Pengakhiran PLTU Batubara Butuh Titik Temu Pengusaha dan PLN
Dalam rencana pengakhiran lebih dini operasi PLTU di Indonesia sebaiknya tidak merugikan salah satu pihak. Produsen listrik swasta dan PLN harus sama-sama untung dan tidak mengganggu program elektrifikasi.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Suasana malam hari di kawasan PLTU Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Selasa (29/3/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Titik temu antara pengusaha atau produsen listrik swasta dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dibutuhkan untuk mengakselerasi pengakhiran dini pembangkit listrik tenaga uap batubara. Upaya transisi energi yang kini diperjuangkan dianggap perlu menguntungkan seluruh pihak, tanpa terkecuali. Hingga kini, pembahasan mengenai pengakhiran pembangkit batubara masih proses finalisasi.
Pengakhiran dini operasi PLTU batubara yang diikuti pengembangan energi terbarukan penting dalam upaya mencapai target emisi nol bersih (net zero emission/NZE) 2060. Juga dalam rangka mengejar target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang mengatakan, struktur pasar kelistrikan Indonesia adalah single buyer. Para produsen listrik swasta berkontrak jual-beli listrik (power purchase agreement/PPA) dengan PLN.
”Dalam struktur pasar monopolistik seperti ini, permasalahan dapat muncul pada saat implementasi pendanaan,” ujarnya dalam diskusi panel pemaparan hasil studi Institute for Essential Services Reform (IESR) mengenai biaya, keuntungan, dan implikasi dari intervensi 13,8 gigawatt proyek PLTU batubara. Hasil studi tersebut dipaparkan di Jakarta, Selasa (30/5/2023).
Pendanaan yang dimaksud mekanisme transisi energi (energy transition mechanism/ETM) dari program Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Just Energy Transition Partnership (JETP). Pendanaan tersebut akan diterima produsen listrik swasta dalam bentuk debt to equity yang dibagi untuk penurunan emisi karbon dan pengembangan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT).
Produsen listrik swasta ingin return of investment (ROI)—rasio uang yang diperoleh atau hilang dalam investasi—pengakhiran PLTU batubara tidak merugikan. Arthur melanjutkan, syarat mutlak yang diterima produsen listrik swasta adalah realisasi pendanaan ETM dan JETP yang membuat biaya pengakhiran PLTU batubara lebih terjangkau.
Melihat potensi besar tersebut, APLSI berharap strategi pengakhiran PLTU batubara bisa melahirkan solusi menyeluruh. Misalnya, ketika produsen listrik swasta ingin mengembangkan pembangkit listrik EBT-nya, untuk menerima pendanaan tidak perlu melalui mekanisme tender (lelang).
”Kalau bicara soal pengakhiran PLTU batubara, para produsen listrik swasta ini bukan pemain baru. Kami ingin mengakhiri PLTU batubara, bukan mengakhiri bisnis energi. Ini kuncinya,” kata Arthur.
Pengembangan pembangkit listrik EBT juga perlu disesuaikan dengan kondisi geografis tiap daerah. Hal ini untuk menciptakan keterjangkauan dan bisa bersifat base load–beroperasi terus-menerus–dalam pembangunan pembangkit listrik EBT.
Prospek pembangkit listrik EBT, kata Arthur, berpeluang besar dibangun di daerah luar Pulau Jawa dan Bali. Dia memproyeksikan potensi bauran energi di Jawa dan Bali hanya mampu mencapai 16-17 persen. Sementara itu, untuk wilayah luar Jawa dan Bali dapat mencapai 50 persen. Total investasi bagi pihak swasta hingga 2060 diperkirakan 20 juta-40 juta dollar AS atau Rp 299,3 miliar-Rp 598,6 miliar.
Melihat potensi besar tersebut, APLSI berharap strategi pengakhiran PLTU batubara bisa melahirkan solusi menyeluruh. Misalnya, ketika produsen listrik swasta ingin mengembangkan pembangkit listrik EBT-nya, untuk menerima pendanaan tidak perlu melalui mekanisme lelang.
Suasana diskusi panel pemaparan hasil studi Institute for Essential Services Reform (IESR) mengenai biaya, keuntungan, dan implikasi dari intervensi 13,8 gigawatt proyek PLTU batubara. Hasil studi tersebut dipaparkan di Jakarta, Selasa (30/5/2023).
”Dengan (pelonggaran) begitu, kami dapat tetap berbisnis dan berpartisipasi dalam proyek selanjutnya,” ungkap Arthur.
Direktur Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Gigih Udi Atmo menuturkan, pengakhiran PLTU batubara perlu melihat PPA atau kontrak yang telah disepakati PLN dan swasta. Pada PLTU berkapasitas lebih dari 600 megawatt umumnya mendapatkan pendanaan internasional sehingga hal itu juga perlu dipertimbangkan.
Pada kesempatan itu, Gigih juga menyinggung Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Aturan itu bisa menjadi pintu masuk perumusan strategi pengakhiran PLTU batubara.
”Saat ini kami sedang menyusun input yang diterima. Sebagian sudah dari PLN, tinggal menunggu input lainnya. Awal Juni akan dibahas bersama. Tentu, kami ingin hasilnya nanti akan berbentuk keputusan menteri,” katanya.