Transisi energi terus digenjot agar Indonesia dapat merealisasikan komitmennya pada tahun 2060. Bukan sekadar komitmen, aksi nyata antarpemangku kepentingan diperlukan untuk merealisasikan agenda transisi energi.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Ilmu pengetahuan dan teknologi berperan penting dalam upaya percepatan transisi energi. Apalagi, Indonesia memiliki potensi sumber daya energi baru dan terbarukan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh sebab itu, aksi nyata dari para pemangku kepentingan diperlukan agar komitmen Indonesia mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 bisa terwujud.
Hal ini mengemuka dalam acara pembukaan pameran ke-11 Indonesia Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) ConEx 2023 yang digelar di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (12/7/2023). Agenda ini mengusung tema ”From Commitment to Action: Safeguarding Energy Transition Towards Indonesia Net Zero Emissions 2060”.
Langkah mengganti sumber energi ke energi yang lebih bersih merupakan salah satu upaya Indonesia mencapai nol emisi karbon (net zero emission/NZE) pada tahun 2060. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, bauran energi baru dan energi terbarukan (EBT) ditargetkan mencapai 23 persen pada tahun 2025 dan 51,6 persen tahun 2030.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam sambutannya menyampaikan, transisi energi mencakup aspek ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial, ekonomi, serta lingkungan. Saat ini, dunia tengah berlomba-lomba menciptakan teknologi yang dapat memanfaatkan seluruh potensi sumber daya.
”Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang besar. Jika dimanfaatkan dengan dukungan teknologi yang tepat, (potensi itu) akan memberikan nilai tambah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga target PDB (produk domestik bruto) kita dapat tercapai,” kata Arifin.
Total potensi EBT di Indonesia yang terdiri dari surya, hidro, bioenergi, bayu, panas bumi, dan laut tercatat sebesar 3.689 gigawatt. Namun, pemanfaatannya baru mencapai 12 gigawatt atau setara 0,3 persen sehingga peluang untuk mengembangkan EBT masih terbuka lebar. Selain itu, isu lingkungan, perubahan iklim, serta peningkatan konsumsi listrik tengah menjadi sorotan global.
Arifin menambahkan, berbagai negara di dunia kini tengah berlomba-lomba untuk mencapai target NZE. Mereka juga tengah mempersiapkan berbagai regulasi yang mendorong dan memaksa semua negara mencapai NZE, bahkan mendenda negara yang tidak mencapai target NZE.
Kita perlu melakukan transisi energi dengan memanfaatkan potensi EBT yang tersedia cukup besar. Ada banyak jalan dan potensi yang bisa dimanfaatkan. Kalau tidak diupayakan, kita akan ketinggalan.
”Kalau mekanisme perdagangan karbon atau pajak karbon sudah diterapkan, negara yang tertinggal dalam mencapai target akan terbebani ongkos produksi, terutama sektor industri kita. Oleh sebab itu, kita perlu melakukan transisi energi dengan memanfaatkan potensi EBT yang tersedia cukup besar. Ada banyak jalan dan potensi yang bisa dimanfaatkan. Kalau tidak diupayakan, kita akan ketinggalan,” lanjutnya.
Untuk mencapai target transisi energi sebagaimana tercantum dalam RUPTL dibutuhkan infrastruktur yang memadai agar potensi EBT dapat tersalurkan secara merata. Pada tahun 2060, lanjut Arifin, semua potensi EBT di seluruh pelosok dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan industri-industri melalui jaringan interkoneksi antarpulau (super grid).
Selain itu, pemerintah melalui Kementerian ESDM juga tengah merancang undang-undang mengenai energi baru dan terbarukan (RUU EBT). Progres RUU EBT hingga saat ini, pemerintah bersama DPR telah membahas 259 daftar inventarisasi masalah (DIM) dari total 573 DIM.
RUU EBT tersebut, lanjut Arifin, diharapkan dapat mempermudah usaha-usaha di bidang energi terbarukan, menjamin bisnis yang sehat (fair business), dan mendorong pemanfaatan sumber daya yang tersedia, termasuk nuklir. Maka, diperlukan perencanaan, evaluasi, dan kerja sama dari seluruh pemangku kepentingan agar proses transisi dapat berjalan dengan tetap meminimalkan dampak-dampak yang mungkin membebani.
”Momentum ke-11 EBTKE ConEx ini menjadi pemantik bagi semua pemangku kepentingan untuk menerapkan hasil pembahasan dalam pertemuan ini. Selain itu, masyarakat juga diharapkan dapat tersosialisasi dan mendapatkan penjelasan sehingga akan turut mendukung transisi energi. Apalagi, mereka yang ada di lokasi yang nantinya akan langsung terdampak dengan program transisi energi ini,” kata Arifin.
Acaraitu dihadiri oleh para pemangku kepentingan, baik dari pemerintah, swasta, badan usaha milik negara (BUMN), organisasi masyarakat sipil, maupun masyarakat luas. Terdapat lebih dari 50 perusahaan, termasuk BUMN, perusahaan energi, pengembang, serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang ikut berpartisipasi.
Ketua Steering Committee Indonesia EBTKE ConEx 2023 Eka Satria menjelaskan, acara ini menjadi momentum kolaborasi antarpemangku kepentingan dalam menghadapi tantangan transisi energi. Koordinasi itu diharapkan dapat mempercepat transisi energi.
”Sebagai bentuk aksi nyata, akan ada lebih dari 50 kesepakatan (memorandum of understanding/MoU) dan komitmen untuk proyek-proyek EBT, dekarbonisasi, ekosistem kendaraan listrik, serta proyek transisi energi. Nantinya, (total kapasitas dari MoU) bisa mencapai 1,6 gigawatt, baik program yang sedang maupun akan dilakukan,” kata Eka dalam sambutannya.
Proyek-proyek kerja sama antarpemangku kepentingan itu, antara lain, berupa pengembangan wilayah kerja penambangan panas bumi sebesar 2 x 55 megawatt (MW) antara PT Pertamina (Persero) dan PT Pembangunan Aceh (PEMA). Selain itu, ada juga kesepakatan antara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN dan PT Medco Energi Internasional Tbk mengenai studi bersama dalam implementasi panel surya di Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Eka menambahkan, terdapat 67 topik dan subtopik diskusi yang membahas mengenai transisi energi, pengembangan energi terbarukan, dekarbonisasi, serta ekosistem kendaraan listrik. Berbagai masukan dan gagasan sebagai hasil diskusi dari berbagai pemangku kepentingan akan dirangkum dalam bentuk laporan yang menjadi rekomendasi dalam rangka mempercepat transisi energi.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Wiluyo Kusdwiharto menambahkan, pertemuan antarpemangku kepentingan ini sangat relevan karena Indonesia tengah menjalin berbagai kerja sama, baik dengan pihak luar maupun dalam negeri. Selain itu, pertemuan tersebut juga dapat memberikan solusi untuk mengatasi masalah-masalah transisi energi, baik dari segi teknis, regulasi, maupun sosial ekonomi di lapangan.
”Tantangan infrastruktur bisa diatasi lewat investasi, pembangunan transmisi dan gardu induk, serta pengembangan interkoneksi antarpulau. Pemerintah punya peran penting untuk mendorong implementasi percepatan transisi energi. Pembiayaan publik dan swasta perlu segera dimobilisasi secara masif agar dapat mempercepat pengembangan energi terbarukan dan penghentian energi fosil,” ujarnya.
Tantangan terbesar dalam transisi energi adalah memanfaatkan potensi besar yang dimiliki Indonesia. Berdasarkan amanat RUPTL, pemerintah menargetkan pembangkit listrik berbasis EBT sebesar 20,9 gigawatt (GW) yang terdiri dari energi hidro sebesar 10,4 GW, panas bumi sebesar 3,4 GW, bioenergi sebesar 600 MW, surya dan bayu sebesar 5,0 GW, serta energi terbarukan lainnya sebesar 1,5 GW.
Wiluyo menambahkan, METI berkomitmen untuk menjadi garda terdepan dalam transformasi menuju EBT di Indonesia. Konferensi antarpemangku kepentingan ini menjadi salah satu platform yang dapat memberikan kontribusi terkait solusi, edukasi, dan advokasi dalam rangka percepatan transisi energi.