Agar Terserap Pengadaan Pemerintah, Produk Lokal Perlu Lebih Agresif Promosi
Industri dalam negeri yang menggunakan tingkat komponen dalam negeri dituntut berdaya saing agar lebih mendapatkan kepercayaan pasar.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mendorong industri dalam negeri agar lebih gencar mempromosikan produk-produk yang sudah menggunakan tingkat komponen dalam negeri. Selain itu, riset dan pengembangan produk juga didorong agar lebih mampu bersaing dari segi kualitas. Dengan demikian, produk-produk dalam negeri bisa lebih terserap dalam pengadaan barang dan jasa di tingkat kementerian/lembaga, pemerintah daerah, serta badan usaha milik negara atau milik daerah.
Pada tahun 2023, pemerintah telah menargetkan produk usaha mikro, kecil dan menengah yang masuk e-katalog berjumlah 5 juta produk atau senilai Rp 500 triliun. Realisasi belanja produk dalam negeri dalam pagu anggaran barang dan jasa pemerintah ditargetkan 95 persen atau senilai Rp 1.171 triliun. Adapun, realisasi belanja BUMN/BUMD untuk produk dalam negeri ditargetkan Rp 500 triliun.
Deputi Bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi RI, Odo R M Manuhutu mengemukakan, realisasi produk dalam negeri yang masuk dalam e-katalog hingga kini mencapai 4,5 juta produk. Sejumlah 70-80 persen di antaranya sudah mengantongi sertifikasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Tantangannya adalah mendorong produk-produk dalam negeri yang masuk ke dalam e-katalog tersebut bisa dibeli. Promosi dan inovasi dinilai menjadi kunci.
Tantangannya adalah mendorong produk-produk dalam negeri yang masuk ke dalam e-katalog tersebut bisa dibeli. Promosi dan inovasi dinilai menjadi kunci.
”Industri dalam negeri harus lebih agresif melakukan promosi ke kementerian/lembaga agar (produk) bisa dibeli. (Industri) bisa mencontoh importir-importir di beberapa sektor yang agresif memperkenalkan produknya ke kementerian/lembaga,” ujarnya, dalam Diskusi Forum Merdeka Barat 9: ”Dampak Berantai Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri”, Senin (8/5/2023).
Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo, dalam Acara Temu Bisnis Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN), tanggal 15 Maret 2023, menyoroti lonjakan produk-produk dalam negeri yang masuk ke dalam e-katalog pengadaan barang dan jasa pemerintah. Capaian itu perlu ditindaklanjuti kementerian/lembaga, BUMN, BUMD, dan pemerintah daerah untuk berbelanja barang dan jasa buatan dalam negeri.
”Saya hanya titip kalau sudah masuk produk-produk dalam negeri ke e-katalog jangan dibiarkan hanya masuk, tetapi dibeli,” ujar Presiden.
Kewajiban penggunaan barang dan jasa produksi dalam negeri mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam Rangka Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Odo mengemukakan, pengalaman di beberapa negara maju, seperti Jepang, Amerika Serikat, dan China, ada keberpihakan pemerintah membeli produk-produk dalam negeri sehingga produk lokal terus berkembang, bahkan mendunia. Pihaknya sedang menyusun aturan penghargaan dan sanksi dalam prioritas penggunaan produk dalam negeri. Kebijakan itu, menurut rencana, diluncurkan berbarengan dengan ajang ”Temu Bisnis” keenam yang diselenggarakan Kementerian Keuangan serta Kementerian Hukum dan HAM pada Juli-Agustus 2023.
Di sisi lain, industri wajib mendorong daya saing dengan meningkatkan kualitas, inovasi, riset dan pengembangan produk, serta pelatihan sumber daya manusia. Terkait hal itu, dalam penyusunan Rancangan Undang-undang Pengadaan Barang dan Jasa Publik, perusahaan yang produknya dibeli pemerintah dalam jumlah besar berkewajiban berinvestasi dalam riset dan pengembangan.
”Riset dan pengembangan penting untuk meningkatkan nilai tambah. Ini yang (industri) kita masih kurang. Investasi untuk riset dan pengembangan menjadi pekerjaan rumah bersama,” kata Odo.
Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Iklim Usaha dan Investasi Andi Rizaldi mengemukakan, target penggunaan produk dalam negeri hingga 95 persen merupakan target besar di tengah masih banyak penggunaan produk impor. Sanksi akan diberikan jika penggunaan produk dalam negeri tidak mencapai 95 persen, sebaliknya penghargaan diberikan ke kementerian/lembaga, pemerintah pusat dan daerah yang melebihi 95 persen pemakaian produk dalam negeri.
Dalam temu bisnis kelima, Maret lalu, komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk belanja barang dan jasa, serta belanja modal dari produk dalam negeri senilai Rp 1000 triliun. Hingga kini, sudah terealisasi sekitar Rp 200 triliun.
Pemerintah juga memberikan penghargaan bagi produsen yang membuat produk dengan TKDN tinggi, serta produknya diterima konsumen. Adapun skema insentif diberikan bagi industri agar tidak hanya impor dan sebatas merakit produk, di samping itu insentif untuk investasi riset dan pengembangan produk, investasi baru, serta pengembangan sumber daya manusia. Dengan sejumlah stimulus itu, kualitas produk diharapkan terus meningkat dan memuaskan konsumen.
”Jangan konsumen dipaksa beli produk TKDN tanpa punya produk yang baik. Perusahaan perlu melakukan promosi bahwa produknya andal dan bisa diandalkan konsumen,” katanya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Teknologi dan Informasi Merek Indonesia Danny Harjono mengemukakan, upaya memperkuat penggunaan produk dalam negeri membutuhkan kepercayaan dan penghargaan terhadap merek Indonesia sebagai aset bangsa. Ia menilai, tanpa pemesanan yang konsisten dan stabil dari pemerintah terhadap merek Indonesia, industri hulu sulit berkembang.
Pelaku usaha mengaku siap mendorong riset dan pengembangan untuk peningkatan kualitas dan kepercayaan atas produk dalam negeri. Namun, dalam tahap awal, diperlukan perlindungan terhadap produk Indonesia serta perlakuan yang seimbang agar dapat bersaing dengan produk-produk bermerek internasional yang sudah eksis.
Keberpihakan pemerintah bagi produsen dalam negeri perlu diperjelas, yakni peruntukan insentif bagi badan usaha Indonesia yang dimiliki warga Indonesia, sehingga insentif tepat sasaran. Insentif perlu menyasar perusahaan nasional yang sudah memiliki sertifikasi TKDN, dan bukan justru menguntungkan perusahaan multinasional yang punya TKDN. Ia menambahkan, pihaknya siap berkontribusi dalam riset dan pengembangan produk sepanjang ada konsistensi pesanan dari pemerintah.
”Bagaimana kita bisa memperbesar industri dan mengundang industri hulu untuk investasi di Indonesia kalau produk industri hilir masih tidak dipilih, gara-gara kami harus bersaing dengan produk multinasional yang juga memiliki TKDN,” kata Danny.