Perlu Ada Penyelesaian yang "Fair" terkait Blok Masela
Proyek Blok Masela belum juga berjalan setelah Shell, sebagai mitra Inpex, menyatakan mundur pada 2020, tetapi masih memegang hak partisipasi. Negosiasi Shell dengan Pertamina disebut berjalan mandek.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
DOKUMENTASI SKK MIGAS UNTUK KOMPAS
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan dan Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri (METI) Jepang Hiroshige Seko, serta CEO sekaligus Presiden Direktur INPEX Corporation Takayuki Ueda menyaksikan Kepala Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto dan President Direktur INPEX Indonesia Shunichiro Sugaya menandatangani dokumen head of agreement atau HOA mengenai pengembangan lapangan hulu migas Abadi di Blok Masela, Maluku. Penandantanganan berlangsung di Jepang, Minggu (16/6/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan proyek hulu migas Blok Masela di Maluku belum menemui titik terang sering alotnya negosiasi pelepasan hak partisipasi Shell, yang menjadi mitra Inpex di proyek itu. Situasi itu merugikan citra Indonesia. Perlu ada penyelesaian yang adil agar tak jadi preseden buruk bagi pengelolaan hulu migas di Indonesia.
Pemerintah saat ini tengah mencari pengganti Shell, pemilik 35 persen saham di Blok Masela bersama Inpex yang memiliki 65 persen saham, yang memutuskan hengkang pada 2020. PT Pertamina (Persero) pun menjadi calon kuat untuk membeli saham Shell tersebut, tetapi negosiasi berjalan alot dan belum ada titik terang.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif di Jakarta, Jumat (26/5/2023), mengaku geram dengan situasi saat ini. Pasalnya, dengan semakin mundurnya rencana pengelolaan Blok Masela, Indonesia yang dirugikan. Pihaknya mengkaji kemungkinan blok itu dikembalikan ke negara dan dilelang ulang tahun depan.
Arifin mengingatkan, dalam rencana pengembangan (plan of development/POD) lapangan yang disetujui pada 2019, ada persyaratan bahwa proyek harus berjalan dalam lima tahun. Apabila pada 2024 belum juga ada kejelasan, blok itu bisa kembali ke negara.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (28/5/2023) mengatakan, memang perlu dilihat hak dan kewajiban para pihak, termasuk Shell yang memiliki hak partisipasi (participating interest/PI). Pemerintah perlu memperhatikan bagaimana nasibnya ke depan.
”Kan (hak pemegang PI) tidak mungkin hangus juga. Artinya, mereka harus juga mendapat pengembalian. Perlu ada penyelesaian yang fair dalam konteks bisnis, baik terhadap Shell maupun Inpex. Sebab, ini akan menjadi preseden untuk pengelolaan hulu migas di Indonesia,” ujar Komaidi.
Apabila proses pengembalian itu gagal berjalan dengan baik dan menyisakan masalah, akan menjadi menjadi catatan buruk bagi Indonesia. Pelaku usaha hulu migas lain bisa menjadikan pertimbangan kasus Blok Masela sebelum memutuskan berinvestasi di Indonesia. Terlebih, Shell merupakan salah satu pemain utama di tingkat global dalam industri tersebut.
Sementara itu, imbuh Komaidi, situasi saat ini sebenarnya tidak mendesak bagi Pertamina untuk membeli saham Shell. Bahkan, jika hingga 2024 proyek itu masih belum juga berjalan, ada potensi Pertamina mendapatkan hak pengelolaan blok yang kaya akan sumber gas bumi tersebut secara cuma-cuma.
Komaidi menambahkan, apabila persoalan pengelolaan Blok Masela, yang juga proyek strategis nasional, terus berlarut, jelas merugikan Indonesia. Misalnya, produksi migas, yang seharusnya bisa dinikmati setidaknya sejak 2027, berpotensi terus mundur.
Negosiasi mandek
Menurut Arifin, sejauh ini, Inpex masih berkomitmen untuk melaksanakan proyek itu, tetapi Shell yang menyatakan mundur pada 2020 dan belum melepas PI membuat situasi menjadi tak jelas. ”Inpex ada kesungguhannya, tetapi Shell ini sudah mundur nggak bertanggung jawab,” ucapnya.
PERTAMINA
Kegiatan hulu migas PHE Offshore North West Java di laut lepas bagian utara Jawa Barat, Jumat (10/4/2020). Anak usaha PT Pertamina (Persero) ini memilih tetap beroperasi di tengah pandemi Covid-19 yang masih terus berlangsung.
Terkait negosiasi Shell dengan Pertamina, imbuh Arifin, memang belum ada titik temu. ”Belum ketemu. Kalau yang satu ngasih harga keterlaluan dan yang satu menawarnya keterlaluan, ya, nggak ketemu,” ucapnya.
Sementara itu, pihak Shell Indonesia belum mau berkomentar terkait perkembangan pelepasan PI milik Shell di proyek Blok Masela. Pihak Shell enggan berkomentar mengenai aktivitas portofolio yang sedang berjalan.
Catatan Kompas, proyek hulu migas Blok Masela, yang kaya akan gas bumi, memang berjalan lambat dan penuh kontroversi. Ditemukan tahun 2000 oleh Inpex, Shell lalu masuk pada 2011, yang membuat komposisi saham 65 persen untuk Inpex dan 35 persen milik Shell.
POD proyek Masela sebenarnya sudah rampung pada akhir 2015. Saat itu, investor mengajukan pengembangan gas di laut lepas (offshore). Namun, ada ketidakkompakan di tubuh kabinet pemerintah terkait mana yang lebih efisien apakah offshore atau onshore (di darat). Pada akhirnya, Presiden Joko Widodo ketika itu memutuskan proyek dilaksanakan dengan skema di darat.
Revisi POD lalu disetujui pada 2019. Namun, setahun kemudian, Shell menyatakan mundur dari proyek itu, tetapi hingga kini masih tercatat sebagai pemegang 35 persen saham Blok Masela.