tahun 2023 oleh Kementerian Keuangan, industri pengolahan masih menyumbang penerimaan pajak tertinggi dibandingkan sektor lain. Sepanjang Januari-Juni, industri pengolahan memberi kontribusi 27,4 persen terhadap total penerimaan pajak, disusul perdagangan (23,1 persen) dan pertambangan (12,7 persen).
Meski demikian, dibandingkan kondisi sebelum pandemi, sumbangsih sektor manufaktur terhadap penerimaan pajak melemah. Sebagai perbandingan, pada semester I tahun 2019, industri pengolahan masih memberi kontribusi 28,7 persen. Sebelumnya, pada semester I-2018, kontribusi dari industri pengolahan juga masih bisa menyentuh 30,3 persen.
Pertumbuhan penerimaan pajak dari industri pengolahan juga menurun. Pada semester I-2023, penerimaan pajak dari manufaktur tumbuh 8 persen, anjlok dari pertumbuhan penerimaan pajak pada semester I-2022 sebesar 51,6 persen, yang terkerek akibat lonjakan harga komoditas dunia.
Dibandingkan kondisi prapandemi, tren penerimaan pajak dari manufaktur juga menurun. Pada semester I-2019, pertumbuhan penerimaan pajak dari industri pengolahan adalah 12,4 persen, menurun dari pertumbuhan 12,64 persen pada semester I-2018 dan 17,57 persen pada semester I-2017.
Menurut Kepala Center of Trade Investment and Industry Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho, turunnya penerimaan pajak dari sektor manufaktur tidak lepas dari gejala deindustrialisasi dini yang terjadi akibat pelemahan pertumbuhan industri pengolahan dan sumbangsihnya bagi produk domestik bruto (PDB).
Industrialisasi berbasis hilirisasi sumber daya alam yang digencarkan pemerintah dinilai belum signifikan berkontribusi pada penerimaan pajak.
”Ini patut diwaspadai karena sektor manufaktur ini andalan untuk menyumbang penerimaan perpajakan. Setiap tahapan pengolahan ada pungutan pajak, dari impor bahan baku sampai ekspor produk jadi, belum lagi sumbangan dari Pajak Penghasilan karena sektor ini banyak menyerap tenaga kerja,” ujarnya, Minggu (23/7/2023).
Efek hilirisasi
Industrialisasi berbasis hilirisasi sumber daya alam yang digencarkan pemerintah beberapa tahun terakhir ini dinilai belum signifikan berkontribusi pada penerimaan pajak. Pertumbuhan penerimaan pajak dari industri pengolahan memang sempat melonjak tinggi hingga 51,6 persen pada semester I-2022, tetapi itu lebih banyak dikerek oleh kenaikan harga komoditas dunia.
Sementara itu, pemberian diskon dan insentif perpajakan pada pelaku industri untuk menggerakkan hilirisasi belum membawa hasil yang setimpal dalam bentuk penerimaan negara.
”Diskon pajak dan insentif fiskal yang diberikan pemerintah itu seharusnya bisa ditukar dengan penerimaan yang lebih tinggi, tetapi ini belum terlihat. Kalau misalnya butuh waktu, berapa lama? Perlu ada dorongan lebih agar hilirisasi bisa menarik penerimaan lebih tinggi,” katanya.
Menurut dia, ketimbang memberikan insentif perpajakan untuk menggerakkan hilirisasi, pemerintah bisa memaksimalkan insentif atau disinsentif nonpajak berupa biaya tambahan. Misalnya, bea keluar atau pungutan ekspor lebih tinggi bagi industri yang mengekspor produk mentah. ”Supaya dari segi penerimaan kita dapat, dari segi hilirisasi juga berjalan,” ucapnya.
Sementara itu, peneliti pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis Fajry Akbar menilai, pelemahan pendapatan dari sektor manufaktur ini juga tidak lepas dari basis penerimaan tahun lalu yang terlalu tinggi serta tren pelemahan harga komoditas tahun ini. Di sisi lain, apresiasi nilai tukar juga berpengaruh terhadap penerimaan pajak dalam rangka impor.
Ia menilai, prospek penerimaan pajak dari industri pengolahan ke depan masih akan berat, terutama melihat tren penurunan sepanjang Januari-Juni. Sampai akhir tahun, sektor manufaktur akan tetap tumbuh satu digit, begitu pula dengan penerimaan pajak secara umum.
”Sulit untuk rebound, kecuali ada tail event (kejadian di luar normal) lagi yang bisa membuat harga komoditas naik,” kata Fajry.
Sampai akhir tahun, sektor manufaktur akan tetap tumbuh satu digit, begitu pula dengan penerimaan pajak secara umum.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti menurunnya pertumbuhan pajak dari industri pengolahan. Menurut dia, hal itu terjadi karena tingginya basis penerimaan pajak pada tahun 2022 yang menyentuh dua digit di tengah tren kenaikan harga komoditas dunia.
Faktor lain adalah perlambatan impor dan kinerja perdagangan internasional yang membuat setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor menurun. ”Ini perlu kita waspadai karena PPN impor sudah terkontraksi 0,4 persen,” katanya saat memaparkan laporan realisasi APBN semester I-2023 di Badan Anggaran DPR, pertengahan bulan ini.
Investasi manufaktur
Untuk mengatasi gejala deindustrialisasi dini, pemerintah berusaha menggenjot investasi dari sektor manufaktur. Sampai triwulan II-2023, industri pengolahan mencatat investasi Rp 270,3 triliun dan menyumbang 39,8 persen dari total realisasi investasi senilai Rp 678,7 triliun.
Total investasi sektor manufaktur meningkat 17 persen dibandingkan tahun lalu. ”Ini menunjukkan peningkatan yang signifikan. Pemerintah selalu membuka diri bagi pelaku industri yang butuh dukungan untuk memperluas bisnisnya,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangan pers di Jakarta.
Pemerintah, ujarnya, akan terus proaktif menarik minat investor nasional ataupun global dengan menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif. Peluang investasi terus dikejar dengan prioritas pada industrialisasi berbasis hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah.