Belum Lewat Bursa, Transaksi Perdagangan Karbon Akan Berlangsung Tertutup
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, transaksi perdagangan karbon akan berlangsung secara tertutup antarpengusaha PLTU batubara. Ada kekhawatiran ini akan memicu transaksi fiktif tanpa realisasi.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan keterangan kepada wartawan seusai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (30/5/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Perdagangan karbon di Indonesia belum melalui bursa karbon, tetapi lewat aplikasi penghitungan dan pelaporan emisi gas rumah kaca, Apple Gatrik. Transaksinya juga dilakukan secara tertutup antarpengusaha pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batubara. Skema tersebut dinilai bisa memicu transaksi fiktif dan menghambat upaya edukasi masyarakat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, sebanyak 99 PLTU batubara akan mengikuti perdagangan karbon pada 2023. Jumlah itu setara dengan 33.565 megawatt atau 86 persen dari total kapasitas PLTU di Indonesia. Faktor jumlah karbon dioksida ekuivalen (CO2e) setiap PLTU akan dimasukkan secara bertahap dalam sistem perdagangan karbon.
”Saat ini, sistem perdagangan karbon baru diterapkan di sektor energi. Para pengusaha PLTU akan melakukan trading melalui Apple Gatrik, belum melalui bursa karbon. Mereka juga akan melaksanakan transaksi secara tertutup,” ujarnya dalam webinar Green Economy Forum 2023 yang diselenggarakan Bisnis Indonesia, di Jakarta, Selasa (6/6/2023).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada Rabu (3/5), seusai rapat tertutup di Istana Merdeka, menyebut bahwa perdagangan karbon akan dilaksanakan di bursa karbon Indonesia. Selain energi, perdagangan karbon juga akan melibatkan sektor kehutanan dan industri.
Menurut Sri Mulyani, sistem perdagangan karbon, termasuk penerapan pajak karbon Rp 30.000 per ton CO2e, di Indonesia akan diterapkan secara bertahap dan hati-hati. Hal ini untuk menghindari dampak negatif dari setiap instrumen sehingga perekonomian Indonesia dapat terus berlanjut, baik dari sisi pertumbuhan, stabilitas, maupun transformasi.
Perdagangan karbon juga diharapkan mampu mengembangkan mekanisme pembayaran inovatif. Hal ini dapat dicapai dengan mempertimbangkan reaksi masyarakat ketika perdagangan karbon diterapkan. Karena itu, inovasi dibutuhkan untuk mengembangkan pasar karbon Indonesia agar semakin dikenal secara luas, dikelola secara transparan, dan banyak pelaku ekonomi yang berpartisipasi.
Kemenkeu untuk menerapkan pajak karbon membutuhkan platform itu. Jadi, transaksinya jelas siapa yang bayar, berapa jumlahnya, sehingga terekam dan tercatat. Kalau tertutup, siapa yang mengukur dan mencatat?
”Pemerintah sudah membentuk lembaga untuk mengelola dan mengenalkan pasar karbon nasional dan pasar karbon dunia pada akhirnya,” ucap Sri Mulyani.
Salah satu lembaga itu adalah Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang dikelola bersama oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain itu, SDG Indonesia One yang dikelola PT Sarana Multi Infrastruktur, di bawah kendali Kemenkeu, dan Indonesia Investment Authority (INA).
Perdagangan karbon merupakan respons terbitnya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Dalam hal ini, pemerintah menyiapkan dua instrumen ekonomi pasar melalui perdagangan dan nonperdagangan.
Adapun perdagangan dengan memanfaatkan nilai ekonomi karbon yang bersifat mandatory dan offset. Sementara nonperdagangan diterapkan melalui result based payment atau insentif yang diberikan bagi perusahaan tertentu yang berhasil menurunkan emisinya.
Polusi udara menyelimuti gedung bertingkat di Jakarta, Senin (5/6/2023). Polusi udara menjadi masalah bersama yang mengancam kesehatan, bahkan menjadi pemicu kematian, selain juga masalah perekonomian.
Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, perdagangan karbon berkaitan dengan kepentingan publik yang luas. Karena itu, penerapannya perlu melalui bursa karbon Indonesia agar seluruh transaksi dapat terekam dengan baik.
Mekanisme penjualan karbon di pasar membutuhkan fasilitas bursa karbon, seperti saham, tetapi yang diperdagangkan adalah kredit karbon. Dalam bursa saham, misalnya, ada semacam platform (settlement) yang bertanggung jawab untuk transparansi seluruh transaksi sehingga dapat terlihat dan terekam.
”Kemenkeu untuk menerapkan pajak karbon membutuhkan platform itu. Jadi, transaksinya jelas siapa yang bayar, berapa jumlahnya, sehingga terekam dan tercatat. Kalau tertutup, siapa yang mengukur dan mencatat?” tutur Komaidi.
Perdagangan karbon secara tertutup juga menghambat akses publik. Hal ini bertentangan dengan strategi transisi energi untuk menurunkan emisi yang perlu melibatkan masyarakat secara luas, termasuk upaya edukasi.
Meski perdagangan karbon tertutup merupakan tahap awal, lanjut Komaidi, sebaiknya platform transaksi sudah mapan dan digunakan. Sebab, keterbukaan informasi dibutuhkan untuk menghindari transaksi karbon fiktif. ”Jangan sampai transaksi (karbon)-nya ada, tetapi realisasi lapangannya tidak ada,” ujarnya.