Sapi merupakan aset, tabungan, maupun investasi bagi peternak. Kompensasi atas ternak yang terkena antraks perlu diberikan kepada peternak sesuai harga pasar. Tanpa kompensasi, peternak dikhawatirkan makin jatuh miskin.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Demi mencegah penularan, pemerintah meminta hewan ternak yang mati karena antraks tidak dipotong serta dagingnya tak dibagi-bagikan kepada masyarakat sekitar. Karena kehilangan nilai ekonomi, peternak yang hewan ternaknya mati akibat antraks perlu mendapatkan kompensasi dari pemerintah agar tidak terbebani kerugian yang ditanggung.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan HewanKementerian Pertanian (Ditjen PKH Kementan) sedang menangani penyakit antraks yang ditemukan di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia atau zoonosis tersebut pertama kali dilaporkan ke Ditjen PKH Kementan pada 15 Juni 2023.
Per 6 Juli 2023, Kementan mendata, jumlah kasus hewan ternak yang terkena antraks mencapai 12 kasus. Sepanjang Mei-Juni 2023, Kementerian Kesehatan mencatat, terdapat tiga orang meninggal karena diduga terkena penyakit antraks. Satu orang di antaranya didiagnosis suspek antraks.
Terkait kasus yang terjadi tersebut, Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia Robi Agustiar menyoroti soal kompensasi pada peternak yang hewan ternaknya terkena antraks. ”Perencanaan (mengenai kompensasi bagi peternak yang terdampak antraks) pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten perlu selaras. Proses administrasi bagi peternak pun perlu dipermudah,” katanya saat dihubungi, Minggu (9/7/2023).
Secara spesifik, dia menilai, akar kasus antraks di Gunungkidul bersifat sosial. Daging ternak, khususnya sapi, yang mati dibagi-bagikan kepada warga sekitar. Oleh sebab itu, upaya untuk mengendalikan antraks di daerah itu perlu pendekatan lintas pemangku kepentingan agar tak ada lagi kebiasaan membagikan daging ternak yang mati kepada masyarakat. Pemusnahan dan penguburan hewan ternak yang mati karena antraks patut diawasi sehingga warga tak lagi membongkar kuburan tersebut dan memotongnya.
Aktivitas memotong sapi yang mati dan membagikannya kepada warga sekitar merupakan bagian dari brandu atau purak di Gunungkidul. Menurut Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia Agus Warsito, aktivitas tersebut berbahaya karena berisiko menularkan antraks.
Pemusnahan dan penguburan hewan ternak yang mati karena antraks patut diawasi sehingga warga tak lagi membongkar kuburan tersebut dan memotongnya.
”Bagi peternak, sapi adalah aset, tabungan, hingga investasi. Oleh sebab itu, kompensasi (atas ternak yang terkena antraks) wajib diberikan kepada peternak sesuai harga pasar. Kalau tidak ada kompensasi, peternak makin jatuh miskin. Jika pemerintah tidak turun tangan mengganti rugi, aktivitas seperti brandu akan tetap ada,” tuturnya saat dihubungi, Minggu (9/7/2023).
Meskipun belum ada yang terdampak kasus antraks, lanjutnya, peternak sapi perah tetap khawatir dengan kejadian di Gunungkidul. Dia berharap, pemerintah berupaya ekstra keras untuk mengisolasi daerah dengan kasus antraks beserta lalu lintas ternak agar tidak menular ke wilayah lain.
Antraks juga dapat menurunkan produksi susu pada sapi perah. Salah satu langkah pengendalian antraks pada peternakan sapi perah ialah menerapkan desinfektan dan membersihkan tempat pemerahan. Hal itu tertuang dalam artikel berjudul ”Anthrax in Animals” yang ditulis oleh Domenico Galante dan Antonio Fasanella yang terafiliasi dengan Anthrax Reference Institute of Italy.
Agus menambahkan, vaksinasi antraks perlu diperkuat sebagai upaya pencegahan. Berkaca dari penyakit menular hewan pada ternak lainnya, dia berharap, pemerintah dapat menyediakan dosis vaksin untuk mencegah antraks sesuai dengan kebutuhan.
”Di Jawa Tengah, peternak sapi juga masih kesulitan mendapatkan vaksin untuk lumpy skin disease (LSD). Dua pekan lalu, permintaan terhadap vaksin LSD sudah kami terima. Setelah dicek, ternyata vaksin untuk penyakit mulut dan kuku,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sekaligus penggagas Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) dan akademisi IPB University, Muladno, menilai, besaran kompensasi bagi peternak sapi yang terdampak antraks sebesar harga di pasar saat ini, yakni sekitar Rp 50.000 per kilogram hidup. Apabila dibutuhkan, pemerintah dapat mengambil langkah pemusnahan sapi di wilayah yang terjangkit demi mengendalikan penyakit antraks.
Depopulasi hewan menjadi salah satu langkah memberantas penyakit hewan. Hal itu tertuang dalam Pasal 44 Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang sebagian pasalnya diubah oleh UU No 41/2014 dan UU No 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Dia juga menggarisbawahi pentingnya pengawasan lalu lintas ternak oleh pemerintah. Lalu lintas pedagang hewan ternak yang berpotensi terkena antraks juga tidak boleh luput. Pembinaan dan sosialisasi terhadap peternak juga perlu diperkuat agar mereka memiliki kesadaran untuk tidak melalulintaskan hewan ternak yang tengah sakit maupun mati akibat penyakit.
Sebelumnya, Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjen PKH Kementan Syamsul Ma’rif menyatakan, warga dilarang memotong hewan ternak yang mati akibat antraks. Tubuh ternak yang terbuka itu dapat membuat bakteri penyebab antraks berkontak dengan udara dan menjadi spora yang mampu bertahan selama bertahun-tahun. Oleh sebab itu, Direktur Kesehatan Hewan Ditjen PKH Kementan Nuryani Zaenuddin menyatakan, kasus antraks hanya bisa dikendalikan serta tidak dapat dibebaskan.