Perusahaan Investasi Mulai Bidik Sektor Energi Bersih dan Terbarukan
Pemerintah menargetkan bebas dari emisi karbon pada 2060. Perusahaan berbasis energi bersih dan terbarukan mulai dilirik oleh perusahaan investasi untuk prospek jangka panjang.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Pemaparan kinerja PT Saratoga Investama Sedaya Tbk dalam acara Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) dan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), di Jakarta, Senin (15/5/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan investasi perlahan mulai melirik sektor energi bersih dan terbarukan atau EBT. Selain menjadi salah satu fokus pemerintah dalam mencapai net zero carbon atau nol emisi karbon pada tahun 2060, EBT juga mulai mendapat dukungan pendanaan dari perusahaan finansial.
PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) sebagai salah satu perusahaan investasi mulai mencari pilar baru dalam portofolio investasinya dengan target investasi mencapai 100 juta dollar AS hingga 150 juta dollar AS pada tahun ini. Sebagian dari dana tersebut akan diinvestasikan pada sektor EBT.
”Kami mencari pilar baru supaya ketergantungan terhadap perusahaan natural resources ini dapat berkurang. Bukan berarti kami akan menjual perusahaan tersebut, tapi kami akan menambah investasi-investasi baru di perusahaan yang bukan natural resources. Salah satu industri yang, menurut kami, sangat baik dan kami juga sudah investasi di sana adalah clean and renewable energy,” kata Direktur Investasi PT Saratoga Investama Sedaya Tbk Devin Wirawan dalam Paparan Publik Tahunan Saratoga, di Jakarta, Senin (15/5/2023).
Berdasarkan laporan kinerja tahun 2022, SRTG mencatatkan laba sebesar Rp 4,6 triliun atau menurun sekitar 81 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 24,8 triliun. Hal ini terjadi akibat volatilitas pasar saham yang kemudian turut mengakibatkan SRTG menelan kerugian pada triwulan I-2023 sebesar Rp 4,39 triliun.
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Direktur Investasi PT Saratoga Investama Sedaya Tbk Devin Wirawan (kiri) dan Hubungan Investor PT Saratoga Investama Sedaya Tbk Ryan Sual (kiri) dalam acara Paparan Publik Tahunan Saratoga, di Jakarta, Senin (15/5/2023).
Devin menjelaskan, sekitar 85 persen dari portofolio SRTG dialokasikan ke saham-saham bluechip atau jenis saham dari perusahaan dengan kondisi keuangan prima. Perusahaan-perusahaan tersebut, antara lain, ialah PT Tower Bersama Infrastruktur Tbk (TBIG), PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), dan PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO).
MDKA dan ADRO merupakan perusahaan yang berkaitan dengan natural resource atau sumber daya alam. Meski peforma kedua perusahaan terus meningkat dari tahun ke tahun, hasil penjualan komoditas sumber daya alam kedua perusahaan mereka bergantung pada harga komoditas yang berada di luar kontrol manajemen.
Implementasi EBT dari emiten-emiten ini tentu dinantikan oleh para investor. Selain itu, bursa efek juga akan menerapkan regulasi perdagangan karbon, mudah-mudahan paling cepat tahun ini.
Perusahaan-perusahaan sektor EBT yang pernah menjadi mitra dari SRTG, antara lain, adalah PT Xurya Daya Indonesia, yakni startup yang bergerak di pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dan Forest Carbon, perusahaan pengembangan proyek karbon hutan premium. Selain itu, SRTG juga pernah berinvestasi pada proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Sarulla di bawah PT Pertamina Geothermal Energi.
”Ke depannya, kami akan berusaha memiliki pilar baru di sektor clean and renewable energy untuk menyeimbangkan exposure portofolio kami di natural resources. Untuk besaran investasinya, tergantung dengan oportunity yang ada,” ucap Devin.
Indonesia menargetkan bersih dari emisi karbon pada tahun 2060 sebagaimana tercantum dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Pemerintah pada 2022 meningkatkan target (enhanced) NDC dengan kemampuan sendiri sebesar 31,89 persen dan dengan dukungan internasional sebesar 43,20 persen pada tahun 2030.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, EBT ditargetkan dapat mencapai 23 persen dari bauran pembangkit listrik pada 2025. Presiden Joko Widodo pada acara pembukaan Hannover Messe 2023, di Hannover Congress Centrum, Hannover, Jerman, Minggu (16/4/2023), pun kembali menekankan hal itu dan pada 2050 semua pembangkit listrik batubara di Indonesia akan ditutup.
Senior Investment Information Mirrae Asset Sekuritas Indonesia M Nafan Aji Gusta Utama menyampaikan, EBT memiliki prospek yang menjanjikan untuk investasi jangka panjang. Ini karena EBT menjadi salah satu fokus pemerintah di masa mendatang.
”Implementasi EBT dari emiten-emiten ini tentu dinantikan oleh para investor. Selain itu, bursa efek juga akan menerapkan regulasi perdagangan karbon, mudah-mudahan paling cepat tahun ini,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta.
Perdagangan karbon atau bursa karbon menjadi prioritas pemerintah yang ditargetkan dapat beroperasi pada September 2023. Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan mendefinisikan bursa karbon sebagai sistem yang mengatur perdagangan karbon dan/atau catatan kepemilikan unit karbon.
Pada Pasal 23 UU itu disebutkan, karbon adalah efek. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan, bursa karbon dijadwalkan mulai beroperasi September 2023. Pada rencana awal perdagangan perdana bursa karbon akan dilakukan dengan pembayaran berbasis hasil (result based payment/RBP) sebesar 100 juta ton karbon dioksida (Kompas.id, 12/5/2023).
Selain dukungan pemerintah melalui regulasi EBT, perusahaan yang melantai di bursa efek atau emiten di sektor finansial juga mulai mendanai EBT. Salah satunya seperti dilakukan oleh PT Bank KB Bukopin Tbk yang menandatangani kesepakatan (MoU) dalam mendanai pengembangan ekosistem electric vehicles (EV) dengan PT Indika Energy Group, Kamis (11/5/2023).
Menurut Nafan, volatilitas harga komoditas turut memengaruhi portofolio investasi untuk jangka panjang. Oleh sebab itu, perusahaan investasi perlu melakukan langkah mitigasi dengan mulai berinvestasi ke perusahaan berbasis EBT.
”Investasi pasti melihat dari oportunity dan langkah mitigasi jangka panjang. Perusahaan yang termasuk dalam index ESG (enviroment, social, and governance), biasanya, rata-rata memiliki likuiditas yang memadai, market capital yang bagus, kinerja fundamental yang bagus, serta good governance yang baik,” ujarnya.