Inflasi tercatat kian melandai. Para penjual eceran yang disurvei Bank Indonesia juga memprediksi tekanan inflasi masih terus menurun.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tekanan inflasi diperkirakan terus menurun. Hal ini dikarenakan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada September 2022 kian berkurang. Selain itu, koordinasi pemerintah untuk mengendalikan inflasi telah menunjukkan hasil. Kendati demikian, semua pemangku kepentingan tetap perlu mewaspadai lonjakan inflasi akibat kegagalan panen karena efek El Nino.
Mengutip Indeks Ekspektasi Harga (IEH) hasil survei Bank Indonesia (BI), responden memperkirakan tekanan inflasi pada Juli 2023 berada di level 118,5, lebih rendah dari Juni 2023 pada level 124,5. Adapun tekanan inflasi Oktober 2023 pada level 121,6, relatif stabil dibandingkan dengan September 2023 yang di level 121,5.
”Tekanan harga yang terjaga tersebut didukung oleh ketersediaan pasokan dan kelancaran distribusi barang,” ujar Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam keterangannya, Selasa (13/6/2023).
IEH merupakan bagian dari Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dilakukan BI. Adapun SPE merupakan survei bulanan terhadap lebih dari 700 pengecer di 10 kota yang bertujuan untuk memperoleh informasi dini mengenai pergerakan produk domestik bruto (PDB) dari sisi konsumsi.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengatakan, tekanan inflasi memang terus melandai. Hal ini tecermin dari inflasi Mei 2023 yang sebesar 4,00 persen secara tahunan. Tingkat inflasi itu lebih rendah ketimbang April 2023 yang sebesar 4,33 persen.
”Berkaca dari perkembangan inflasi yang terus melandai, maka tidak mengherankan ekspektasi inflasi pada Juli akan terus menurun dibandingkan Juni,” ujar Josua saat dihubungi, Selasa (13/6/2023).
Josua menambahkan, menurunnya tekanan inflasi antara lain merupakan buah dari kerja Tim Pengendali Inflasi Pusat dan Daerah yang mengoordinasikan upaya pengendalian inflasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta kementerian dan lembaga. Hal itu juga buah dari kerja Gerakan Nasional Pengendali Inflasi Pangan (GNPIP).
Koordinasi ini memungkinkan pendataan dan deteksi daerah-daerah yang kelebihan pasokan pangan dan daerah yang kekurangan pasokan pangan. Dengan demikian, ada koordinasi untuk memberikan pasokan pangan dari daerah berlebih pasokan ke daerah yang kekurangan. Hal ini mengurangi ketimpangan pasokan dan permintaan sehingga inflasi bisa terkendali.
Selain itu, lanjut Josua, terus melandainya inflasi karena dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada September 2022 juga terus menyusut. Harga barang dan jasa sudah mencapai titik keseimbangan baru sehingga tidak ada lagi lonjakan harga yang signifikan sebagai dampak dari kenaikan harga BBM.
Josua mengatakan, tingkat inflasi Mei turun lebih cepat daripada dugaan. Sebelumnya, pihaknya memperkirakan inflasi berada di bawah 4 persen atau kembali ke rentang target BI dan pemerintah, yakni 2-4 persen pada September 2023. Namun, ternyata pada Mei tingkat inflasi sudah 4 persen. Apabila tidak ada kejadian signifikan, inflasi akan berada di bawah 4 persen pada Juni ini.
Lebih lanjut inflasi pada September 2023 dan Oktober 2023 akan turun lebih jauh karena faktor perhitungan pembanding yang tinggi (high based effect). Seperti diketahui, pada September 2022 pemerintah menaikkan harga BBM sehingga inflasi saat itu mencapai 5,95 persen dan inflasi Oktober 2022 mencapai 5,71 persen. Dengan faktor perhitungan pembanding yang besar, hasil perhitungan inflasi September dan Oktober tahun ini akan jauh berkurang.
Senada dengan Josua, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengatakan, inflasi turun lebih cepat dibandingkan perkiraan awal. Hal ini dipicu berbagai faktor, di antaranya harga minyak dunia yang kian melandai. Penurunan harga ini membuat harga jual BBM juga turun dan ongkos produksi manufaktur bisa ikut turun.
Selain itu, kurs rupiah yang telah menguat 4-5 persen sejak awal tahun kini relatif stabil di kisaran Rp 14.800-Rp 15.000. Ini membuat inflasi barang impor (imported inflation) ikut melandai.
”Dengan tren inflasi yang terus melandai, kami memperkirakan inflasi akhir tahun ini bisa di kisaran 2-3 persen. Perkiraan ini dengan asumsi tidak ada faktor lain tak terduga yang tiba-tiba muncul dan mengerek naik inflasi,” ujar David.
El Nino
Kendati demikian, baik David maupun Josua berpendapat, seluruh pemangku kepentingan tetap perlu mewaspadai lonjakan inflasi dari datangnya El Nino. Kondisi cuaca ini diperkirakan menciptakan kemarau panjang yang bisa menyebabkan gagal panen. Ini bisa mengganggu pasokan pangan sehingga bisa memicu inflasi dari faktor harga pangan.
Adapun komoditas yang harganya berpotensi naik seperti beras dan cabai. Dampak juga akan merambat ke komoditas pangan lainnya, seperti daging ayam, telur, dan daging sapi. Menurut Josua, GNPIP perlu benar-benar berupaya untuk menjaga pasokan daerah yang berkekurangan sehingga tidak terjadi lonjakan inflasi dari faktor harga pangan.
Terkait harga pangan, menurut Josua, tidak ada faktor lain yang bisa mengerek lonjakan inflasi secara signifikan. Mengingat tahun ini menjadi masa persiapan menjelang tahun politik 2024, pemerintah diperkirakan cenderung mengeluarkan kebijakan populis, tidak akan menaikkan harga BBM, listrik, dan lain-lain. Ini artinya tidak akan ada lonjakan inflasi dari faktor harga yang diatur pemerintah (administered price).