Belum ada kejelasan kapan revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 yang mengatur detail pengguna BBM jenis pertalite akan diterbitkan. Setiap ada ketidaktepatan penyaluran subsidi, ada masyarakat yang dirugikan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Warga antre membeli bahan bakar minyak di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Sabtu (3/9/2022). Pemerintah mengumumkan menaikkan harga bahan bakar minyak. Pertalite yang semula Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter, Solar yang semula Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter, Pertamax yang semula Rp 12.5000 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.
Pada 2022, pemerintah cukup kewalahan menghadapi gejolak harga minyak mentah dunia seiring kian pulihnya aktivitas perekonomian akibat pandemi Covid-19. Sebagai negara pengimpor bersih (net importer) minyak, situasi global, termasuk harga komoditas dan kurs rupiah terhadap dollar AS, amat berpengaruh bagi Indonesia.
Berdasarkan catatan Trading Economics, pada Januari 2021 harga minyak mentah jenis Brent rata-rata 53 dollar AS per barel dan menjadi 79 dollar AS per barel pada Desember 2021. Memasuki 2022, harga minyak mentah meroket hingga mencapai 123 dollar AS per barel pada 8 Maret 2022.
Dampak pada sektor hilir makin nyata pada 1 April 2022 saat PT Pertamina (Persero) menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi jenis pertamax dari Rp 9.200 per liter menjadi Rp 12.500 per liter. Hal yang dikhawatirkan, terjadi migrasi pengguna BBM dari pertamax ke pertalite yang harganya saat itu Rp 7.650 per liter.
Masalahnya, pertalite menjadi BBM dengan porsi konsumsi tertinggi di Indonesia, sekitar 78 persen, sedangkan pertamax 14 persen. Pertalite saat itu juga baru ditetapkan sebagai jenis BBM khusus penugasan, menggantikan premium (sudah dihapus dari pasar), yang artinya disubsidi oleh negara. Ada potensi kuota pertalite jebol dan anggaran subsidi membengkak.
Berdasarkan data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), kuota pertalite pada 2022 ialah 29,91 juta kiloliter dan kuota solar bersubsidi 17,83 juta kiloliter. Angka itu sudah termasuk penambahan kuota pada 1 Oktober 2022 mengingat awalnya kuota pertalite ditetapkan 23,05 juta kiloliter dan solar bersubsidi 15,1 juta kiloliter. Begitu pula realisasi subsidi energi pada 2022 yang sebesar Rp 502,4 triliun atau membengkak tiga kali lipat dari alokasi semula.
Selain menaikkan harga pertalite yang kerap jadi pilihan pahit, muncul pula rencana merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM. Tujuannya ialah merincikan siapa saja yang berhak menggunakan pertalite. Pasalnya, dengan regulasi yang berlaku saat ini, pertalite bisa dinikmati oleh kalangan mana pun. Tiada halangan bagi mobil-mobil mewah untuk mengantre pertalite.
Pemerintah akhirnya menaikkan harga pertalite dan solar bersubsidi pada 3 September 2022. Harga pertalite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter, solar bersubsidi turut naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. Namun, revisi Perpres No 191/2014 belum dilakukan.
Kini, dengan harga minyak yang lebih rendah dari tahun lalu, harga minyak mentah jenis Brent 74 dollar AS per barel pada Minggu (14/5/2023) sore, apa kabar rencana revisi Perpres No 191/2014? Apakah problem ketidaktepatan sasaran subsidi BBM menjadi tidak lagi genting? Akankah menjadi riak musiman setiap harga minyak melambung atau tetap dipandang serius untuk dibenahi?
Yang jelas, kementerian/lembaga teknis berulang kali menyatakan revisi perpres diperlukan. Semua menunggu. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tutuka Ariadji, misalnya, beberapa waktu lalu di Komisi VII DPR menyatakan kuota pertalite dan solar bersubsidi 2023 berpotensi jebol lagi jika revisi perpres tidak terbit.
RUNIK SRI ASTUTI
Petugas SPBU di Rest Area 725 A Tol Sumo melayani pembeli, Jumat (14/4/2023). Pertamina Patra Niaga menyiapkan Posko Pertamina Siaga di sejumlah SPBU di jalan tol di Jatim. Konsumsi gasoline atau bensin selama libur Lebaran 2023 diprediksi naik 7,1 persen dibandingkan rata-rata nornal 17.963 kilo liter.
BPH Migas juga beberapa kali menyampaikan skenario dalam revisi perpres. Misalnya, semua sepeda motor tetap boleh mengonsumsi pertalite kecuali di atas 150 cc. Juga sejumlah opsi pemberlakuan pada mobil. Misalnya, mobil pelat hitam dengan kapasitas mesin tak lebih dari 1.400 cc dibolehkan menggunakan pertalite.
Bagaimanapun, subsidi atau kompensasi BBM tetaplah perlu. Akses masyarakat tidak mampu terhadap energi yang terjangkau harus tetap dijamin oleh negara. Namun, saat pemerintah sendiri menyadari bahwa sebagian besar penyalurannya tidak tepat sasaran, keseriusan dan komitmen dalam pembenahan dinantikan.
Kini, bola ada di para otoritas tertinggi pengambil kebijakan. Hendak mengakomodasi pembenahan kualitas subsidi BBM atau menunggu ”momentum” (pertimbangan harga minyak mentah dunia ataupun tahun politik) yang populis. Tentu kajian kebijakan harus matang. Namun, yang jelas, saat subsidi tidak tepat sasaran, ada masyarakat (yang berhak disubsidi) yang dirugikan.