Pelaku usaha mikro dan kecil keberatan dengan pengenaan tarif QRIS sebesar 0,3 persen yang diberlakukan per 1 Juli 2023. Mereka mendambakan QRIS bisa bebas biaya.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
Rabu (12/7/2023) sore, Rahmat (45), pedagang gorengan yang mangkal di pinggir Jalan Margasatwa, Cilandak, Jakarta Selatan, sedang melayani pembeli. Si pembeli memesan lima gorengan dengan total harga Rp 10.000.
Karena tidak membawa uang pas atau uang pecahan kecil, si pembeli menanyakan Rahmat, apakah bisa membayar menggunakan QRIS? Rahmat menjawab tidak bisa. Akhirnya, si pembeli memilih pergi ke toko ritel modern yang ada di dekat gerobak Rahmat untuk membeli sebotol air mineral dan memperoleh kembalian berupa pecahan uang kecil yang kemudian digunakannya untuk membayar gorengan. Transaksi rampung, sang pelanggan kembali melaju dengan mobilnya.
Saat ditanya Kompas mengapa ia tidak menggunakan QRIS, Rahmat mengatakan, sebelumnya, ia selalu memasang kode unik untuk pembayaran QRIS yang ditempel di kaca gerobaknya. Namun, sekitar sepekan terakhir dia mencabutnya. Penyebabnya, mulai 1 Juli 2023, pembayaran menggunakan QRIS dikenai tarif 0,3 persen dari nilai transaksi yang dibebankan kepada pedagang.
”Ya, mending suruh pembeli bayar pakai uang tunai. Enggak ada potongannya,” ujarnya terkekeh.
Rahmat menuturkan, dirinya bisa berjualan 200-300 potong gorengan dengan omzet berkisar Rp 400.000-Rp 600.000 dalam sehari. Andaikan semua transaksi menggunakan transaksi QRIS, maka dia akan kehilangan Rp 1.200-Rp 1.800 per hari. Dengan asumsi serupa, dalam sebulan dia kehilangan pendapatan Rp 36.000-Rp 54.000.
”Bagi kami, uang segitu besar loh, setara bisa buat beli minyak goreng 1 liter,” ujarnya.
Rahmat berharap pembayaran QRIS kembali dibebaskan dari biaya. Apalagi, omzet penjualannya belum sebaik seperti sebelum pandemi. Penjualannya masih berkisar 80-90 persen dari masa sebelum Covid-19.
Padahal, menurut dia, layanan QRIS memudahkan penjual gorengan seperti dirinya. Sebab, mereka tidak perlu menyiapkan banyak uang tunai untuk kembalian. Pencatatan pun lebih rapi karena langsung terekam secara digital.
”Penginnya, ya, QRIS tetap bebas biaya seperti kemarin itu,” ujar Rahmat.
Waktu tidak tepat
Dihubungi terpisah, Kamis (13/7/2023), Ketua Umum Asosiasi Industri UMKM Indonesia (Akumandiri) Hermawati Setyorinny mengatakan, keputusan memberikan tarif QRIS sebesar 0,3 persen dari nilai transaksi jelas memberatkan pelaku usaha mikro dan ultramikro seperti Rahmat. Menurut dia, pemberlakuan tarif QRIS saat ini tidak tepat sebab masih banyak pelaku UMKM yang belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi. Selain itu, dia juga menyesalkan tidak ada sosialisasi terlebih dahulu kepada para pelaku usaha.
Sebagai pengusaha, lanjut Rahmawati, dia memahami penyelenggara jasa pembayaran (PJP) mungkin memerlukan biaya pemeliharaan jaringan atau infrastruktur agar layanan QRIS tetap berjalan. Namun, menurut dia, 0,3 persen itu terlalu besar bagi pelaku UMKM.
”Tolong agar tarif ini dikaji ulang karena ini memberatkan UMKM,” ujar Hermawati.
Menurut dia, tarif 0,1 persen bisa jadi jalan tengah yang cukup adil bagi semua pihak. Selain itu, dia juga meminta ada jeda waktu dan sosialisasi agar pelaku UMKM bisa bersiap dengan ketentuan tersebut.
Rahmawati menambahkan, bisa juga biaya tarif itu dibayar dari biaya program pengembangan UMKM yang dijalankan bank-bank besar yang juga merupakan bagian dari PJP. Alternatif lain, pemerintah bisa memberikan subsidi agar tarif itu tidak membebani UMKM.
Ketua Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) Santoso mengatakan, untuk menciptakan layanan sistem pembayaran yang instan dan bisa diandalkan, ada proses panjang mulai dari membangun infrastruktur hingga menyatukan standar bahasa pemrograman dan berbagai proses teknis lain yang melibatkan banyak pihak. Tarif itu salah satunya bertujuan mengganti berbagai investasi dan biaya operasional dalam pengembangan QRIS.
Setelah sejak 2020 dibebaskan dari biaya, PJP membutuhkan pemasukan untuk bisa mengembangkan fitur QRIS lebih jauh. Salah satu manfaat yang ditawarkan dari pengenaan tarif MDR 0,3 persen ini adalah UMKM bisa langsung menikmati uang yang masuk pada hari yang sama, sedangkan sebelumnya membutuhkan waktu H+1 atau keesokan harinya.
”Jadi, tidak benar juga kami tidak mendukung UMKM. Dengan same day settlement atau uang masuk di hari yang sama, UMKM jadi punya tambahan arus kas yang diperlukan untuk usahanya,” ujar Santoso.
Ekonom yang juga Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan, pemberian MDR sebesar 0,3 persen diberlakukan pada waktu yang tidak tepat.
”Waktu pelaksanaannya tidak tepat karena tekanan ekonomi bagi pelaku usaha kecil masih berlanjut meski pandemi reda,” ujar Bhima.
Ia menambahkan, ada potensi pelaku usaha menaikkan harga jual untuk kompensasi tarif baru. Selain itu, pelaku usaha pun akan meminta konsumen membayar menggunakan metode lain, seperti tunai. Ini membuat upaya Bank Indonesia (BI) mendorong masyarakat tanpa uang tunai (cashless society) malah jadi mundur.
Ia menyebut sejatinya tarif MDR 0 persen tetap menguntungkan PJP dan perbankan. Sebab, mereka juga menikmati banyak keuntungan, seperti memperoleh dana murah dan data melimpah mengenai pencatatan transaksi nasabah.
Semurah mungkin
Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Dicky Kartikoyono menjelaskan, dalam merumuskan kebijakan sistem pembayaran, pihaknya ingin memperluas inklusi keuangan yang bisa dimanfaatkan dengan biaya yang paling murah. Tarif MDR untuk QRIS sebesar 0,3 persen itu, lanjut Dicky, masih lebih murah dibandingkan metode transaksi serupa di negara lain. Selain itu, tarif MDR QRIS itu masih lebih rendah dibandingkan MDR untuk transaksi menggunakan kartu yang berkisar 1-3 persen per transaksi.
”Jadi, tidak benar anggapan bahwa BI ingin menghambat digitalisasi sistem pembayaran dengan memberikan tarif,” ujar Dicky.
Ia mengatakan, saat QRIS dirilis pada 2019, sebenarnya sudah diberlakukan tarif 0,7 persen per transaksi. Karena pada 2020 terjadi pandemi, MDR QRIS menjadi nol persen. Setelah lebih dari tiga tahun, mulai 1 Juli 2023, diberlakukan kembali tarif MDR QRIS menjadi 0,3 persen per transaksi.
Pihaknya juga dengan tegas membantah bahwa tarif itu dinikmati BI. ”Kami tidak menerima apa pun dari tarif itu,” katanya.
Mengutip data BI, sampai dengan Mei 2023, total pengguna QRIS mencapai 35,80 juta pengguna, dengan komposisi 91,26 persen UMKM. Nilai transaksi QRIS pada Mei 2023 mencapai Rp 18,08 triliun, dengan volume transaksi sebanyak 184,29 juta transaksi.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan belum bisa menilai dampak pengenaan tarif QRIS pada UMKM. Sebab, ini baru mulai berlaku awal bulan ini.
Teten menyampaikan, pihaknya selalu mendorong UMKM masuk ke ekosistem digital, termasuk memanfaatkan sistem pembayaran digital seperti QRIS. Pembayaran menggunakan QRIS, lanjutnya, memberikan kemudahan bertransaksi.