Selain menyumbang inflasi, kenaikan harga daging ayam beberapa bulan terakhir dikeluhkan pedagang dan konsumen. Namun, situasi itu sejatinya menandai siklus menuju keseimbangan baru. Biarkan peternak menikmatinya.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·4 menit baca
Dengan neraca yang diperkirakan surplus, kenapa harga daging ayam ras terus naik beberapa bulan terakhir? Tak hanya menyumbang inflasi, kenaikan harga daging ayam dikeluhkan konsumen sekaligus pedagangnya. Sebagian pedagang di sejumlah daerah, seperti Cirebon, Cikarang, Karawang, dan Jabodetabek, bahkan berunjuk rasa dengan mogok jualan pada pekan lalu.
Berdasarkan data yang dipaparkan Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) dalam rapat dengan Komisi IV DPR di Jakarta, Senin (5/6/2023), produksi daging ayam nasional tahun 2023 diperkirakan mencapai 3,9 juta ton. Dengan stok awal 150.489 ton dan perkiraan kebutuhan 3,5 juta ton, surplus daging ayam ras di akhir Desember 2023 diperkirakan mencapai 563.097 ton.
Kementerian Pertanian dalam ”Outlook Komoditas Daging Ayam 2022” menyebut, berdasarkan hasil proyeksi produksi dan konsumsi, neraca daging ayam ras di Indonesia akan surplus selama kurun tahun 2022-2026. Pada tahun 2022, surplus diperkirakan mencapai 764.650 ton. Sementara itu, kendati turun, surplus tahun ini diproyeksikan sekitar 277.670 ton.
Penurunan surplus itu sejalan dengan berkurangnya populasi ayam ras pedaging. Menurut Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2022, sebagaimana dikutip dalam laporan itu, populasi ayam ras pedaging nasional naik 9,66 persen dari 2,89 miliar ekor tahun 2021 menjadi 3,17 miliar ekor tahun 2022 (angka sementara). Namun, populasinya turun 1,6 persen menjadi 3,12 miliar ekor tahun 2023. Pemangkasan produksi biasa ditempuh untuk mengantisipasi kelebihan pasokan daging ayam ke pasar sekaligus anjloknya harga di tingkat peternak.
Akan tetapi, apakah penurunan itu berdampak pada kenaikan harga daging ayam belakangan ini? Dua bulan terakhir, harga rata-rata daging ayam ras nasional berkisar Rp 38.000 per kilogram hingga Rp 40.000 per kg. Pada Senin (3/7/2023), harga rata-rata nasional daging ayam ras, menurut Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional, tercatat Rp 38.690 per kg. Sementara menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional harganya Rp 40.050 per kg. Angka itu berada di atas ketentuan terkait harga acuan penjualan di tingkat konsumen, yakni Rp 36.750 per kg.
Situasi harga di pasar merupakan cermin yang paling pas untuk melihat aspek permintaan dan penawaran. Tren kenaikan harga daging ayam di pasaran beberapa bulan terakhir bisa jadi sejalan dengan kebijakan ”koreksi” populasi ayam pedaging. Selama ini, langkah mengegas dan mengerem produksi menjadi jurus yang ditempuh pemerintah guna menjaga pasokan sekaligus harga di tingkat peternak agar tidak anjlok.
Ongkos naik
Dengan produksi yang cenderung surplus setiap tahun, langkah ideal menjaga harga di tingkat peternak adalah dengan menggenjot permintaan, baik dari dalam maupun luar negeri. Selain mendongkrak rata-rata konsumsi daging ayam per kapita, ekspor juga menjadi pilihan paling ideal untuk menyerap kelebihan produksi di dalam negeri. Sayangnya, pilihan ini belum diusahakan secara optimal sehingga langkah menstabilkan harga dan menyelamatkan peternak ditempuh dengan mengerem produksi, antara lain melalui afkir dini.
Kendati neraca selalu surplus beberapa tahun terakhir, realisasi ekspor daging ayam Indonesia relatif kecil. Pada tahun 2021, misalnya, volume ekspor daging ayam Indonesia tercatat hanya 49.474 ton atau sekitar 1,5 persen dari total produksinya yang mencapai 3,18 juta ton. Tujuh tahun sebelumnya, volume ekspor hanya berkisar 10.407 ton-41.552 ton kendati produksinya mencapai 1,5-3,2 juta ton.
Akan tetapi, selain permintaan dan penawaran di hilir, ada faktor di hulu yang dituding mendongkrak harga daging ayam belakangan ini, yakni kenaikan ongkos produksi. Biaya produksi ayam, baik ayam pedaging maupun petelur, antara lain terdorong oleh kenaikan harga jagung. Dengan porsi mencapai 50 persen dalam struktur pakan, kenaikan harga jagung akan serta-merta mendongkrak ongkos pakan sekaligus produksi ayam.
Pekan lalu, harga jagung pakan dilaporkan mencapai Rp 6.000 per kg. Angka itu jauh di atas harga acuan, yakni Rp 4.200 per kg di petani dan Rp 5.000 per kg. Pemerintah bisa saja memperlebar izin impor jagung guna meredam harga jagung sekaligus pakan dan produk unggas. Namun, kalangan petani jagung mewanti-wanti sejak awal tahun: jangan impor jagung secara berlebihan agar petani tetap bersemangat menanamnya!
Kebijakan mengerem impor jagung sejak 2017/2018 terbukti mendongkrak produksi jagung nasional. Langkah itu ”menyakitkan” di awal, tetapi secara tak langsung membangkitkan motivasi petani untuk menanam. Kini, siklus serupa sedang terjadi pada komoditas pangan lain, seperti beras, tebu, serta daging dan telur ayam. Harga yang terjadi di pasar dinilai menguntungkan sehingga gairah berproduksi timbul. Jangan matikan semangat peternak dengan buru-buru meredam harga daging ayam di pasaran. Toh, kenaikannya masih terbilang wajar. Biarkan mereka menjalani siklus penyehatan.