Jelang Idul Adha, Penyakit ”Lato-lato” Masih Intai Hewan Kurban
Pemerintah dinilai perlu menggencarkan vaksinasi sebagai langkah prioritas menangani LSD guna menyelamatkan hewan ternak yang masih sehat. Tanpa langkah ekstra, peternak bakal terpukul untuk ketiga kalinya tahun ini.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan peternak menilai pemerintah belum mengambil kebijakan yang tepat dalam menangani penyakit kulit berbenjol yang kerap disebut ”lato-lato” pada hewan kurban menjelang Idul Adha tahun ini. Penyakit itu menurunkan kualitas dan kuantitas daging sehingga peternak tidak dapat menikmati nilai ekonomi yang optimal dari hewan ternaknya.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan HewanKementerian Pertanian menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 5412/SE/PK.430/F/05/2023 tentang Pelaksanaan Kurban dan Pemotongan Hewan dalam Pencegahan Penyebaran Penyakit Kulit Berbenjol (Lumpy Skin Disease/LSD) dan Kewaspadaan terhadap Penyakit Peste Des Petits Ruminants (PPR). Ada empat poin utama pada SE tersebut, yakni mitigasi risiko, komunikasi publik, pengawasan, dan pelaporan.
Dalam rangka mitigasi risiko LSD, SE yang terbit pada Rabu (14/6/2023) itu menentukan syarat kesehatan hewan untuk kurban. Syaratnya adalah sapi atau kerbau tidak menunjukkan gejala klinis parah atau berat, seperti menyebarnya benjolan pada tubuh, telah terdapat benjolan yang pecah dan menjadi koreng, serta terbentuk jaringan parut. Gejala tersebut dapat berpengaruh pada kerusakan di permukaan kulit dan daging.
Secara keseluruhan, mitigasi risiko yang tertera di SE itu berada di tempat penjualan hewan kurban serta pemotongan hewan kurban, baik di rumah potong hewan ruminansia (RPH-R) atau di luar RPH-R. Langkah-langkah mitigasi risiko umumnya terdiri dari pemenuhan persyaratan, pemeriksaan, pengambilan keputusan post-mortem, serta pencegahan penyebaran penyakit. Subyek mitigasi risiko tersebut mayoritas meliputi pelaku usaha atau pedagang hewan kurban, petugas RPH-R, dan panitia kurban.
Menanggapi surat edaran tersebut, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia Nanang Purus Subendro menyayangkan kebijakan pemerintah dalam menangani kasus LSD pada peternak. ”Langkah yang diambil terkesan meremehkan penyakit ini. Padahal, peternak sudah gagal menikmati momen kurban pada 2021 akibat pandemi Covid-19 dan pada 2022 akibat wabah penyakit mulut dan kuku. Pada tahun ini, kami tidak dapat menikmati momen kurban karena penyakit LSD. Di tukang jagal, nilai sapi yang sembuh dari LSD dapat turun hingga 25 persen. Terdapat bekas (penyakit) berwarna coklat kehitaman pada dagingnya,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (15/6/2023).
Oleh sebab itu, dia menilai, pemerintah semestinya menggencarkan vaksinasi sebagai langkah prioritas menangani LSD demi menyelamatkan hewan ternak yang masih sehat. Dia memperkirakan, harga vaksin LSD Rp 20.000-Rp 30.000 per dosis. Setiap ekor hewan ternak cukup mendapatkan satu kali dosis. Jumlah sasaran vaksinasi berkisar 70 persen dari populasi sapi ternak. Berdasarkan data Statistik Peternakan, populasi sapi/kerbau pada tahun 2022 mencapai 20,37 juta ekor.
Menurut dia, vaksinasi perlu digencarkan pemerintah untuk menciptakan permintaan vaksin virus LSD secara massal. Vaksin itu harus diimpor dan waktu yang dibutuhkan sejak permintaan vaksin muncul hingga diterima peternak sekitar satu bulan. Dia juga menggarisbawahi, masa inkubasi virus LSD dapat berlangsung selama 28 hari. Ilustrasinya, sapi yang terserang virus LSD pada pekan lalu belum tentu menunjukkan gejala. Apabila tidak ditangani secara serius, LSD dapat menggerus jumlah populasi sapi.
Anggota Dewan Pakar Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia, Rochadi Tawaf, mengatakan, berdasarkan laporan yang dia terima, sejumlah peternak kesulitan mendapatkan vaksin LSD. ”Di sisi lain, daging dari sapi yang terkena LSD tidak laku. Untuk kurban, hewan yang dijual pun mesti sehat,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjen PKH Kementan Syamsul Maarif mengatakan, SE tersebut sudah diselaraskan dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang terbaru. ”Biasanya, jumlah yang dipotong saat Idul Adha mencapai 1,8 juta ekor hewan ternak. Tiga hingga empat bulan sebelum Idul Adha, lalu lintas hewan ternak tergolong banyak,” ujarnya dalam Sosialisasi Pemotongan Hewan Kurban 1444H yang diadakan secara hibrida, Rabu (14/6/2023).
Dia memaparkan, jumlah tempat pemotongan hewan yang terdata 42.000 titik serta tempat penjualan hewan kurban sekitar 25.000 lokasi. Meskipun demikian, jumlah RPH aktif hanya 485 unit. Dia menambahkan, pemerintah akan menerjunkan tenaga paramedis untuk membantu memantau. Mahasiswa dari fakultas kedokteran hewan di sejumlah universitas turut dilibatkan.
Vetnizah Juniantito dari Divisi Patologi Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis IPB University mengimbau, pemeriksaan terhadap hewan kurban sebelum dipotong perlu dipastikan untuk mengecek kelainan. ”LSD tidak termasuk zoonosis (penyakit yang menular dari hewan ke manusia), tetapi dapat menurunkan kualitas dan kuantitas daging hingga memberikan jalan bakteri penyakit. Akibatnya, (hewan ternak dengan LSD) menjadi tidak aman untuk dikonsumsi manusia,” ujarnya dalam sosialisasi yang sama.
LSD pada hewan ternak, katanya, disebut juga dengan penyakit ”lato-lato”. Dia memerinci, LSD disebabkan oleh infeksi virus capricox. Tubuh hewan ternak yang terkena LSD akan timbul bungkul yang berkembang menjadi koreng dan luka terbuka. Hewan ternak pun bisa menjadi kurus dan tidak layak dipotong untuk konsumsi.
World Organisation for Animal Health mencatat, kasus pertama LSD di Indonesia terjadi pada Februari 2022 dan masih berlangsung. Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), per awal Mei 2023, LSD telah menginfeksi 22.000 hewan di 13 provinsi di Indonesia.