Pelaksanaan redenominasi rupiah ini harus dilakukan pada saat yang tepat. Redenominasi rupiah idealnya dilakukan saat ekonomi makro bertumbuh, stabilitas sistem keuangan terjaga, dan kondisi sosial politik kondusif.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
Setelah berulang kali timbul dan tenggelam, wacana Bank Indonesia dan pemerintah tentang redenominasi rupiah kembali mencuat. Seperti apa dampak kebijakan ini? Apakah menguntungkan atau merugikan bagi masyarakat dan perekonomian nasional?
Wacana ini kembali mengemuka saat Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjawab pertanyaan wartawan saat jumpa pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI Juni 2023, Jakarta, Kamis (22/6/2023). Perry menjelaskan, sedari dulu, sejatinya BI sudah siap melaksanakan redenominasi rupiah. Desain dan tahapan redenominasi rupiah sudah disiapkan. Namun, keputusan redenomisasi rupiah ini harus menunggu waktu yang tepat.
Menurut Perry ada tiga faktor yang harus terpenuhi sebelum melakukan redenominasi. Pertama, kondisi makro ekonomi yang stabil. Aspek kedua adalah stabilitas sistem keuangan terjaga. Ketiga, kondisi sosial politik yang kondusif.
Saat ini kondisi ekonomi makro memang bertumbuh. Stabilitas sistem keuangan pun relatif terjaga. Namun, ketidakpastian global masih tinggi. Hal ini berpotensi menimbulkan gejolak perekonomian domestik. Apalagi tahun depan Indonesia akan melaksanakan rangkaian pemilihan umum.
“Ini berbagai pertimbangan utama kami,” ujar Perry.
DOKUMENTASI BANK INDONESIA
Jajaran Dewan Gubernur (DG) Bank Indonesia (BI) dalam jumpa pers hasil Rapat DG BI, Jakarta, Kamis (22/6/2023). Mereka adalah (kiri ke kanan) Deputi Gubernur BI Aida S Budiman, Deputi Gubernur BI Dony P Joewono, Gubernur BI Perry Warjiyo, Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti, Deputi Gubernur BI Juda Agung, dan Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta.
Bentuk redenominasi
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, ide dasar dari redenominasi ini adalah memotong jumlah digit mata uang agar lebih ringkas. Saat ini, terdapat mata uang yang nilai digit atau bilangannya sedikit, ada pula yang banyak.
Mata uang yang digit bilangannya banyak antara lain rupiah, dong Vietnam, dan beberapa mata uang negara Afrika. Adapun mata uang dengan digit bilangan sedikit seperti dollar AS, dollar Singapura, poundsterling Inggris, dan lain-lain.
Jumlah digit bilangan itu, lanjut Faisal, diasosiasikan dengan kekuatan dan pengaruh mata uang itu di dunia. “Jadi, wacana redenominasi rupiah itu bisa juga diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan kepercayaan diri warga Indonesia dan dunia akan kekuatan mata uang rupiah,” ujar Faisal.
Secara terpisah, Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menjelaskan, redenominasi rupiah dapat dibayangkan sebagai kebijakan untuk menghilangkan tiga digit dalam nilai mata uang rupiah. Bila kebijakan ini berlaku, uang Rp 1.000 akan menjadi Rp 1.
“Pengurangan tiga digit ini agar membaca jumlah uang rupiah kita lebih simpel. Ini untuk mempermudah proses aktivitas ekonomi,” ujar Riefky.
Perubahan ini akan mengubah cara aktivitas ekonomi masyarakat. Misalkan, harga semangkuk bakmi ayam semula Rp 30.000, akan berubah jadi Rp 30. Misalnya nilai tukar rupiah dibandingkan dollar AS yang saat ini sekitar Rp 15.000, akan berubah dibaca menjadi Rp 15 per dollar AS.
Dengan demikian, lanjut Riefky, BI tentu harus mencetak uang kartal (kertas dan logam) dengan pecahan baru yang setara dengan nilai aslinya. Uang kertas Rp 1.000 misalnya, diubah menjadi Rp 1, Rp 20.000 menjadi Rp 20, dan Rp 100.000 menjadi Rp 100.
Riefky berpendapat, kebijakan redenominasi rupiah ini sebetulnya tidak memiliki urgensi atau kemendesakan tinggi. Seandainya redenominasi rupiah tetap diberlakukan, ia mengusulkan untuk dilakukan sosialisasi terlebih dahulu secara luas kepada masyarakat mengenai nilai pecahan mata uang yang berlaku.
Persyaratan
Senada dengan Perry, Faisal menekankan, pelaksanaan redenominasi rupiah ini harus dilakukan pada saat yang tepat. Redenominasi rupiah idealnya dilakukan saat ekonomi makro bertumbuh, stabilitas sistem keuangan terjaga, dan kondisi sosial politik kondusif. “Redenominasi rupiah idealnya dilaksanakan ketika ketiga aspek ini terpenuhi. Redenominasi di saat yang tidak tepat malah bisa mendatang risiko yang lebih besar,” ujar Faisal.
Salah satu potensi risiko adalah lonjakan inflasi akibat faktor psikologis masyarakat. Ia mencontohkan, ketika harga semangkuk nasi goreng Rp 20.000 kemudian menjadi Rp 2, psikologi penjual merasa untungnya jadi lebih kecil. Akhirnya, dia pun menaikkan harga dagangannya. Artinya, ada potensi kenaikan inflasi yang berasal dari faktor psikologis, bukan riil dari aspek penawaran dan permintaan barang.
Oleh karena itu, lanjut Faisal, pemerintah dan BI perlu melakukan sosialisasi secara luas kepada masyarakat. Sebab, redenominasi tak hanya menyentuh aspek ekonomi, tetapi juga psikologi, bahkan sosiologi masyarakat.
Redenominasi tak hanya menyentuh aspek ekonomi, tetapi juga psikologi, bahkan sosiologi masyarakat.
“Warga Indonesia ini jumlah sangat banyak dan tersebar di wilayah yang begitu luas dengan cara hidup yang beragam. Sosialisasi perlu dilakukan secara luas agar bisa menciptakan pemahaman yang tepat akan nilai uang yang sama antar satu daerah dengan yang lain,” ujar Faisal.
Karyawan menukarkan uangnya dengan uang rupiah kertas tahun emisi 2022 di Palmerah, Jakarta, Senin (3/4/2023). Bank Indonesia menyiapkan uang tunai Rp 195 triliun untuk menghadapi Lebaran tahun 2023. Adapun lokasi penukaran uang tersebar di 5.066 titik.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan, redenominasi rupiah pada dasarnya tidak menjadi masalah selama memenuhi 3 hal, Yang pertama, nilai uang yang di-redenominasi tetap sama, tidak berkurang atau bertambah. Kedua, tidak terjadi kepanikan pasar saat proses transisi redenominasi. Ketiga, adalah tingkat kepercayaan pasar terhadap rupiah tidak berubah.
“Kalau semua syarat itu bisa dipenuhi, saya rasa redenominasi tidak perlu menjadi isu besar karena nilai uang yang dimiliki dan ditransaksikan di masyarakat secara esensi tidak berubah, hanya terjadi simplifikasi notasi angka di uangnya,” ujar Shinta.
Ia menambahkan, justru redenominasi dalam jangka panjang bisa menguntungkan Indonesia karena berpotensi meningkatkan efisiensi transaksi, khususnya transaksi dalam jumlah besar. Selain itu, akan meningkatkan rasa percaya diri terhadap rupiah. Apalagi di masa mendatang ada wacana menggunakan satu mata uang di kawasan ASEAN seperti di Uni Eropa pada awal dekade 2000 yang mengonversi mata uang masing-masing menjadi Euro.