Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Masih Hadapi Tantangan
Membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain masih banyak menuai pro dan kontra, biaya yang dibutuhkan juga tidak sedikit.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·3 menit baca
ROSATOM
Ruang kontrol di pembangkit tenaga nuklir terapung atau Floating Nuclear Power Plant (FNPP) “Akademik Lomonosov” yang tertambat di dermaganya di Pevek, Chaunskaya Bay, Laut Siberian Timur, Chukotka, Rusia.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dinilai mampu untuk mulai membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir atau PLTN berskala kecil. Namun, pembangunan PLTN belum dapat direalisasikan dalam waktu dekat lantaran terkendala biaya dan persetujuan dari masyarakat. Sampai saat ini, pemerintah masih membahas hal itu dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan atau RUU EBET.
Asosiasi Nuklir Dunia (WNA) menyebut, PLTN memasok listrik global sedikitnya 2.653 terawatt hour (TWh) pada tahun 2021 atau setara 10 persen dari total pasokan listrik dunia sebesar 26.833 TWh. Dengan jumlah ini, nuklir berada di posisi keempat sebagai energi yang memasok listrik dunia setelah batubara, gas, dan air.
Djarot Sulistio Wisnubroto, peneliti senior tenaga atom Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan, saat ini Indonesia memang belum memiliki PLTN. Namun, pemerintah sudah mulai mencanangkan pembangunan pembangkit listrik yang tergolong sebagai energi baru tersebut.
”Indonesia sudah mampu mendesain dan membangun PLTN meski skalanya kecil. Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) juga sudah mengakuinya. Meski berskala kecil, PLTN itu dapat ditingkatkan dari yang semula 10 megawatt (MW) bisa menjadi 300 MW, dan 600 MW,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Lebih Dekat dengan Teknologi Nuklir” yang diadakan oleh Tunas Hijau ID, Sabtu (17/6/2023).
TANGKAPAN LAYAR
Djarot Sulistio Wisnubroto, peneliti senior tenaga atom Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam webinar bertajuk "Lebih Dekat dengan Teknologi Nuklir" yang diadakan oleh Tunas Hijau ID, Sabtu (17/6/2023).
Walakin, pembangunan PLTN itu masih belum dapat direalisasikan dalam waktu dekat. Terdapat tantangan untuk mewujudkannya seperti besarnya biaya untuk membangun reaktor nuklir dan masih adanya penolakan dari sebagian masyarakat.
Sebelumnya, wacana untuk membangun PLTN sempat mencuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Djarot menceritakan, kala itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)/Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) meminta untuk membangun PLTN nonkomersial berkapasitas 10 MW.
”Rencana untuk membangun PLTN berskala kecil itu tidak terwujud karena dinilai terlalu mahal, biayanya bisa mencapai triliunan. Itu salah satu problemnya. Kadang-kadang, masalah kebijakan praktis seperti ini mengalahkan kebijakan jangka panjang,” kata Djarot, yang menjabat sebagai Badan Tenaga Nuklir Nasional periode 2012-2018.
Kemungkinan target tahun 2025 ini tidak tercapai. PLTN tidak dapat kontribusi dalam bauran EBT pada 2025 karena butuh waktu lama, yakni 8-10 tahun. Hanya bisa terwujud kemungkinan pada target selanjutnya, yakni 2050 yang tentu saja memiliki tantangan tersendiri.
Tantangan lain untuk mewujudkan pembangunan PLTN adalah persetujuan masyarakat. Djarot menjelaskan, pemerintah baru akan membangun ketika mendapat persetujuan dari masyarakat. Berkaca dari kasus kecelakaan reaktor PLTN di Chernobyl, Ukraina, dan Fukushima, Jepang, masih banyak masyarakat yang menolak pembangunan PLTN.
Padahal, PLTN dapat menjadi terobosan untuk mencapai target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) yang ditetapkan oleh pemerintah mencapai 23 persen pada tahun 2025. Sampai 2022, bauran EBT baru mencapai sekitar 12 persen atau masih dibutuhkan separuhnya lagi dalam dua tahun menuju 2025.
”Kemungkinan target tahun 2025 ini tidak tercapai. PLTN tidak dapat kontribusi dalam bauran EBT pada 2025 karena butuh waktu, yakni 8-10 tahun. Hanya bisa terwujud kemungkinan pada target selanjutnya, yakni 2050 yang tentu saja memiliki tantangan tersendiri,” lanjutnya.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Djarot Sulistio Wisnubroto
Menurut Djarot, PLTN memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan pembangkit listrik lainnya. Sebagaimana cita-cita pemerintah untuk mencapai nol emisi karbon (net zero emission/NZE) pada tahun 2060, PLTN dapat menggantikan posisi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis fosil yang tidak ramah lingkungan.
Selain itu, PLTN juga termasuk sebagai base-load, yakni dapat menghasilkan listrik secara terus menerus dengan daya yang besar tanpa bergantung pada kondisi cuaca. Sebaliknya, energi terbarukan seperti surya dan bayu merupakan pembangkit listrik intermitten yang bergantung pada cuaca.
Berdasarkan peta jalan NZE sektor energi, Indonesia akan memiliki PLTN sebesar 1 gigawatt (GE) yang mulai beroperasi pada 2039 dan akan bertambah secara bertahap hingga mencapai 31 GW pada tahun 2060.
Pembahasan
Secara terpisah, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana mengatakan, saat ini, rencana pembangunan PLTN masih di bahas dalam RUu EBET rapat bersama panitia kerja (panja) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan panja pemerintah. RUU tersebut memuat 574 daftar inventarisasi masalah (DIM).
TANGKAPAN LAYAR
Data statistik kecelakaan PLTN yang disampaikan Djarot Sulistio Wisnubroto, peneliti senior tenaga atom Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam webinar bertajuk "Lebih Dekat dengan Teknologi Nuklir" yang diadakan oleh Tunas Hijau ID, Sabtu (17/6/2023).
”Pembahasan RUU masih berjalan. Rencananya, pembahasan akan dilanjutkan pada Rabu 21 Juni 2023 dalam Panja di Komisi VII DPR. Besaran kapasitas untuk PLTN pertama masih dalam pembahasan,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Selain termasuk dalam energi baru yang ramah lingkungan, nuklir dinilai dapat meningkatkan bauran EBT nasional secara signifikan dan mencapai NZE. Selain itu, pertimbangan lainnya adalah terdapat bahan galian yang dapat diolah menjadi bahan bakar reaktor nuklir di Indonesia, yakni uranium.
Menurut Dadan, meski biaya awal PLTN sangat tinggi, PLTN dapat menghasilkan energi listrik dengan biaya produksi yang rendah. Uranium sebagai bahan bakar PLTN dapat menghasilkan banyak energi listrik tanpa memerlukan bahan bakar yang banyak.