Pembatalan Proyek PLTU Batubara Bisa Jadi Opsi Penurunan Emisi Termurah
Proyek 13,8 gigawatt PLTU batubara masih berlangsung dari 2021-2030. Pembatalan sejumlah proyek, menurut kalkulasi, menjadi pilihan termurah untuk menurunkan emisi.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Foto udara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Ropa di Desa Keliwumbu, Kecamatan Mourole, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Kamis (7/10/2021).
JAKARTA, KOMPAS – Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik atau RUPTL PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) masih mengakomodasi 13,8 gigawatt proyek pembangkit listrik tenaga uap dari batubara. Pembatalan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap sebesar 2,9 gigawatt di antaranya dapat menjadi opsi termurah dalam menekan emisi gas rumah kaca. Kendati begitu, pembatalan proyek tidak semudah yang dibayangkan.
Hal itu mengemuka dalam hasil studi terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) mengenai biaya, keuntungan, dan implikasi dari intervensi 13,8 gigawatt (GW) proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Hasil studi tersebut dipaparkan di Jakarta pada Selasa (30/5/2023).
Studi menggunakan analisis multikriteria dengan data serta informasi yang bisa diakses publik dan pengamatan citra satelit. Kriteria itu di antaranya status proyek, pemilik dan kondisi sistem, rencana operasi (commercial operation date/COD), hingga capaian pembangunan proyek PLTU batubara.
Proyek 13,8 GW kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori yakni proyek bernilai tinggi (2,92 GW), proyek bernilai sedang (0,2 GW), dan proyek bernilai rendah (10,6 GW). Proyek bernilai tinggi dapat dilakukan pembatalan dengan pertimbangan ketidakjelasan capaian perkembangan, baik secara progres maupun status. Sementara proyek bernilai sedang dan rendah dapat diberlakukan opsi penghentian operasi lebih dini setelah 20 tahun beroperasi.
Peneliti senior IESR, Raditya Wiranegara, menjelaskan, pembatalan sejumlah proyek PLTU batubara diperkirakan hanya membutuhkan 2,7 miliar dollar AS atau Rp 40,4 triliun. Jumlah ini lebih rendah ketimbang membatalkan serta menghentikan operasi lebih dini PLTU batubara yang membutuhkan 5,4 miliar dollar AS atau Rp 80,9 triliun.
Jika dikonversi dengan tingkat penurunan emisi, pembatalan proyek PLTU hanya berbiaya Rp 7.793-Rp 11.990 per ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Sementara pembatalan beserta "pensiun" dini PLTU batubara berbiaya Rp 37.769-Rp 58.752 per ton CO2e. Nilai yang dikeluarkan berasal dari biaya yang dihitung berdasarkan status proyek hingga kini. Sementara emisi dihitung dari produksi CO2e jika PLTU batubara beroperasi hingga 2050.
Pemerintah pasti mendukung upaya ini (pembatalan dan pensiun dini PLTU batubara), sebagaimana kami mendukung pengakhiran operasi PLTU batubara yang sudah ada (eksisting). Kami akan mencari caranya (Dadan Kusdiana).
”Meskipun begitu, membatalkan beserta memensiunkan dini PLTU batubara sebesar 13,8 GW tetap yang paling efektif dalam menurunkan emisi, khususnya untuk jangka panjang,” ujar Raditya.
Pembatalan rencana pembangunan PLTU batubara dinilai bermanfaat bagi tujuan pemerintah untuk mencapai penurunan emisi hingga 290 ton CO2e pada 2030. Sebagai informasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, sebesar 67 persen pasokan listrik nasional pada 2022 berasal dari PLTU batubara dengan kapasitas total 44,6 GW. Merujuk RUPTL 2021-2030, jumlah itu akan ditambah sebanyak 13,8 GW.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana memaparkan pandangannya mengenai studi terbaru oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) mengenai biaya, keuntungan, dan implikasi dari intervensi 13,8 gigawatt (GW) proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Hasil studi tersebut dipaparkan di Jakarta, Selasa (30/5/2023).
Pada bagian hasil dan kesimpulan, IESR merekomendasikan agar PLN mengkaji secara menyeluruh status proyek PLTU batubara. Dengan demikian, proyek yang mencapai financial close bisa tidak dilanjutkan. Pembukaan informasi kejelasan status proyek PLTU batubara juga dapat dimanfaatkan pemerintah untuk memobilisasi dukungan publik dan manfaat yang bisa diterima.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menambahkan, pihaknya akan menindaklanjuti hasil studi tersebut ke Kementerian ESDM dan PLN. Hal ini diharapkan dapat menjadi referensi pemerintah dalam mengambil keputusan yang tepat untuk transisi energi.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengapresiasi studi yang dilakukan IESR itu. Menurut dia, hasil studi ini sudah tepat, baik dari perspektif waktu dan substansi. Sebab, studi tersebut dapat memangkas durasi diskusi RUPTL PLN yang tergolong alot.
Dia menjelaskan, dari 13,8 GW yang tertuang dalam RUPTL 2021-2030, sebanyak 4,6 GW telah beroperasi (COD); 6,7 GW masih dalam proses konstruksi; 0,6 GW berstatus perencanaan; 0,6 GW berstatus pengadaan; dan 1,3 GW telah diputus kontraknya (terminasi). PLTU batubara yang berstatus perencanaan dan pengadaan tergolong aman untuk dibatalkan pembangunannya. Untuk yang masih dalam tahap konstruksi perlu dilihat terlebih dahulu progresnya.
”Pemerintah pasti mendukung upaya ini (pembatalan dan pensiun dini PLTU batubara), sebagaimana kami mendukung pengakhiran operasi PLTU batubara yang sudah ada. Kami akan mencari caranya,” kata Dadan.
Meskipun demikian, dia menilai baik PLN maupun produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) tidak akan membuka diskusi apa pun. Sebab, diskusi akan dipandang sebagai upaya pelanggaran kesepakatan yang telah ada.