Produsen Makanan Ringan Incar Rp 110 Miliar dari Bursa
Produsen makanan ringan PT Maxindo Karya Anugerah Tbk menawarkan saham ke publik yang setara 10,41 persen modal yang ditempatkan dan disetor penuh setelah penawaran saham. Dana terkumpul akan digunakan untuk modal kerja.
Oleh
ANASTASIA JOICE TAURIS SANTI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produsen makanan ringan Maxi Sweet Potatoes, yakni PT Maxindo Karya Anugerah Tbk, akan menawarkan saham perdananya kepada publik. Dalam aksi korporasi ini, Maxindo akan menerbitkan 1 miliar saham biasa atas nama.
Menurut data dari laman e-ipo, Senin (22/5/2023), jumlah saham yang ditawarkan kepada publik ini setara dengan 10,41 persen dari modal yang ditempatkan dan disetor penuh setelah penawaran saham. Harga penawaran yang dipatok untuk penerbitan saham ini berkisar antara Rp 100 dan Rp 110 per saham.
Dengan demikian, potensi dana publik yang didapatkan oleh perusahaan makanan ringan ini sebesar Rp 110 miliar. Saham yang diterbitkan terdiri dari dua jenis, yakni 450.000 unit saham baru dan 550.000 unit saham divestasi. Selain menerbitkan saham, Maxindo juga akan menerbitkan maksimal 1 miliar waran seri I.
Dana yang akan diperoleh dari hasil penerbitan saham baru ini akan digunakan untuk modal kerja, seperti pembayaran pembelian bahan baku, upah tenaga kerja, biaya penjualan dan pemasaran, biaya perawatan, dan biaya keperluan kantor.
Dalam prospektus dipaparkan, produsen makanan berbahan dasar umbi-umbian tropis dengan pasar ekspor tersebut membukukan kerugian usaha sebesar Rp 628 miliar pada akhir Maret 2023 dan total kerugian komprehensif pada periode sama Rp 1,7 triliun. Kerugian total ini naik dari rugi sebesar Rp 437 miliar pada Maret 2022 berdasarkan laporan keuangan yang tidak diaudit.
Investor dapat melihat data yang disajikan di laman e-ipo agar dapat membuat keputusan investasi yang tepat.
Perusahaan hijau
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna menjelaskan, ada 42 calon perusahaan yang sedang antre untuk masuk ke bursa. Di antara 42 perusahaan tersebut, ada 20 perusahaan yang berpotensi masuk ke kategori hijau dalam Taksonomi Hijau Indonesia Edisi 1.0 atau sekitar 47,62 persen.
”Sementara ada empat yang tidak termasuk ke kategori hijau dalam Taksonomi Hijau atau 9,2 persen,” ujar Yetna. Ada lagi 18 perusahaan yang berada di luar pemetaan Taksonomi Hijau saat ini atau sebanyak 42,86 persen.
Dia menjelaskan, penentuan kategori hijau dalam Taksonomi Hijau serta ambang batasnya didasarkan pada regulasi dan kebijakan kementerian terkait sehingga tidak dapat ditentukan oleh BEI. ”Penelaahan kami di atas berdasarkan atas pencocokan kegiatan usaha calon perusahaan tercatat berdasarkan nomor Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia dengan daftar di dalam Taksonomi Hijau,” kata Yetna lagi.