Dalam pengakhiran dini operasi PLTU berbasis batubara, pendanaan internasional, seperti hibah maupun sumber-sumber dana lainnya akan diperlukan. Komitmen pendanaan antara lain sudah didapat lewat ETM dan JETP.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Pekerja membersihkan permukaan panel surya yang terpasang di atap Hotel Santika Banyuwangi, Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (11/9/2022). Penggunaan panel surya di tempat tersebut mampu menghemat penggunaan listrik konvensional sebesar 25 persen. Gerakan dukungan pariwisata hijau semakin meluas ke sektor-sektor akomodasi wisata, termasuk penggunaan panel surya di tempat penginapan-penginapan.
JAKARTA, KOMPAS - Pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batubara menjadi salah satu program pemerintah dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Namun, model yang tepat masih terus dicari agar program itu tak memberatkan keuangan negara dan mengganggu aspek komersial produsen listrik swasta.
Pengakhiran dini operasi PLTU yang diikuti pengembangan energi terbarukan penting dalam upaya mencapai target emisi nol bersih (NZE) 2060. Juga, dalam rangka mengejar target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025. Tantangan tak mudah, karena hingga akhir 2022, porsi energi terbarukan baru 12,3 persen dalam bauran energi nasional.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana, dalam konferensi pers jelang Indonesia EBTKE Conex 2023, di Jakarta, Selasa (9/5/2023) mengatakan, pemerintah tetap berkomitmen akan target-target transisi energi yang ditetapkan.
PLTU pun menjadi salah satu komitmen itu. "Kami sedang berupaya dan mencari cara. Ada dua prinsip dalam pensiun dini PLTU. Pertama, tidak boleh memberatkan keuangan negara karena (PLTU) ini aset. Jadi, harus ada yang membeli. Kedua, tidak boleh memengaruhi aspek komersial dari IPP (independent power producer/produsen listrik swasta). Mereka tak boleh rugi," kata Dadan.
Oleh karena itu, pendanaan internasional, seperti hibah maupun sumber-sumber dana lainnya akan diperlukan. Dadan mencontohkan, jika dulu dalam membangun PLTU bunga pinjaman sebesar 12 persen, sekarang misalnya, bunga pinjaman diharapkan hanya 3 persen. Kemudahan-kemudahan seperti itu yang dicari dan didorong.
"Sebab, (jika ada pensiun dini PLTU) kita tidak ingin harga listrik menjadi naik. Itu dihindari. Kita ingin mendapat banyak manfaat dari program ini," jelas Dadan.
Adapun dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, November 2022, disepakati komitmen pendanaan transisi energi. Selain Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism/ETM) yang merupakan program Bank Pembangunan Asia (ADB), juga ada Just Energy Transition Partnership (JETP).
Dalam JETP, dukungan komitmen pendanaan dari negara-negara maju, seperti Eropa dan Amerika Serikat, sebesar 20 miliar dollar AS. Namun, menurut Dadan pihaknya akan memastikan lebih dulu separuhnya, khusus yang berasal dari dana publik.
"Jadi, 10 miliar dollar AS investasi publik dan 10 miliar dollar AS lainnya perbankan. Yang perbankan kami belum tahu seperti apa, termasuk bunganya berapa. Namun yang publik, sudah tahu, misalnya technical assistance grant (hibah) -nya berapa," ucap Dadan, yang beberapa waktu lalu datang ke AS guna mengetahui detail terkait JETP.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Kincir-kincir angin berjajar milik Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo-1 di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (2/2/2019). PLTB berkapasitas 72 MW ini menjadi PLTB terbesar kedua di Indonesia setelah PLTB Sidrap yang berkapasitas 75 MW. Ada 20 kincir angin yang terpasang di PLTB ini. Beroperasinya PLTB ini akan memperkuat pasokan listrik di Sulawesi Selatan. Pemerintah akan terus mendorong investasi sumber energi terbarukan dengan memanfaatkan potensi alam Indonesia.
Regulasi
Ketua I Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Bobby Gafur Umar menuturkan, dalam mengejar sejumlah target dalam transisi energi, terobosan diperlukan. Sebab, kondisi saat ini masih menemui sejumlah tantangan, salah satunya regulasi. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan masih dalam pembahasan pemerintah dan DPR RI.
Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik memang telah terbit. Namun, jika pendanaannya masih terhambat, akselerasi pengembangan energi terbarukan belum bisa optimal.
"Contoh PLTS (pembangkit listrik tenaga surya). Perkembangan PLTS di Indonesia relatif terkecil di Indonesia, jika dibandingkan Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Sebab, pada akhirnya kita tidak bisa mengandalkan hanya investasi lokal atau BUMN. Investor harus masuk," kata Bobby.
Oleh karena itu, imbuh Bobby, Indonesia EBTKE Conex 2023, yang tahun ini memasuki tahun ke-11, diharapkan menjadi aksi untuk akselerasi pengembangan energi terbarukan. Salah satunya terkait investasi pembangkit energi terbarukan, yang jangka waktunya panjang. Pendanaan haruslah sesuai dengan industrinya.
Adapun Indonesia EBTKE Conex 2023 akan diselenggarakan di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Banten, pada 12-14 Juli 2023. Ditargetkan ada lebih dari 79 perusahaan terkait energi terbarukan yang menjadi peserta pameran. Juga akan ada rangkaian diskusi dengan lebih dari 104 pembicara, baik nasional maupun internasional.