UU Cipta Kerja Jadi Bahasan Konferensi Buruh Internasional
Penolakan kelompok pekerja terhadap keberadaan UU Cipta Kerja masih tetap terjadi. Mereka memasukkan penolakan tersebut ke dalam agenda Konferensi Perburuhan Internasional 2023.
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Penjual minuman menawarkan minuman kepada buruh yang berunjuk rasa menunggu hasil putusan sidang Mahkamah Konstitusi terkait UU Cipta Kerja di Jakarta, Kamis (25/11/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Cipta Kerja menjadi salah satu agenda pembahasan sidang Konferensi Perburuhan Internasional 2023. Hal ini merupakan bagian dari upaya kelompok pekerja yang tetap menolak keberadaan perundang-undangan tersebut karena dianggap tidak berpihak pada tenaga kerja.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) yang tergabung dalam International Trade Union Conderation (ITUC) berhasil memasukkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (sekarang UU Nomor 6 Tahun 2023) ke agenda Sidang Konferensi Perburuhan Internasional 2023. Konferensi ini berlangsung 5- 16 Juni 2023 dan dihadiri oleh seluruh negara anggota Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), di Geneva, Swiss.
Kedua konfederasi menilai, secara prinsip UU Cipta Kerja melanggar Konvensi ILO Nomor 98 dan Konvensi ILO Nomor 87 mengenai hak berserikat dan berunding bersama. Laporan ini telah dibahas saat Sidang Konferensi Perburuhan Internasional 2023, Kamis (8/6/2023) waktu Geneva.
”Kami menilai UU Cipta Kerja melanggar kedua konvensi ILO itu karena implementasi hak berserikat dikebiri, alih daya berpotensi berlangsung seumur hidup, dan pembahasan UU Cipta Kerja tidak melibatkan serikat pekerja,” ujar Presiden KSPI Said Iqbal, akhir pekan lalu, di Jakarta.
Dia mengatakan, untuk bisa masuk menjadi agenda dalam sidang tidak gampang. Kelompok pengusaha, ITUC, dan pemerintah bisa tarik-menarik pendapat.
Keputusan Sidang Konferensi Perburuhan Internasional 2023 terhadap UU Cipta Kerja akan diumumkan Rabu (14/6/2023). Jika sidang memutuskan ada tindak lanjut, akan ada tim pencari fakta dari ILO ke Indonesia. Namun, kemungkinan lainnya adalah sidang memutuskan tidak menindaklanjuti.
”Apabila keputusan sidang adalah ada tindak lanjut, konsekuensi yang mungkin muncul adalah investor akan melihat kembali hukum ketenagakerjaan di Indonesia,” kata Said.
Selain membawa ke Sidang ILO, berbagai serikat pekerja/buruh, termasuk KSPI, telah resmi mengajukan uji formil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Alasan menggugatnya pun sama, kluster ketenagakerjaan yang ada di UU Cipta Kerja dinilai tidak melibatkan pekerja dalam pembahasan. Beberapa substansi, seperti tidak adanya pembatasan jelas pekerjaan alih daya dalam UU, diyakini akan merugikan pekerja.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Tulisan yang berisi kritik terhadap kebijakan pemerintah ditempelkan pada pagar bersamaan dengan peringatan Hari Buruh Internasional di depan kantor DPRD Jawa Tengah, Kota Semarang, Senin (1/4/2023).
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, M Hadi Subhan, saat dihubungi Minggu (11/6/2023), dari Jakarta, berpendapat, upaya memasukkan UU Cipta Kerja ke agenda Sidang Konferensi Perburuhan Internasional 2023 merupakan strategi serikat pekerja untuk membuat tekanan terhadap kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia. Risiko atas hal itu dia nilai tidak akan signifikan.
”Keputusan Sidang Konferensi Perburuhan Internasional bukan keputusan lembaga peradilan internasional yang dapat dieksekusi. Sifatnya hanya rekomendasi,” ujarnya.
Lain cerita dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. Menurut Hadi, apabila Mahkamah Konstitusi menolak gugatan uji formil UU Cipta Kerja, maka seluruh elemen bangsa wajib mematuhi, tidak terkecuali kalangan buruh. Begitu pula jika kondisi sebaliknya yang terjadi.
Dia menambahkan, ada dua hal yang perlu dilakukan oleh serikat pekerja/buruh seandainya Mahkamah Konstitusi benar-benar menolak uji formil UU Cipta Kerja. Pertama, mereka harus mengawal pembuatan peraturan pelaksana sehingga tidak menambah kondisi yang merugikan mereka.
Kedua, mereka perlu mengawal pelaksanaan UU Cipta Kerja secara konsisten. Sebab, menurut Hadi, tidak semua substansi di dalam UU itu jelek. Salah satunya adalah program jaminan kehilangan pekerjaan.
Sementara dosen Hukum Perburuhan Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa, menjelaskan, di dalam ILO terdapat komite ahli yang bertugas melihat apakah suatu negara telah patuh terhadap Konvensi ILO. Ini terutama berlaku bagi negara yang sudah meratifikasi.
”Apakah hasil Sidang Konferensi Perburuhan Internasional akan efektif dalam hal akan berpengaruh langsung, saya sangsi. Pengaruh maksimal mungkin akan berupa tekanan internasional yang akan membuat pemerintah suatu negara (yang digugat) akan berpikir ulang mengenai regulasi yang dibuat,” ujar Nabiyla.