Persaingan di Asia Tenggara Kian Sengit, Pemerintah: Gagal Bukan Pilihan
Pangsa pasar otomotif Indonesia merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Peluang itu perlu ditransformasi menuju ekosistem kendaraan listrik. Harapannya, Indonesia bisa mendapatkan manfaat dari tren kendaraan listrik.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Layanan pembiayaan kendaraan listrik oleh salah satu bank dalam pameran kendaraan listrik Periklindo Electric Vehicle Show (PEVS) di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Jumat (22/7/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Persaingan memperebutkan investasi, pasar, dan pusat manufaktur kendaraan listrik antarnegara di kawasan Asia Tenggara dinilai semakin sengit. Dengan segenap potensi dan sumber daya yang ada, Indonesia memanfaatkan peluang emas dan berambisi menjadi pusat kendaraan listrik dunia.
”Gagal (menjadi pusat manufaktur kendaraan listrik) bukan pilihan. Jika gagal, Indonesia hanya menjadi pasar saja, bukan produsen,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin dalam diskusi panel bertajuk ”Kebijakan Percepatan Adopsi EV Guna Mendukung Keberlangsungan Industri Otomotif di Era Transisi Energi” yang digelar Kemenko Kemaritiman dan Investasi di Jakarta, Rabu (31/5/2023).
Rachmat mengatakan, pasar kendaraan listrik terus meningkat seiring kebutuhan global untuk transportasi yang lebih ramah lingkungan. Ini dinilai sebagai peluang emas bagi Indonesia untuk bisa menjadi mitra perusahaan kendaraan listrik dunia, khususnya sebagai pusat manufaktur. ”Jangan sampai jutaan lapangan kerja dari industri otomotif Indonesia terancam karena negara terlambat melakukan transformasi industri,” ujarnya.
Mengutip data Federasi Otomotif ASEAN 2022, Indonesia merupakan pasar otomotif terbesar di kawasan Asia Tenggara, yakni dengan penjualan mobil mencapai 1,04 juta unit per tahun dan sepeda motor 5,22 juta unit per tahun. Jumlah itu lebih tinggi ketimbang penjualan mobil di Thailand (849.000 unit per tahun) atau Malaysia (720.000 unit per tahun). Selain itu, penjualan sepeda motor Indonesia juga lebih tinggi ketimbang Vietnam (3 juta unit per tahun) atau Thailand (1,79 juta per tahun).
Untuk menjadi pusat manufaktur kendaraan listrik dunia, kata Rachmat, sejumlah strategi harus dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan perusahaan kendaraan listrik dalam mengambil keputusan strategi bisnis ke depan. Contohnya, pemotongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen sehingga pengguna mobil listrik hanya perlu membayar 1 persen. Selain itu, subsidi Rp 7 juta per unit sepeda motor listrik, baik yang dibeli maupun dikonversi.
Strategi itu juga sudah diterapkan di sejumlah negara Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Thailand, pesaing utama kendaraan listrik bagi Indonesia. Untuk mobil listrik, misalnya, Malaysia menerapkan pajak bea masuk, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), hingga PPN sebesar nol persen serta pemberian insentif tunai sebesar 560 dollar AS. Sementara Thailand menerapkan pajak bea masuk nol persen, PPnBM 2 persen, PPN 7 persen, dan pemberian insentif tunai 2.032 dollar AS.
Banyak negara berlomba-lomba untuk mengundang OEM ( original equipment manufacturer) untuk membangun industri di negara mereka. Sebab, kalau tidak dipilih sebagai yang pertama, mungkin harus menunggu 5-10 tahun ke depan.
Mengutip laporan BloombergNEF, kata Rachmat, penjualan mobil listrik akan tumbuh pesat setelah melalui titik kritis 5-10 persen. Setelah melampaui angka itu, adopsi kendaraan listrik akan lebih cepat akibat efek berganda (multiplier effect) dari pengadopsi dini. Bagi industri manufaktur, ketika penjualan kendaraan listrik telah mencapai 10 persen dari total, maka penjualan dapat naik tiga kali lipat.
Saat ini, sudah ada dua perusahaan mobil listrik yang beroperasi dan membangun pabrik di Indonesia, yakni Wuling dan Hyundai. Sementara negara di Asia Tenggara lain, seperti Vietnam, membangun pabrik sendiri yaitu Vinfast, sedangkan Malaysia juga ada dua perusahaan mobil listrik yang telah beroperasi, yakni Mercedes-Benz dan Volvo. Di sisi lain, Thailand sudah ada tiga perusahaan mobil listrik, yakni BYD, Mitsubishi Motors, dan Horizon.
”Indonesia juga telah berupaya melobi perusahaan kendaraan listrik untuk berinvestasi dan membangun pabrik di Indonesia. Hal ini yang ditanggapi serius dan diharapkan dapat terus bertambah,” kata Rachmat.
Indonesia membuka keran investasi besar-besaran bagi perusahaan mobil listrik, khususnya dengan produk seharga Rp 300 juta-Rp 600 juta per unit. Sebab, mobil listrik yang tersedia di Indonesia didominasi harga Rp 100 juta-Rp 300 juta (low-end) dan Rp 600 juta-Rp 900 juta (high-end). Dengan begitu, masih tersedia banyak ruang investasi untuk jenis menengah.
Menurut Managing Director and Senior Partner Boston Consulting Group (BCG) Yulius, industri otomotif saat ini sedang mengalami peluang transformasi generasi yang datang sekali dalam waktu tiga puluh tahun. Kondisi ini memaksa produsen mobil untuk mengganti secara radikal jenis dari BBM ke listrik.
”Banyak negara berlomba-lomba untuk mengundang OEM (original equipment manufacturer) untuk membangun industri di negara mereka. Sebab, kalau tidak dipilih sebagai yang pertama, mungkin harus menunggu 5-10 tahun ke depan,” kata Yulius.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menambahkan, untuk menarik investasi pada kendaraan listrik diperlukan permintaan pasar yang mumpuni. Saat ini, permintaan kendaraan listrik di Indonesia masih kecil. Hal ini dapat diartikan sebagai sinyal bahwa masih ada ruang untuk permintaan kendaraan listrik bertumbuh.