Jaga Inflasi dan Stabilitas Nilai Tukar, BI Pertahankan Suku Bunga Acuan
BI kembali mempertahankan suku bunga acuan pada level 5,75 persen. Tingkat suku bunga acuan ini telah bertahan 4 bulan.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Jajaran Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) berfoto sebelum jumpa pers paparan hasil Rapat Dewan Gubernur BI, di kantor pusat BI, Jakarta, Kamis (25/5/2023). Mereka adalah (kiri ke kanan) Deputi Gubernur BI Aida S Budiman, Deputi Gubernur BI Doni Primanto Joewono, Gubernur BI Perry Warjiyo, Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti, Deputi Gubernur BI Juda Agung, dan Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta.
JAKARTA, KOMPAS — Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia Mei 2023 memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan. Bank Indonesia menilai tingkat suku bunga acuan saat ini masih memadai untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan meredam inflasi hasil impor dan mengantisipasi ketidakpastian ekonomi global. Selain itu, suku bunga ini juga dinilai memadai untuk pengendalian inflasi yang dalam tren melandai.
Dengan demikian, tingkat suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen, suku bunga deposit facility sebesar 5,00 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 6,50 persen. Posisi tingkat suku bunga acuan ini telah bertahan selama 4 bulan.
”Tingkat suku bunga memadai di tengah inflasi yang tengah melandai dan untuk menjaga stabilitas nilai tukar mengantisipasi ketidakpastian ekonomi global,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam jumpa pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Kantor Pusat BI, Jakarta, Kamis (25/5/2023).
Perry menjelaskan, tingkat suku bunga acuan ini difokuskan pada penguatan stabilisasi nilai rupiah untuk mengendalikan inflasi barang impor (imported inflation). Inflasi barang impor berpotensi meningkat seiring meningkatnya permintaan barang dan jasa.
Selain itu, kebijakan mempertahankan suku bunga itu memitigasi dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan global. Ketidakpastian itu tetap tinggi dipengaruhi oleh dampak risiko stabilitas sistem keuangan di negara maju dan ketidakpastian penyelesaian permasalahan plafon utang Pemerintah AS.
Meski demikian, lanjut Perry, pihaknya optimistis akan terjadi kesepakatan mengenai plafon utang AS. Ini akan memberi kepastian sehingga mengurangi risiko gejolak sistem keuangan global.
Selain itu, BI berpandangan, suku bunga bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), sudah mencapai puncaknya. Dengan demikian, kecil kemungkinan akan kembali menaikkan suku bunga acuannya.
Mengutip kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada perdagangan Kamis (25/5/2023) ditutup pada level Rp 14.952 melemah 0,31 persen dibandingkan Rabu yang pada level Rp 14.905.
Sejak awal tahun hingga 24 Mei, nilai tukar rupiah menguat 4,48 persen. Penguatan ini lebih baik dibandingkan dengan apresiasi Thailand sebesar 0,20 persen dan India sebesar 0,08 persen, serta Filipina yang terdepresiasi sebesar 0,10 persen. BI terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah melalui intervensi pasar, pengendalian inflasi barang impor, dan memitigasi risiko rambatan ketidakpastian pasar keuangan.
Pengendalian inflasi
Selain berfokus pada menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, keputusan mempertahankan suku bunga ini, lanjut Perry, untuk pengendalian inflasi. Perry menambahkan, kebijakan moneter ini untuk memastikan inflasi inti terkendali dalam kisaran 2-4 persen di sisa tahun 2023 dan inflasi berbasis Indeks Harga Konsumen (IHK) dapat segera kembali ke dalam kisaran sasaran 2-4 persen pada triwulan III-2023.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi berbasis IHK pada April 2023 sebesar 4,33 persen secara tahunan. Nilai ini menurun dibandingkan Maret 2023 yang sebesar 4,97 persen secara tahunan. Adapun inflasi inti pada April 2023 sebesar 2,83 persen secara tahunan menurun dibandingkan Maret 2023 yang sebesar 2,94 persen secara tahunan.
Internal dan eksternal
Pada kesempatan terpisah, Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teuku Riefky menilai keputusan mempertahankan suku bunga sudah tepat.
Sebab, inflasi berbasis IHK terus turun secara bertahap dengan inflasi inti yang stabil. Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi triwulan pertama mencapai 5,03 persen. Indikator ini menunjukkan permintaan domestik kuat dan terkendali.
Dari sisi eksternal, pengetatan moneter yang tidak lagi agresif dari The Fed dan selisih imbal hasil yang tetap menarik telah menyebabkan aliran modal masuk ke Indonesia. Akibatnya, rupiah terapresiasi ke level Rp 14.670 pada awal Mei didukung oleh lonjakan aliran modal
Dengan kebijakan moneter yang lebih tidak agresif dari The Fed dan selisih imbal hasil yang masih menarik antara obligasi Pemerintah Indonesia dan US Treasury, Indonesia menikmati arus masuk modal dan apresiasi rupiah dalam beberapa bulan terakhir.
”Kami melihat BI perlu mempertahankan suku bunga kebijakannya pada 5,75 persen, sambil merencanakan kebijakan moneter yang akomodatif untuk meningkatkan ketahanan eksternal dan mendorong stabilitas harga domestik di tengah potensi perlambatan ekonomi global tahun ini,” ujar Riefky.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengatakan, keputusan BI untuk mempertahankan suku bunga acuan didasarkan perekonomian dalam negeri yang positif sambil mengantisipasi ketidakpastian eksternal.
Suku bunga diarahkan untuk mengembalikan tingkat inflasi ke targetnya, yakni kisaran 2-4 persen pada 2023. Selain itu, juga untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
”Keputusan mempertahankan suku bunga untuk menjaga stabilitas perekonomian,” ujar Faisal.
Pihaknya memperkirakan, BI akan terus mempertahankan suku bunga acuan hingga akhir 2023. Ia memperkirakan, inflasi memang tengah melandai, tetapi adanya fenomena El Nino bisa memicu lonjakan inflasi pangan. Ketidakpastian ekonomi global juga bisa memicu gejolak nilai tukar.