Dalam mencapai target program transisi energi, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Maka dari itu, pemerintah sebaiknya membuat kebijakan yang mampu menjaring investor untuk membiayai transisi energi.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga beli produk dan kepastian regulasi menjadi tantangan bagi pihak swasta yang memasok biomassa. Oleh sebab itu, perlu subsidi khusus terhadap sektor usaha transisi energi agar dapat menarik investor swasta asing dan domestik.
Berdasarkan peta jalan transisi energi, pada tahun 2025, pemerintah menargetkan 52 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) melakukan pencampuran biomassa dan batubara (co-firing) dengan kebutuhan biomassa mencapai 10,2 juta ton. Sementara, menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pasokan biomassa tercatat baru mencapai 1,7 ton per triwulan I-2023.
Bahan bakar biomassa (B3M) yang bisa digunakan untuk co-firing antara lain serbuk kayu, serpihan kayu, cangkang sawit, sekam padi, tempurung kelapa, dan limbah pertanian serta produk kehutanan lainnya. Di antara B3M tersebut, produk serpihan kayu (wood chip) dan pelet kayu (wood pellets) saat ini mulai dilirik oleh sejumlah perusahaan.
Anggota Dewan Pengawas Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Fauzi Imron, mengatakan, salah satu tantangan dalam memenuhi kebutuhan biomassa tersebut adalah harga yang kurang kompetitif. Harga beli pemerintah, dalam hal ini PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, masih rendah sehingga mengakibatkan harga di rantai pasok bawah tidak menarik, baik untuk pelaku usaha maupun masyarakat yang menyuplai bahan baku.
”Harga yang ditentukan masih terlalu rendah sehingga tidak memenuhi kaidah keekonomian. Maka, dibutuhkan peran pemerintah pusat dalam menentukan harga yang baik,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (11/7/2023).
Salah satu perusahaan yang memproduksi biomassa berupa serpihan kayuadalah PT Mentari Biru Energi. Pada Senin (10/7/2023), anak perusahaan PT Maharaksa Biru Energi Tbk itu telah meresmikan pembangunan pabrik berkapasitas 3.000-12.000 ton serpihan kayu per bulan untuk memasok PLTU Air Anyir, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Salah satu hambatan dalam pengembangan PLTBM (pembangkit listrik tenaga biomassa) adalah harga patokan yang ditetapkan oleh PLN. Dalam hal ini, PLN hanya sanggup membeli 8 sen per kilowatt-jam (kWh), sedangkan harga listrik biomassa yang ditawarkan pemasok di atas 11 sen per kWh. Dari selisih 3 sen ini, pemerintah dapat masuk untuk memberikan subsidi.
Di sisi lain, PLTU Air Anyir membutuhkan biomassa rata-rata 1.500 ton-1.800 ton per bulan dengan bauran co-firing mencapai 5 persen. Pada akhir tahun 2023, PLTU berkapasitas 2 X 30 megawatt itu menargetkan bauran biomassa mencapai 15 persen.
Menurut Fauzi, jumlah cadangan bahan baku biomassa amatlah besar sehingga dipastikan akan berlebih (oversupply) sekalipun kebutuhan PLN terhadap biomassa untuk co-firing akan terus meningkat. Maka dari itu, ekspor menjadi pilihan untuk menyerap kelebihan produksi sekaligus memberikan nilai keekonomian bagi masyarakat yang memasok bahan baku.
”Ini adalah win-win solution (jalan tengah) bagi perusahaan dan bagi masyarakat. Produk pelet kayu memiliki permintaan yang besar dan harganya lebih kompetitif. Namun, kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri juga harus jadi prioritas,” katanya.
Karena itu, menurut Fauzi, ekspor pelet kayu sebaiknya tidak dilarang. Sebab, itu akan mematahkan antusias perusahaan-perusahaan yang mendorong program transisi energi.
Seperti diketahui, target bauran energi baru dan energi terbarukan (EBT) pada tahun 2025 mencapai 23 persen. Namun, pada tahun 2022, capaian energi terbarukan dalam bauran energi primer nasional tercatat baru 12,3 persen atau di bawah target yang ditetapkan 15,7 persen.
Direktur Utama PT Maharaksa Biru Energi Tbk Bobby Gafur Umar menyampaikan, implementasi transisi menuju energi terbarukan cenderung lambat lantaran ekosistem di Indonesia belum memadai. Untuk mendorong hal itu, kuncinya adalah menawarkan nilai keekonomian yang menarik bagi investor.
”Salah satu hambatan dalam pengembangan PLTBM (pembangkit listrik tenaga biomassa) adalah harga patokan yang ditetapkan oleh PLN. Dalam hal ini, PLN hanya sanggup membeli 8 sen per kWh (kilowatt-jam), sedangkan harga listrik biomassa yang ditawarkan pemasok di atas 11 sen per kWh. Dari selisih 3 sen ini, pemerintah dapat masuk untuk memberikan subsidi,” ujarnya saat ditemui di Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Senin (10/7/2023).
Subsidi yang diberikan, kata Bobby, bisa ditentukan dalam jangka waktu tertentu. Dalam kontrak 30 tahun, misalnya, subsidi masuk pada sepuluhtahun pertama saat utang bank masih besar. Selanjutnya, pada satu dekade selanjutnya, subsidi tidak lagi diberikan. Pada dekade terakhir, harga listrik turun lantaran perkembangan teknologi.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan bunga kredit khusus yang rendah untuk transisi energi.
”Kondisi kekurangan pendanaan dan minim teknologi untuk program transisi energi memaksa harus ada investasi yang masuk. Tidak hanya bergantung kepada BUMN (Badan Usaha Milik Negara), tetapi juga melibatkan swasta asing dan lokal. Untuk menarik investor asing, kita perlu memiliki keunggulan komparatif,” katanya.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, investasi yang dibutuhkan untuk transisi energi hingga 2060 mencapai 1.108 miliar dollar AS atau rata-rata 28,5 miliar dollar AS per tahun. Namun, realisasi pada tahun 2022 baru mencapai 1,55 miliar dollar AS atau hanya 5,4 persen dari kebutuhan investasi per tahunnya.
Di sisi lain, untuk mencapai bauran co-firing sebesar 5 persen, dibutuhkan sedikitnya 5 juta ton serpihan kayu per tahun. Angka tersebut setara dengan 500.000 hektar hutan produksi. Namun, lahan yang siap untuk produksi tercatat kurang dari 50.000 hektar atau setara 10 persen dari lahan yang dibutuhkan.
Bobby menambahkan, harga beli terhadap serpihan kayu yang ditetapkan oleh PLN mengacu pada harga batubara. Hal ini membuat pelaku usaha kurang tertarik untuk memasok kebutuhan serpihan kayu PLN.
”Akhirnya banyak yang memilih untuk ekspor berupa pelet kayu karena harganya lebih kompetitif, yakni mencapai Rp 2 juta per ton dibandingkan harga beli PLN sebesar Rp 450.000-Rp 600.000 per ton. Tentu harga serpihan kayu tidak masuk dan lebih baik, kayunya dibuat untuk produk lain. Padahal, seharusnya PLN menghitung potensi terkena carbon tax dan mempertimbangkan adanya karbon kredit,” tutur Bobby.
Namun, pemerintah dalam waktu dekat akan meningkatkan daya beli terhadap produk serpihan kayu sebesar 20 persen. Hal ini, kata Bobby, tentu menjadi angin segar bagi para pelaku industri serpihan kayu.