Para pebisnis perlu mengantisipasi dengan membuat perubahan yang berbasis apa yang dibutuhkan perusahaan dan diinginkan karyawan.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·3 menit baca
Revolusi dunia kerja tengah terjadi. Orang semula berpikir tentang pekerjaan yang bertahan dan yang bakal hilang setelah kehadiran teknologi digital dan kecerdasan buatan yang masif. Kini, dunia kerja makin memperlihatkan lebih jauh lagi, mereka tidak butuh lagi pekerjaan (job). Dunia membutuhkan orang untuk menyelesaikan berbagai permasalahan ketika mereka butuh. Oleh karena itu, pemimpin ke depan bukan soal mengelola pekerjaan, melainkan bagaimana mengelola tugas dan proyek.
Aparatur sipil negara (ASN) di Indonesia dengan tugas fungsional yang tidak lagi bergantung sepenuhnya pada hierarki tampaknya telah mendahului fenomena ini. Mereka telah lama terbiasa dengan berbagai tugas untuk diselesaikan tanpa bergantung pada struktur organisasi. Mereka yang hebat adalah mereka yang bisa menyelesaikan berbagai tugas. Keterampilan dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah lebih diperlukan dibandingkan dengan jabatan atau tugas formal seperti sebelumnya.
Dua penulis di MIT Sloan Management Review, John Boudreau and Jonathan Donner, menyebutkan, cara kita mengatur kerja dan pekerja secara tradisional menjadi semakin usang. Kita bergerak menuju sistem operasi kerja yang akan mendekonstruksi pekerjaan (work) menjadi tugas (task) dan proyek yang mungkin ditugaskan tidak hanya kepada karyawan, tetapi juga ke mesin dan para pekerja di lokapasar kerja. Selain itu, pekerja akan semakin diidentifikasi bukan sebagai orang yang memegang pekerjaan (job) tertentu, tetapi sebagai orang yang memiliki keterampilan dan bakat yang dapat diterapkan di mana pun di organisasi membutuhkannya. Perusahaan makin membutuhkan kelincahan dan fleksibilitas organisasi. Kedua sifat tersebut dimungkinkan menjadi pendekatan baru untuk dunia kerja.
Mereka yang hebat adalah mereka yang bisa menyelesaikan berbagai tugas. Keterampilan dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah lebih diperlukan dibandingkan dengan jabatan atau tugas formal seperti sebelumnya.
Dunia kerja mengharuskan pemimpin untuk mulai berpikir tentang bagaimana tugas dan proyek diselesaikan, bukan bagaimana ”pekerjaan” diatur. Kondisi ini membutuhkan pemimpin dan eksekutif yang ahli dalam mengatur berbagai sumber daya yang berbeda, seperti kapan menggunakan tenaga manusia, mesin, memberdayakan karyawan, dan kapan membutuhkan tenaga bukan karyawan untuk melaksanakan tugas. Ketika para talenta memperoleh hak lebih besar untuk memilih proyek dan pemimpin proyek yang paling diinginkan, hubungan antara manajer dan pekerja akan menjadi kurang hierarkis.
Pekerjaan tidak diselesaikan berdasarkan divisi, kelompok, atau departemen yang ada, tetapi berdasarkan kecocokan minat dan gairah untuk menyelesaikan pekerjaan serta kecocokan dengan pemimpin. Karyawan boleh memilih untuk menyelesaikan tugas tertentu. Pada suatu saat, mereka akan pindah dari satu proyek ke proyek lain dan pasti ke pemimpin satu dan pemimpin lain.
Karyawan boleh memilih untuk menyelesaikan tugas tertentu. Pada suatu saat, mereka akan pindah dari satu proyek ke proyek lain dan pasti ke pemimpin satu dan pemimpin lain.
Fenomena ini mencuat seiring telah lama muncul kritik terhadap dunia kerja. Pada 2018, The Guardian pernah membahas permasalahan di dunia kerja. Mereka mengungkapkan beberapa kritik terhadap budaya kerja yang tengah berjalan. Budaya kerja sekarang ini telah tidak relevan. Di Amerika Serikat, buku yang membahas masalah ini, seperti Private Government: How Employers Rule Our Lives (and Why We Don't Talk About It) oleh filsuf Elizabeth Anderson dan buku No More Work: Why Full Employment Is a Bad Idea oleh sejarawan James Livingston, telah menantang kekuatan diktator dan asumsi para pengusaha modern. Selama ini ada anggapan yang tertanam kuat bahwa solusi untuk masalah apa pun adalah bekerja lebih keras.
Kritik tersebut mulai berdampak ketika serikat pekerja mulai mempermasalahkan jam kerja. Kerja hibrida seusai pandemi juga makin memperlihatkan kritik tersebut berpengaruh pada para pengambil keputusan. Di samping itu desakan perbaikan kualitas hidup, seperti slogan Work Less, Live More, makin menunjukkan ada krisis di dalam budaya kerja sehingga perlu perbaikan.
Perubahan-perubahan seperti itu, baik karena peristiwa besar seperti pandemi dan kehadiran teknologi, makin tak terelakkan. Para pebisnis perlu mengantisipasi dengan membuat perubahan yang berbasis apa yang dibutuhkan perusahaan dan diinginkan karyawan. Keluhan karyawan muda yang kadang dianggap sinis mungkin perlu direspons dengan bijak dengan mengetahui permasalahan mereka secara jelas.
Para pebisnis perlu mengantisipasi dengan membuat perubahan yang berbasis apa yang dibutuhkan perusahaan dan diinginkan karyawan.
Oleh karena itu, pemimpin organisasi ke depan adalah mereka yang mampu mengorkestrasi pekerjaan yang membutuhkan manusia dan pekerjaan yang tidak membutuhkan manusia serta pekerjaan yang membutuhkan karyawan dan yang membutuhkan karyawan lepas.
Pemimpin tidak lagi menjadi bos yang duduk dan main perintah ke karyawan, tetapi pemimpin adalah mereka yang berorientasi pada penyelesaian tugas atau proyek. Mereka akan mengelola pekerjaan dengan indikator yang makin jelas. Karyawan juga demikian. Perubahan besar memang tengah terjadi.