Pelanggan yang setia dengan jenama atau produk tertentu patut mendapatkan apresiasi yang tak boleh setengah hati dari perusahaan. Perusahaan perlu merumuskan bentuk apresiasi yang adil, terbuka, dan mudah ditebus.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Poster-poster promo menghiasi pusat perbelanjaan retail di Kota Tangerang, Banten, Senin (4/2/2019). Potongan harga dan promo beli satu gratis satu menjadi senjata bagi pusat perbelanjaan retail untuk menarik minat belanja konsumen.
Pelanggan mana yang tak senang mendapatkan poin apresiasi karena setia membeli produk dari jenama kesayangan. Poin yang diperoleh pelanggan biasanya dapat ditukar dengan promosi, diskon, hingga produk gratis. Oleh sebab itu, penting bagi pelanggan untuk menyadari bahwa penukaran poin merupakan hak konsumen yang bisa ditebus.
Sayangnya, tidak semua perusahaan memberikan kelonggaran waktu bagi pelanggan untuk menukar poin tanda kesetiaan. Apa yang terjadi apabila poin pelanggan tersebut hangus? Sejumlah perusahaan justru akan mencatatkannya sebagai pendapatan dalam laporan keuangannya. Contohnya, Starbucks Coffee Company di skala mancanegara yang berkantor pusat di Amerika Serikat (AS). Perusahaan tersebut telah melantai di bursa saham Nasdaq dengan kode emiten SBUX.
Di kancah internasional, Starbucks menawarkan program loyalitas bagi pelanggan berbasis sistem nilai tersimpan atau poin dengan nama The Starbucks Card. Berdasarkan laporan tahunan Starbucks Coffee Company pada 2022, konsumen yang terdaftar dalam program tersebut dapat mengakses Starbucks Card lewat aplikasi ponsel untuk mengecek jumlah poin apresiasi yang diberoleh. Pelanggan pun dapat menukar poin tersebut dengan beragam benefit. Starbucks menyebut poin tersebut sebagai ‘bintang’ (stars).
Berdasarkan pantauan di laman resmi Starbucks internasional, pelanggan mesti terdaftar untuk menikmati manfaat dari program yang bersifat apresiasi atau reward tersebut. Saat mendaftar, konsumen sudah diiming-imingi kopi gratis dengan kalimat, ”Free coffee is a tap away”. Selain itu, Starbucks juga menawarkan kartu hadiah (gift cards) yang jumlah poinnya dapat dibeli dengan uang. Kalimat promosinya mengisyarakatkan nilai 1 dollar AS setara dengan 2 bintang.
Dalam laporan keuangan yang sama, Starbucks mencatatkan pendapatan konsolidasi (consolidated revenues) sebesar 32,3 miliar dollar AS sepanjang 2022. Nilai ini lebih tinggi sekitar 11 persen dari tahun sebelumnya. Dengan pendapatan konsolidasi tersebut, penghasilan bersih Starbucks (net earnings attributable to Starbucks) 3,28 miliar dollar AS. Laporan tersebut turut menyertakan pendapatan dari poin pelanggan terdaftar yang tidak ditebus atau disebut breakage revenue. Pada 2022, pendapatan tersebut bernilai 196 juta dollar AS dari toko yang dikelola langsung oleh perusahaan dan 16,7 juta dollar AS dari toko yang dikelola pemilik lisensi.
Pada pertengahan November 2022, Strategic Organizing Center (SOC) bersurat pada Komisi Sekuritas dan Bursa AS (The US Securities and Exchange Commission). Dalam suratnya, SOC yang merupakan pusat inovasi di AS yang bekerja dengan serikat pekerja meminta komisi tersebut menginvestigasi keterbukaan informasi mengenai ”breakage” dalam laporan keuangannya.
Berdasarkan data yang diolah SOC dari laporan keuangan Starbucks pada 2019-2021, rata-rata kontribusi dari poin yang tidak ditebus pelanggan terhadap penghasilan bersih perusahaan mencapai 4,2 persen per tahun. Contohnya, pada 2021, pendapatan dari poin hangus pelanggan yang berasal dari toko yang dikelola perusahaan mencapai 181,1 juta dollar AS atau 142 juta dollar AS setelah pajak. Dengan penghasilan bersih yang dibukukan sebesar 4,19 miliar dollar AS, kontribusi poin hangus mencapai 3,4 persen pada 2021.
Laporan keuangan Starbucks internasional pada 2022 menyatakan, kartu poin atau keanggotaan Starbucks Card tidak memiliki waktu kedaluwarsa. Perusahaan juga tidak membebankan biaya layanan pada anggota program. Meskipun demikian, terdapat sejumlah ketentuan mengenai penukaran poin hadiah.
Di Tanah Air, Starbucks dikelola oleh PT Sari Coffee Indonesia yang merupakan anak usaha PT Mitra Adiperkasa Tbk. Dalam laporan keuangan pada 2022, perseroan yang melantai di Bursa Efek Indonesia itu mencatatkan kupon belanja yang telah dikeluarkan dan saldo yang terdapat pada kartu Starbucks yang belum digunakan pelanggan sebagai pendapatan yang diterima di muka (unearned income). Total pendapatan tersebut mencapai Rp 508,03 miliar.
Berdasarkan pantauan di laman resmi Starbucks Indonesia, pelanggan akan mendapatkan 1 bintang ketika bertransaksi Rp 5.000 dengan menggunakan saldo dalam akun Starbucks yang telah terdaftar. Apabila menggunakan metode pembayaran lain, pelanggan mendapatkan 1 bintang ketika bertransaksi Rp 10.000. Sejumlah benefit bagi pelanggan pun memiliki periode waktu penebusan. Penebusan juga tidak dapat dilakukan apabila akun sudah tidak aktif selama setahun lebih.
KOMPAS/M PASCHALIA JUDITH J
Suasana salah satu gerai Starbucks yang berada di Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (27/5/2023)
Secara umum, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia Budihardjo Iduansjah menilai, program loyalitas pelanggan dapat menggaet konsumen untuk berbelanja secara langsung di toko fisik dan mal. ”Saat ini kami sedang mempercepat atau memperbanyak loyalty program berbasis kolaborasi antarjenama. Misalnya, berbelanja di ritel A dan potong rambut di salon B bisa mendapatkan diskon,” katanya saat dihubungi, Sabtu (27/5/2023).
Terkait program loyalitas berbasis poin, dia menyebutkan, peritel biasanya sudah mencadangkan profitnya untuk penebusan hadiah bagi pelanggan. Biasanya, peritel akan mengirimkan surat elektronik pada pelanggan untuk memberitahukan jumlah poin, waktu penukaran, dan pilihan benefit. Pelanggan juga dapat mengecek poinnya lewat aplikasi ponsel yang disediakan peritel. Namun, rasio pelanggan yang menebusnya berkisar 80 persen. Oleh sebab itu, dia berharap konsumen lebih aktif dalam mencari informasi mengenai poin program loyalitasnya.
Di sisi lain, pengamat pemasaran Managing Partner Inventure, Yuswohady, berpendapat, program loyalitas berbasis poin tidak berdampak signifikan pada intensi konsumen dalam membeli produk dari jenama yang sama. Hal itu salah satunya disebabkan oleh tidak lancarnya informasi dan komunikasi mengenai jumlah poin dan periode penukaran dari perusahaan kepada pelanggan. Padahal, penebusan poin tersebut merupakan hak konsumen.
Selain itu, lanjutnya, nilai poin yang diperoleh pelanggan relatif kecil untuk ditebus langsung. Imbasnya, mereka cenderung mengumpulkan poin terlebih dahulu. Pola pengumpulan ini yang membuat pelanggan lupa terhadap periode penukaran. ”Program loyalitas berbasis poin bersifat tidak tangible (nyata). Pelanggan lebih membutuhkan reward langsung setelah berbelanja, seperti cashback,” ujarnya saat dihubungi.
Pelanggan yang setia dengan jenama atau produk tertentu patut mendapatkan apresiasi yang tak boleh setengah hati dari perusahaan. Jika benar-benar menghargai loyalitas pelanggan, perusahaan perlu merumuskan bentuk apresiasi yang adil, terbuka, dan mudah ditebus. Sebaliknya, pelanggan mesti sadar dan mengingat untuk meminta hak atas kesetiaan mereka pada perusahaan.