Investor Tetap Lirik Usaha Rintisan di Indonesia
Di tengah ketidakpastian global, penyuntik modal atau modal ventura menilai start-up masih dapat bertumbuh. Kondisi ini tidak lepas dari fundamental Indonesia yang dianggap belum terdampak krisis global.
JAKARTA, KOMPAS - Fundamental Indonesia dinilai masih menjanjikan dalam pendanaan perusahaan rintisan atau start-up. Kondisi krisis justru dapat memberikan gambaran untuk menyeleksi perusahaan mana yang baik dan berpotensi untuk didanai.
Hal itu disampaikan oleh Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca dalam acara Open Book dan Halalbihalal, di Jakarta, Selasa (9/5/2023). East Ventures merupakan salah satu perusahaan modal ventura yang memberikan pendanaan terhadap perusahaan rintisan.
Situasi perekonomian global saat ini masih dirundung oleh ketidakpastian. Selain akibat pandemi Covid-19 yang kini mulai mereda, perang Rusia-Ukraina, krisis perbankan di Amerika Serikat (AS), dan kegagalan AS dalam membayar utangnya berpotensi memicu krisis global.
”Fundamental ekonomi Indonesia itu bagus dan jumlah founder di Indonesia banyak. Terjadinya krisis justru memberikan gambaran yang lebih jelas mana perusahaan yang bagus dan tidak. Kalau tidak ada perusahaan yang bagus, tentu tidak akan kami danai. Sebaliknya, selama masih ada perusahaan yang bagus, kami tidak akan berhenti mendanai hanya gara-gara ekonomi dunia sedang kacau,” ujarnya.
Pada kuartal I-2023, East Ventures (EV) tercatat telah mendanai sebanyak 20 perusahaan rintisan. Sementara pada 2022, tercatat ada 80 perusahaan yang didanai oleh EV.
Menurut Willson, Indonesia masih memiliki pangsa pasar yang besar bagi perusahaan rintisan untuk bertumbuh. Dengan jumlah penduduk yang kini mencapai lebih dari 200 juta jiwa dan sebagian besar memiliki gawai, peluang untuk pengusaha muda merintis usahanya terbuka lebar.
”Kalau ada 100 perusahaan dan pengusahanya itu bagus, kami investasikan kepada 100 perusahaan itu, bahkan kalau 1.000 perusahaan pun tidak masalah. Semua pendanaan itu tergantung kepada mereka yang datang. Kami lebih mengikuti arus dan tidak menargetkan pendanaan itu harus mencapai berapa perusahaan,” lanjutnya.
Dengan kondisi koreksi pasar yang terjadi, kami sebagai investor juga lebih berhati-hati dalam melakukan investasi tentunya dengan standar yang lebih tinggi.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dalam sambutannya secara virtual pada acara Festival Ekonomi Digital 2023, di Jakarta, Senin (8/5/2023), menuturkan, dengan potensi pangsa pasar mencapai 40 persen, Indonesia dapat menjadi pemeran utama di Asia Tenggara. Indonesia berada di peringkat keenam negara dengan jumlah start-up terbesar di dunia dengan lebih dari 2.400 start-up.
Selain itu, penetrasi atau jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 76,8 persen. Berdasarkan proyeksi beberapa tahun mendatang, nilai ekonomi digital Indonesia dapat mencapai 135 miliar dollar AS pada 2025 dan akan terus bertumbuh mencapai 315 miliar dollar AS pada tahun 2030.
Berhati-hati
Laporan riset ”Private Equity and Venture Capital Trends in Asia Pacific and Southeast Asia” yang dirilis oleh Bain and Company menyebut, jumlah dan nilai kesepakatan investasi berupa private equity pada 2022 di Asia Tenggara dan Asia Pasifik cenderung menurun dibandingkan tahun sebelumnya.
Aksi pengumpulan dana untuk investasi (fundraising) secara global juga menurun dari 1.167 miliar dollar AS menjadi 1.069 miliar dollar AS pada 2022. Akibatnya, porsi aksi fundraising untuk Asia Pasifik berkurang sekitar 48 persen (Kompas.id, 20/4/2023).
Baca Juga: Ekosistem "Start Up" di Indonesia Masih Dianggap Punya Daya Tarik bagi Investor
Pada awal tahun ini, pendanaan start-up di Indonesia tercatat menurun. Pendanaan start-up pada triwulan I-2023 menurun 41 persen dibandingkan triwulan sebelumnya. Adapun secara tahunan, pendanaan start-up menurun 55 persen.
Ketua Umum Asosiasi Modal Ventura untuk Start-up Indonesia (AMVESINDO) Eddi Danusaputro menjelaskan, turunnya pendanaan terhadap start-up merupakan fenomena yang normal dan wajar. Sebab, setiap investasi memiliki siklusnya tersendiri.
”Dengan kondisi koreksi pasar yang terjadi, kami sebagai investor juga lebih berhati-hati dalam melakukan investasi tentunya dengan standar yang lebih tinggi,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Saat ini, modal ventura tidak hanya berfokus kepada tingginya pertumbuhan perusahaan (high growth) saja. Namun, profitability plan yang jelas dari suatu perusahaan tetap diperhatikan agar bisnis dapat berjalan dalam jangka panjang.
Di sisi lain, banyak kajian yang memprediksi tren pendanaan di Indonesia akan mulai kembali membaik (bounce back) pada pertengahan tahun 2023. Eddi menyebut, nilai investasi di Indonesia terus bertumbuh akhir-akhir ini dan turut menjadi indikasi pembalikan tren tersebut.
”Tentu kami menyambut hal ini dengan positif. Banyak investor melirik start-up yang sudah dapat menghasilkan profit, terutama sebagai pembeda dengan perusahaan tradisional sehingga dapat memperpanjang lini bisnis atau biasa kami sebut runway. Investor juga menyukai start-up yang industrinya memiliki prospek besar ke depannya," lanjutnya.
Menurut Eddi, terdapat evolusi tren pada awal tahun ini, yakni pada start-up bisnis ke bisnis (B2B Start-up). Dia optimistis terhadap pertumbuhan nilai pasar B2B di Indonesia pada sektor e-dagang.
Pertumbuhan itu dipengaruhi oleh kenaikan tingkat belanja secara daring sehingga dapat membawa inovasi terhadap ekosistem start-up. Selain itu, sosok founder juga tidak kalah penting karena investor menyukai founder yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas atas bisnis yang sedang dijalankan.
Baca Juga: Pendanaan Usaha Rintisan Tahun 2022 Turun Signifikan
Bertahan
Tren penurunan suntikan dana oleh modal ventura itu juga disampaikan oleh Ketua Indonesia Fintech Society (IFSOC) Rudiantara. Menurut dia, pendanaan terhadap start-up pada awal tahun ini tidak seramai dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dipicu salah satunya oleh kenaikan suku bunga AS sehingga membuat investor cenderung memilih untuk menaruh uangnya ke instrumen konvensional yang minim risiko.
”Akibatnya, pasokan (pendanaan) jadi terbatas sehingga kemampuan penawaran perusahaan (bergainingpower) meningkat. Peminatnya yang banyak membuatnya berpengaruh pada valuasi dan investor pun tidak berminat karena nilai valuasi tidak sesuai," katanya ketika dihubungi dari Jakarta.
Menurut Rudiantara, kondisi tersebut diperkirakan terjadi sampai medio 2023 dan akan membaik meski tidak sebaik seperti dua sampai tiga tahun lalu. Untuk saat ini, lanjut Rudiantara, sebagian besar start-up mengubah bisnis modelnya.
Perubahan tersebut mulai dari meningkatkan pendapatan, melakukan efisiensi biaya, hingga menyentuh pada efisiensi tenaga kerja. Hal itu juga berlaku pada start-up di level besar dan terjadi secara global.
”Yang tadinya bakar uang, sekarang sudah tidak lagi bakar uang karena investor atau penyuntik dananya sedikit. Kemudian terkait efisiensi biaya, promo-promo mulai ditinggalkan, bahkan efisiensi sampai ke arah pemutusan hubungan kerja,” lanjutnya.
Walakin, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih baik dari negara-negara lain membuat Indonesia masih berpeluang untuk dilirik. Pada saat pertumbuhan negara-negara, seperti China pada triwulan I-2023 mencapai 4,5 persen, AS mencapai 1,8 persen, dan Uni Eropa (EU) mencapainya 1,3 persen, Indonesia justru mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, yakni selama enam kuartal berturut-turut, Indonesia telah mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.
Rudiantara menambahkan, meski pendanaan start-up di Indonesia cenderung menurun, Indonesia masih menjadi episentrum pengembangan di kawasan regional. Hal itu tecermin dari tingkat konsumsi masyarakat dan pertumbuhan ritel.
Adapun konsumsi rumah tangga turut memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 52,88 persen. Sementara Indeks Penjualan Riil (IPR) Maret 2023 mencapai 215,2, atau tumbuh 4,8 persen dibanding tahun lalu pada periode yang sama (yoy), atau lebih tinggi dibandingkan dengan indeks pada bulan sebelumnya sebesar 0,6 persen (yoy).