Dari sepak bola Argentina, Indonesia bisa belajar arti sebuah kesuksesan, tetapi dari ekonomi Argentina, Indonesia bisa belajar arti sebuah kegagalan.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
Argentina adalah negara papan atas di jagat sepak bola saat ini. Kesebelasan yang diperkuat megabintang peraih tujuh kali pemain terbaik dunia (Ballon d’or), Lionel Messi, ini sukses merengkuh trofi Piala Dunia 2022. Maka, tak heran kini mereka bertengger pada posisi puncak dari 211 negara sepak bola dunia versi FIFA.
Sementara, Indonesia harus puas berada 149 peringkat di bawah Argentina. Perbedaan kualitas sepak bola itu tampak nyata dalam pertandingan Argentina melawan Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Senin (19/6/2023). Tim ”Tango” mengalahkan tim ”Garuda” 2-0.
Tim sepak bola Indonesia yang belum pernah sekalipun tembus ajang Piala Dunia jelas bukan tandingan sepadan bagi tim juara tiga kali Piala Dunia itu. Maka, sudah semestinya PSSI beserta seluruh pemangku kepentingan sepak bola Indonesia harus belajar dari Argentina untuk membentuk kesebelasan tangguh berkelas dunia.
Selain sepak bola, Indonesia sejatinya juga bisa belajar dari pengalaman Argentina mengelola ekonominya. Bedanya, dari sepak bola Argentina, kita belajar arti sebuah kesuksesan, tetapi dari ekonominya kita belajar arti sebuah kegagalan.
Ya, Argentina bisa dibilang sebagai negara yang gagal mengelola ekonominya dengan baik. Usai pandemi Covid-19, saat ekonomi negara-negara lain mulai pulih dan bangkit kembali, ekonomi Argentina tetap terpuruk.
Berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan ekonomi Argentina selama triwulan I-2023 hanya 0,2 persen. Adapun inflasinya melambung tinggi hingga 108,8 persen, menjadikan Argentina sebagai salah satu negara dengan inflasi tertinggi di dunia. Argentina juga masuk dalam kelompok negara yang mengalami stagflasi, yakni pertumbuhan ekonominya stagnan, tetapi inflasinya sangat tinggi. Ketergantungan yang tinggi terhadap minyak dan kegagalan otoritas moneter mengelola likuiditas yang melimpah merupakan sejumlah faktor yang membuat ekonomi Argentina terjerembap.
Berbeda dengan di sepak bola, di sektor ekonomi, Indonesia saat ini jelas lebih baik dibandingkan Argentina. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan pertama tahun ini mencapai 5,03 persen dengan inflasi 4,97 persen.
Lebih jauh, Indonesia juga bisa belajar dari kegagalan Argentina keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).
Pada dekade 1980 dan 1990, Argentina digadang-gadang bakal menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia. Salah satu argumennya, Argentina saat itu memiliki bonus demografi dengan jumlah penduduk produktif lebih besar ketimbang nonproduktif.
Namun, nyatanya, 2-3 dekade berselang, Argentina tak kunjung bisa lepas dari middle income trap. Argentina gagal memanfaatkan bonus demografinya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Setelah gagal menjadi negara maju, pertumbuhan ekonomi Argentina pun menjadi tidak stabil. Mengutip data IMF, selama periode 2000-2022, ekonomi Argentina tercatat sudah sepuluh kali mengalami kontrasi alias pertumbuhan negatif. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya satu kali mengalami kontraksi pada 2020, itu pun karena pandemi Covid-19.
Kegagalan Argentina lepas dari middle income trap salah satunya adalah ketergantungan yang tinggi terhadap komoditas mentah sebagai pendorong perekonomian. Negara Amerika Latin ini diberkahi kekayaan alam litium dan gas alam. Perekonomian mereka banyak bergantung pada ekspor komoditas itu. Fluktuasi harga komoditas membuat perekonomian mereka naik turun sehingga tidak stabil. Hilirisasi sumber daya alam gagal mereka tuntaskan.
Argentina juga diberkahi tanah yang subur sehingga perekonomiannya juga bertumpu pada sektor pertanian. Namun, industrialisasi dan sektor manufaktur juga gagal mereka kembangkan. Padahal, industri manufaktur merupakan salah satu syarat untuk menjadi negara maju atau berpendapatan tinggi. Selain itu, keadaan politik Argentina juga tidak stabil. Pergantian tampuk kepemimpinan sering kali diikuti gejolak sosial dan perubahan kebijakan.
Kondisi Argentina 2-3 dekade lalu mirip dengan kondisi Indonesia saat ini. Pada 2045 atau saat 100 tahun republik ini berdiri, Indonesia digadang-dagang bakal jadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan pada 2045, produk domestik bruto (PDB) mencapai 9,8 triliun dollar AS. Dengan kekuatan ekonomi itu, Indonesia diperkirakan akan berada di posisi kelima negara dengan perekonomian terbesar dunia. Adapun pendapatan per kapita Indonesia ditargetkan 30.000 dollar AS dengan kelas menengah sebesar 80 persen.
Untuk mencapai target itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak cukup lagi hanya di kisaran 5 persen, tetapi harus 6-7 persen per tahun. Adapun pertumbuhan investasi rata-rata harus mencapai 6,8 persen per tahun. Adapun kontribusi industri manufaktur terhadap perekonomian mesti mencapai 28 persen.
Semoga Indonesia bisa belajar dari kesuksesan sekaligus kegagalan Argentina sehingga sepak bola dan ekonomi Tanah Air sama-sama berada di level atas dunia.