Bertani dengan ”Jempol” ala Petani Muda Keren Gobleg
Petani Muda Keren Desa Gobleg, Buleleng, Bali, telah melahirkan sistem pertanian hortikultura organik berbasis IoT. Syarat utama penerapan ”smart farming” ini adalah ketersediaan jaringan listrik dan internet di lahan.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Petani hortikultura yang tergabung dalam Kelompok Petani Muda Keren (PMK) Gobleg di Desa Gobleg, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, memantau kondisi tanamannya, Sabtu (10/6/2023). Kelompok PMK Gobleg mengembangkan pertanian hortikultura organik berbasis internet untuk segala sejak empat tahun lalu. Teknologi ini mampu mengefisienkan biaya dan tenaga, bahkan meningkatkan produksi sayur dan buah.
Tinggal klik dengan jempol, sejumlah petani hortikultura Desa Gobleg, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, dapat menyiram tanaman kapan pun dan dimana pun asal terdapat jaringan internet. Mereka juga dapat memantau kondisi kebun dan tanaman serta kadar air dan keasaman tanah secara terukur dari genggaman tangan.
”Sambil duduk minum kopi dan menonton sepak bola, sambil hajatan di rumah saudara di luar kota atau tetangga, bahkan sambil jalan-jalan di luar kota, kami dapat menyiram dan memantau kondisi tanaman kami melalui telepon pintar,” kata Gede Suardita (44), Ketua Kelompok Petani Muda Keren (PMK) Gobleg, Sabtu (10/6/2023), di Buleleng.
Sudah empat tahun berjalan, Kelompok PMK Gobleg mengembangkan pertanian hortikultura organik berbasis internet untuk segala (IoT). Teknologi yang ditemukan Kevin Ashton pada 1999 itu mampu mengefisienkan biaya dan tenaga, bahkan meningkatkan produksi sayur dan buah para petani.
Melalui aplikasi IoT yang dikembangkan para pemuda kelompok tani tersebut, petani dapat mengoperasikan penyiraman secara otomatis. Petani juga dapat memantau kondisi cuaca, kelembaban udara, tingkat keasaman (pH) tanah dan air, serta curah hujan per menit dan per jam. Selain itu, petani juga dapat memonitor kondisi lahan dan tanaman menggunakan kamera pemantau (CCTV).
Menurut Gede Suardita, menyiram tanaman di lahan seluas 1 hektar di Gobleg, biasanya membutuhkan waktu sekitar dua hari. Namun, dengan menerapkan teknologi IoT, hanya memakan waktu sekitar 15 menit.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
I Gede Wahyu Wiranata, teknisi dan developer smart farming Kelompok Petani Muda Keren (PMK) Gobleg, mengecek kelistirkan di Desa Gobleg, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, Sabtu (10/6/2023). Kelompok PMK Gobleg mengembangkan pertanian hortikultura organik berbasis internet untuk segala sejak empat tahun lalu. Teknologi ini mampu mengefisienkan biaya dan tenaga, bahkan meningkatkan produksi sayur dan buah.
Hal ini bisa terjadi lantaran di setiap bedeng tanaman dipasang instlasi pipa air dan keran otomatis berbasis sensor jarak jauh. Instalasi pipa itu ada yang terpasang rata dengan tanah bedeng dan ada yang menjulang ke atas.
Instalasi pipa yang terpasang rata dengan tanah merupakan model irigasi tetes (drip) yang langsung menyasar ke akar tanaman. Adapun pipa yang menjulang ke atas merupakan model irigasi air mancur (sprinkler). Selain untuk menyiram tanaman, irigasi ini juga berfungi untuk ”memandikan” tanaman setelah terkena hujan yang mengandung asam.
”Kami juga dapat menjadwalkan waktu penyiraman dan seberapa lama tanaman tersebut disiram dengan aplikasi yang kami gunakan,” katanya.
Petani Desa Gobleg, Nyoman Selamat (57), mengaku, penggunaan teknologi itu tidak hanya mengefisienkan waktu menyiram tanaman, tetapi juga menghemat biaya tenaga kerja. Sebelum menggunakan teknologi tersebut, penyiraman tanaman dilakukan dengan cara memikul air dari sumber air ke lahan yang berjarak sekitar 1 kilometer.
Untuk menyiram tanaman di lahannya yang seluas 2.000 meter persegi, dibutuhkan 3-4 pekerja dengan upah sekitar Rp 80.000 per hari. Dengan penerapan teknologi tersebut, Nyoman dapat menghemat biaya tenaga kerja Rp 240.000-Rp 320.000 per hari.
Pemanfaatan IoT tersebut tidak hanya mempermudah penyiraman tanaman hortikultura. Produksi sayur dan buah petani Desa Gobleg juga meningkat. Mereka yang semula menanam tanaman sayur setiap musim hujan, kini dapat memproduksi sayur sepanjang tahun.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Kadek Suparmini memanen bunga pecah seribu di kebun bunganya di Desa Gobleg, Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali, Sabtu (10/6/2023). Bunga pecah seribu biasanya digunakan sebagai salah satu perlengkapan ibadah umat Hindu. Saat ini oleh pengepul, bunga yang biasanya digunakan sebagai salah satu perlengkapan sembahyangan umat Hindu ini, dibeli Rp 5.000 per kilogram.
Gede Suardita mencontohkan, setelah menggunakan IoT, hasil panen brokoli Kelompok PMK Gobleg meningkat dari rata-rata 500 kg menjadi 2 ton. Hal itu terjadi lantaran teknologi tersebut dapat mendeteksi kelembaban udara, tingkat keasaman tanah, dan membantu pemupukan organik secara terukur.
Selain itu, petani juga dapat memproduksi sayur sepanjang tahun. Pendapatan petani jadi meningkat drastis karena dapat memproduksi sayur di luar musim. ”Pada saat musim panen brokoli, misalnya, harga sayur tersebut akan turun, yakni sekitar Rp 7.000 per kg. Namun di luar musim, harganya bisa jauh lebih tinggi, yaitu sekitar Rp 35.000 per kg,” kata Gede Suardita.
Listrik dan internet
Syarat utama penerapan metode pertanian cerdas (smart farming) adalah jaringan listrik dan internet yang mampu menjangkau lahan pertanian. Jaringan listrik di lahan pertanian itu tidak hanya untuk menopang irigasi, tetapi juga mencatu daya sistem teknologi informasi.
Sebelum jaringan listrik secara langsung terpasang hingga lahan-lahan pertanian, Kelompok PMK Gobleg menggunakan listrik panel surya sebagai pencatu daya sistem IoT. Setelah jaringan listrik terpasang di sejumlah lahan pertanian, listrik tenaga matahari itu mulai diganti secara bertahap dengan sambungan listrik langsung.
”Pengoperasian IoT bersumber dari listrik panel surya sangat terbatas. Daya bisa meredup sewaktu-waktu sehingga membuat sistem tidak stabil. Oleh karena itu, kami akan mengganti sumber dayanya dengan sambungan listrik secara langsung dari PLN,” kata Pengembang dan Teknisi Smart Farming Kelompok PMK Gobleg Gede Wahyu Wiranata.
Selain listrik, lanjut Wahyu, pengoperasion IoT juga bergantung pada jaringan internet. Minimal, harus tersedia jaringan H+ atau HSPA+ (Evolved High Speed Packet Acces). Paket data yang dibutuhkan para petani untuk menggunakan aplikasi smart farming juga tidak terlalu besar. Biasanya rata-rata sekitar 4GB per bulan.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Petani hortikultura yang tergabung dalam Kelompok Petani Muda Keren (PMK) Gobleg di Desa Gobleg, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, memantau kondisi lingkungan tanamannya melalui gawainya, Sabtu (10/6/2023). Kelompok PMK Gobleg mengembangkan pertanian hortikultura organik berbasis internet untuk segala sejak empat tahun lalu. Teknologi ini mampu mengefisienkan biaya dan tenaga, bahkan meningkatkan produksi sayur dan buah.
Nyoman Selamat menuturkan, biaya listrik dan internet yang dikeluarkan tidak terlalu besar. Untuk membeli pulsa listrik, ia mengeluarkan dana Rp 150.000-Rp 200.000 per bulan, sedangkan untuk paket data maksimal Rp 100.000 per bulan.
Kendala yang dihadapi juga tidak terlalu besar. Kendala ini terutama dialami para petani penyewa lahan. Ketika masa sewa lahan habis dan tidak bisa diperpanjang, mereka harus memindahkan jaringan instalasi irigasi dan smart farming, serta memasang jaringan listrik baru di lahan sewa yang baru.
”Selain itu, masih ada sejumlah titik di kawasan bak penampungan air yang dikelola kelompok tani yang belum dipasang jaringan listrik. Kondisi ini membuat kami tetap menggunakan pompa air berbahan bakar bensin untuk menyedot air,” katanya.
Terlepas dari sejumlah kendala itu, pemanfaatan listrik dan teknologi digital di sektor pertanian berdampak positif bagi para petani. Berdasarkan laporan McKinsey pada 2020, pemanfaatan teknologi digital di sektor pertanian di Indonesia dapat meningkatkan output ekonomi hingga 6,6 miliar dollar AS per tahun.
Teknologi digital itu tidak hanya berperan untuk meningkatkan pertanian presisi penopang produktivitas hasil pertanian. Teknologi tersebut juga dapat mengintegrasikan rantai pasok dan manajemen data, serta membuka akses pasar, informasi, dan keuangan digital.
Penerapan teknologi digital di sektor petanian juga mampu menjaga regenerasi petani. Di Bali, sekitar 200 pemuda menjadi anggota aktif PMK Bali. Mereka bergerak dari hulu hingga hilir, termasuk dalam penerapan teknologi perawatan tanaman hingga ke pemasaran digital.
Tak tinggalkan tradisi
Penggunaan IoT di Desa Gobleg merupakan kerja sama kelompok tani dengan sejumlah mahasiswa Program Studi Teknik Elektro (PSTE) Fakultas Teknik (FT) Universitas Udayana, Bali. Idenya tercetus dari persoalan mendasar petani di Bali.
Gede Suardita menuturkan, petani di Bali masih memegang teguh aturan adat desa masing-masing. Mereka memprioritaskan mengikuti kegiatan-kegiatan adat dan upacara keagamaan ketimbang bertani.
”Di saat ada acara pernikahan adat, misalnya, petani akan meninggalkan pekerjaannya di kebun. Namun dengan penerapan IoT, mereka tetap bisa merawat tanaman di sela-sela acara tersebut tanpa harus meninggalkan tempat acara,” tuturnya.
Setelah mengenal IoT, petani juga tidak meninggalkan tradisi pertanian setempat dan tetap menjunjung tingga kearifan lokal. Sebab, metode smart farming hanya diterapkan pada fase perawatan tanaman hingga menjelang panen dan pada tahap pemasaran.
”Para petani di Desa Gobleg masih mempraktikkan subak dan ngayah atau gotong royong mengatur irigasi dan membuka lahan pertanian. Tetap ada mekanisasi pengolahan pertanian yang kami lakukan,” ujar Gede Suardita.