Pengendalian Antraks Bergantung Kontrol Lalu Lintas Ternak dan Vaksinasi
Penyakit antraks hanya bisa dikendalikan dan tidak dapat dibebaskan. Pencegahan dan pengendalian dilakukan pada sumbernya, yakni dengan vaksinasi area endemi, mengontrol lalu lintas ternak
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengendalikan kasus antraks dengan menghentikan lalu lintas ternak dari dan ke daerah penularan serta menggalakkan vaksinasi. Harapannya, spora bakteri penyebab antraks tidak menyebar ke wilayah lainnya.
Meninggalnya tiga warga di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, menjadi alarm bagi peternakan dan kesehatan hewan. Satu dari tiga warga yang meninggal diidentifikasi positif antraks, dua lainnya meninggal dengan gejala antraks. Penyakit yang bisa ditularkan dari hewan ke manusia (zoonosis) ini disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis. Bakteri itu dapat membentuk spora ketika berinteraksi dengan udara dan dapat bertahan di tanah selama puluhan tahun.
Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Ditjen PKH Kementan) Nuryani Zaenudin menyebutkan, penyakit antraks hanya bisa dikendalikan dan tidak dapat dibebaskan. “Pencegahan dan pengendalian dilakukan pada sumbernya, yakni dengan vaksinasi area endemi, mengontrol lalu lintas ternak, serta tindakan disposal pada hewan terinfeksi,” tuturnya saat konferensi pers yang diadakan Kementerian Kesehatan secara dalam jaringan, Kamis (6/7/2023).
Nuryani memaparkan, jumlah kasus antraks pada hewan ternak yang dilaporkan sepanjang 2023 mencapai 12 ekor. Angka yang dilaporkan tersebut merupakan kasus pertama dan seluruhnya berasal dari Gunung Kidul. Adapun jumlah kasus antraks yang dilaporkan pada tahun-tahun sebelumnya sebanyak 10 kasus (2022), 8 kasus (2021), dan 11 kasus (2020). Artinya, jumlah kasus yang dilaporkan pada 2023 menjadi yang tertinggi dalam empat tahun terakhir.
Hingga saat ini, kasus antraks pada hewan dan manusia terlokalisasi di satu pedukuhan, yakni Dukuh Jati, Desa Candirejo, Kecamatan Semanu, Gunung Kidul. Lalu lintas keluar dan masuk ternak pada wilayah tersebut sudah dihentikan.
Dari sisi vaksinasi, data Kementan menunjukkan, total vaksin antraks yang tersedia mencapai 96.000 dosis, sedangkan stok penyangganya 110.000 dosis. Adapun alokasi untuk Yogyakarta sebanyak 2.500 dosis. Di sisi lain, jumlah potensi populasi ternak yang rentan antraks di Gunung Kidul sebanyak 143.796 ekor sapi, 202.555 ekor kambing, dan 11.000 ekor domba.
Nuryani memaparkan, penyediaan vaksin bukan semuanya dipegang oleh pemerintah pusat. “Pemerintah pusat lebih ke arah dukungan penambahan vaksin yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Vaksin untuk Yogyakarta lebih sedikit dibandingkan populasi ternaknya, karena pemerintah daerah setempat sudah menyediakan anggaran vaksinnya. Jadi, pemerintah pusat hanya melengkapi,” katanya.
Dia memerinci, kasus antraks tidak terjadi di seluruh desa. Oleh sebab itu, intervensi pengendalian vaksinasi dilakukan pada wilayah-wilayah sekitarnya yang dikategorikan dalam kelompok merah (desa dengan kasus antraks) dan kuning (desa dengan riwayat kasus antraks pada 2019, 2020, dan 2022).
Kementan mencatat, vaksin telah disuntikkan pada 78 ekor sapi dan 286 ekor kambing di Gunung Kidul. Semua hewan yang rentan tertular di daerah terancam sudah disuntikkan antibiotik. Pemberian desinfektan pada lokasi penyembelihan dan penguburan ternak juga telah direalisasikan.
Selain itu, dia menggarisbawahi pentingnya desinfektan secara menyeluruh serta penelusuran kasus yang terkait penyebaran daging-daging dari hewan ternak yang mati karena antraks. Daerah-daerah tempat daging yang tersebar itu perlu didesinfektan, khususnya pada lingkup kandang dan perumahan, karena berisiko terkena antraks.
Sementara itu, Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjen PKH Kementan Syamsul Ma’rif melarang masyarakat memotong hewan ternak yang mati akibat antraks. “Kalau dibuka (dipotong dan disembelih), bakterinya bisa menjadi spora dan bertahan bertahun-tahun. Sifat bakteri antraks itu sangat berbahaya,” katanya.
Syamsul menambahkan, dia juga menyiapkan kader zoonosis untuk merespons kejadian zoonosis dari unsur masyarakat serta pemerintah di bidang peternakan, kesehatan, kesehatan hewan, lingkungan, hingga aparat keamanan. Kader tersebut akan ditetapkan oleh bupati/walikota dari usulan lurah/kepala desa.