Transisi Tak Perlu dengan Persulit Akses ke Kendaraan BBM
Ketimbang mempersulit akses ke kendaraan BBM, pemerintah dinilai perlu memperbaiki tata kelola subsidi agar lebih efektif. Alternatif kebijakan lain bisa ditempuh untuk mendorong masyarakat beralih ke kendaraan listrik.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah mendorong masyarakat beralih ke kendaraan listrik dinilai tidak perlu menyulitkan akses ke kendaraan berbahan bakar minyak. Perbaikan mekanisme subsidi, pemberian cukai, pembangunan infrastruktur kendaraan listrik, hingga peningkatan insentif diyakini bisa menjadi solusi.
Pemerintah berencana membatasi akses kendaraan BBM secara bertahap untuk meningkatkan penggunaan kendaraan listrik. Upayanya antara lain dengan membatasi jumlah kendaraan yang beredar atau diperjualbelikan di pasaran.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, kebijakan menghentikan penjualan kendaraan BBM belum cocok diterapkan di Indonesia. Sebab, kendaraan listrik masih dalam proses transisi dan daya beli masyarakat belum kuat.
”Menghentikan penjualan itu dilakukan, misalnya, di Eropa dan Amerika Serikat. Di wilayah itu, masyarakatnya menengah ke atas dan kelompok bawah dijamin hidupnya. Indonesia belum bisa seperti itu,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Minggu (25/6/2023).
Pembatasan penjualan kendaraan BBM butuh waktu lama untuk bisa diterapkan di Indonesia. Hal terdekat yang bisa dilakukan adalah mengubah mekanisme penyaluran subsidi BBM agar tepat sasaran. Menurut Tauhid, subsidi BBM jenis solar dan pertalite sudah sejak lama tak tepat sasaran karena masih bisa dinikmati masyarakat kaya.
Kementerian Keuangan mencatat, subsidi dan kompensasi energi pada 2022 lebih banyak dinikmati oleh dunia usaha dan rumah tangga yang tergolong mampu. Untuk solar, misalnya, total subsidi dan kompensasi yang sebesar Rp 145,6 triliun, sekitar 89 persen (Rp 129,6 triliun) di antaranya dinikmati oleh dunia usaha dan 11 persen (Rp 16,0 triliun) dinikmati oleh rumah tangga. Secara spesifik, untuk rumah tangga, sebesar 95 persen (Rp 15,2 triliun) dinikmati rumah tangga mampu dan 5 persen (Rp 800 miliar) dinikmati rumah tangga miskin.
BBM masih murah dan menjadi pilihan masyarakat. Kalau pemerintah serius agar masyarakat beralih ke kendaraan listrik, subsidi BBM dapat dikurangi bahkan dipotong habis.
Hal yang sama juga terjadi pada alokasi kompensasi pertalite atau premium yang sebesar Rp 161,6 triliun pada 2022. Sebanyak 14 persen (Rp 22,6 triliun) dinikmati oleh dunia usaha dan 86 persen (Rp 138,9 triliun) lainnya dinikmati oleh rumah tangga. Secara spesifik untuk rumah tangga, sebanyak 80 persen (Rp 111,2 triliun) dinikmati oleh rumah tangga mampu dan 20 persen (Rp 27,8 triliun) lainnya dinikmati oleh rumah tangga miskin dan rentan.
Oleh karena itu, kata Tauhid, mekanisme subsidi diubah agar kelompok yang membutuhkan sesuai data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) terbaru. Subsidi bagi kelompok miskin dan rentan ditambah nilainya, tetapi subsidi BBM diturunkan. Hal ini perlu dilakukan secara bertahap agar inflasi tidak naik secara mendadak.
”Pengendalian subsidi BBM dilakukan bersamaan dengan meningkatkan jumlah infrastruktur kendaraan listrik, misalnya stasiun pengisian daya harus ditambah agar dapat memasok hingga pedalaman. Sebab, dukungan infrastruktur masih menjadi tantangan,” ujarnya.
Selain itu, masyarakat menggunakan kendaraan BBM karena masih murah. Untuk menyiasati hal itu dapat diberlakukan pemberian cukai bagi BBM. Hal ini mengingat hasil pembakaran BBM oleh kendaraan meningkatkan jumlah emisi yang beredar dan menyebabkan polusi udara.
Hal senada juga diungkap Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno. Menurut dia, keberanian pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM akan menentukan transisi ke kendaraan listrik.
”BBM masih murah dan menjadi pilihan masyarakat. Kalau pemerintah serius agar masyarakat beralih ke kendaraan listrik, subsidi BBM dapat dikurangi bahkan dipotong habis,” ungkapnya.
Di sisi lain, Kepala Pusat Studi Kendaraan Listrik Universitas Budi Luhur Sujono mengatakan, insentif bagi kendaraan listrik dapat ditingkatkan untuk menambah kemampuan beli masyarakat. Sebab, salah satu kendala utama masyarakat masih menggunakan kendaraan BBM adalah harga kendaraan listrik yang dinilai masih tinggi.
Sejumlah kebijakan dapat diterapkan, misalnya, keringanan bea masuk, pajak, dan subsidi khususnya untuk sepeda motor listrik karena pengguna mobil listrik targetnya adalah masyarakat mampu. Lebih jauh, insentif dapat diberikan untuk masyarakat yang mengonversi ke sepeda motor listrik. ”Insentif ini dapat bersumber dari pengurangan subsidi BBM,” tuturnya.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin menyatakan, adopsi kendaraan listrik secara masif merupakan keniscayaan. Hal ini sesuai dengan target emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada 2060.
”Urgensi NZE mendorong sejumlah negara untuk membatasi penjualan kendaraan BBM pada 2035 seperti di AS, Eropa, Inggris, dan China. Dalam melakukan transisi energi, pemerintah tak hanya mempertimbangkan kebijakan dari luar negeri, tetapi juga kondisi Indonesia,” ujarnya.
Pemerintah, kata Rachmat, tengah mengkaji kebijakan serta waktu penerapan yang tepat untuk Indonesia. Sebab, hal tersebut berkaitan dengan adaptasi sektor otomotif yang terdiri dari produsen, bengkel, hingga konsumen.
Berbagai kebijakan yang memudahkan konsumen kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) telah diterbitkan, antara lain pengenaan pajak yang lebih rendah, pemberian insentif, hingga pembebasan aturan ganjil genap. ”Ke depan, pemerintah berupaya memberikan tambahan kemudahan agar minat masyarakat untuk beralih ke kendaraan listrik semakin besar,” katanya.