Akankah Kebijakan Hilirisasi Mematahkan Kutukan Sumber Daya?
Tiga dekade lalu, seorang peneliti menyatakan teori jika ekonomi negara bersumber daya alam melimpah tidak lebih baik dengan negara yang minim sumber daya. Kini, Indonesia seakan berupaya mematahkan teori itu.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebuah teori menyebutkan, negara dengan sumber daya alam melimpah, seperti Indonesia, cenderung tidak dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan perekonomian. Meski hilirisasi dapat menjadi solusi, pemerintah perlu fokus pada salah satu komoditas yang berpotensi menjadi unggulan dan bijak dalam mengelolanya.
Hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) bertajuk ”Larangan Ekspor Mineral dan Implikasinya” menyebut kebijakan hilirisasi tambang seakan-akan dilakukan untuk mematahkan kutukan negara yang memiliki kekayaan sumber daya (resource curse). Istilah kutukan sumber daya ini pertama kalinya disebutkan Professor Emeritus of Economic Geography Lancaster University Richard Auty pada tahun 1993.
Richard Auty menggunakan istilah ”kutukan sumber daya” untuk menggambarkan ketidakmampuan negara-negara yang kaya akan sumber daya mineral memanfaatkan kekayaan tersebut guna meningkatkan perekonomian mereka. Dalam teorinya, negara-negara dengan kekayaan alam memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tanpa sumber daya alam melimpah.
Teori Richard ini juga didukung dengan temuan Jeffrey Sach dan Andrew Warner dalam penelitian bertajuk ”Natural Research Abundance and Economic Growth” (1995). Mereka menemukan sumber daya alam yang melimpah mempunyai kaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi yang buruk.
Peneliti Makroekonomi LPEM UI, Nauli Desdiani, mejelaskan, salah satu persoalan yang dialami negara dengan sumber daya melimpah adalah terlalu bergantung pada komoditas sebagai sumber pendapatan. Pengolahan bahan mentah melalui kebijakan hilirisasi dapat mendatangkan nilai tambah sehingga teori kutukan sumber daya tersebut terpatahkan.
”Kebijakan hilirisasi pemerintah saat ini sebetulnya sudah tepat, terutama supaya bisa mendorong nilai tambah ekspor. Selama ini, kita sangat bergantung pada komoditas mentah untuk meningkatkan posisi Indonesia di rantai pasok global,” kata Nauli saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (1/7/2023).
Dalam perkembangannya, pembahasan teori mengenai kutukan sumber daya bergeser ke arah bagaimana negara berhasil terlepas dari kutukan tersebut. Ragnar Torvik dalam penelitiannya Why do some resource-abundant countries succeed while others do not? (2009) menyebut, terdapat beberapa faktor yang membuat suatu negara dapat berhasil terlepas dari kutukan sumber daya, antara lain sistem pemerintahan, kualitas kelembagaan, jenis sumber daya, dan upaya industrialisasi/hilirisasi.
Dari pengalaman nikel, Indonesia bisa dikatakan berhasil karena kita eksportir utama global. Kemudian, permintaan global untuk baterai juga tinggi karena tren kendaraan listrik sehingga adanya larangan ekspor memaksa investasi smelter baterai masuk Indonesia.
Seperti diketahui, kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor bahan mentah telah diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Pelarangan ekspor bahan baku mineral mentah dan upaya hilirisasi ini dimulai dari nikel pada tahun 2020 dan bauksit pada Juni 2023.
Nauli menambahkan, setidaknya dibutuhkan waktu hingga empat tahun bagi Indonesia dalam menerapkan larangan ekspor mineral mentah untuk bisa menarik investasi guna mendorong hilirisasi. Di sisi lain, pemerintah perlu mempertimbangkan komoditas mana yang bisa didorong untuk menjadi national champions atau produk unggulan.
”Hal itu dilakukan dengan memetakan sektor-sektor yang memiliki keunggulan kompetitif di pasar global dan melihat tren permintaan global dalam jangka panjang. Dari pengalaman nikel, Indonesia bisa dikatakan berhasil karena kita eksportir utama global. Kemudian, permintaan global untuk baterai juga tinggi karena tren kendaraan listrik sehingga adanya larangan ekspor memaksa investasi smelter baterai masuk Indonesia,” katanya.
Dengan adanya kebijakan larangan ekspor bijih nikel, nilai ekspor produk nikel Indonesia meningkat hampir 10 kali lipat dari tahun 2017 sebesar 3,3 miliar dollar AS menjadi 29 miliar dollar AS pada tahun 2022. Apabila dibandingkan dengan volume ekspor nikel dunia, rata-rata volume ekspor nikel Indonesia pada tahun 2022 mencapai 41 persen. Padahal, rata-rata proporsi volume ekspor nikel Indonesia sebelum pemberlakuan larangan ekspor pada periode 2017-2019 hanya mencapai 5,8 persen.
Wakil Direktur Utama LPEM FEB UI Jahen Fachrul Rezki berpendapat, kebijakan hilirisasi tidak bisa diberlakukan untuk semua komoditas. Meski kebijakan hilirisasi nikel saat ini bisa dikatakan berhasil mematahkan kutukan sumber daya, belum tentu sektor lain akan berhasil.
”Setiap sektor punya potensi dan tantangan sendiri, terutama terkait kemampuan kapasitas produksi dari hulu ke hilir. Kebijakan hilirisasi saat ini terkesan dipaksakan ke semua sektor tanpa ada kejelasan latar belakang kajian dalam pemilihan sektor tersebut,” ujarnya.
Kontrol
Berdasarkan Survei United States Geological pada tahun 2022, cadangan nikel Indonesia mencapai 21 juta ton atau setara dengan 22 persen dari cadangan nikel global. Dengan total produksi 1 juta ton pada tahun 2021, Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara penghasil nikel jauh di atas Filipina di nomor dua yang sebesar 370.000 ton.
Sementara data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, cadangan bijih nikel Indonesia hanya cukup untuk pasokan selama 7,6 tahun mendatang. Peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman berpendapat, pemerintah perlu bijak dalam mengelola cadangan nikel agar tidak bernasib seperti minyak dan gas bumi.
”Pengawasan dan kontrol perlu ditingkatkan, baik pada industri hulu maupun hilir. Produksinya perlu diatur agar tidak terkesan jor-joran seperti minyak yang kini kita harus impor,” tuturnya saat dihubungi dari Jakarta.
Menurut Ferdy, peran pengawasan dan kontrol terdapat pada Kementerian ESDM. Mereka bertanggung jawab untuk mengontrol hingga ke tingkat daerah, terutama terkait dengan kegiatan tambang ilegal.
Seperti diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan terkait dugaan kasus ekspor 5,3 juta ton nikel ilegal ke China sejak Januari 2022 hingga Juni 2022. Akibatnya, negara mengalami kerugian dari sisi royalti dan bea keluar yang ditaksir mencapai Rp 575 miliar.
Selain itu, tantangan hilirisasi juga datang dari dunia internasional. Pelarangan ekspor mineral mentah oleh pemerintah mendatangkan protes dari negara Uni Eropa dengan menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada awal tahun 2021.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menjelaskan, gugatan WTO tersebut dilakukan sebelum adanya konsensus G20. Pada kesepakatan kepala negara dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada November 2022, Indonesia memprakarsai mengenai hilirisasi, yakni pada paragraf 37.
”Paragraf 37 itu memberikan ruang bagi masing-masing negara untuk mengelola ekonomi dan menciptakan nilai tambah berdasarkan komponen-komponen komparatif di masing-masing negara. Melalui Bali Kompendium, masing-masing negara diberi ruang untuk memikirkan strategi dalam mengelola sumber daya alam guna meningkatkan nilai tambah tanpa intervensi dari negara lain. Itu sudah tercatat dalam UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development),” katanya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Investasi/BKPM, Jakarta, Jumat (30/6/2023).
Padahal, lanjut Bahlil, Eropa dan dunia juga memiliki kesepakatan mengenai pembangunan berkelanjutan (SDGs). Dengan pemberlakukan larangan ekspor bahan mentah, penciptaan lapangan pekerjaan, pemberdayaan masyarakat, dan pemerataan pembangunan sebagaimana termuat dalam SDGs dapat dilakukan oleh Indonesia.