Wangi Teh Malipo yang Mengatasi Kemiskinan
Upaya Pemerintah China meningkatkan kualitas dan nilai tambah teh Malipo tidaklah sia-sia. Bukan sekadar enak diminum dan lezat dimakan, daun teh ini juga mengentaskan petani dari kemiskinan.
Semua orang pasti pernah minum teh. Bagaimana dengan makan teh? Di kota Malipo, Distrik Wenshan, Yunnan, China, daun teh tidak hanya diracik menjadi minuman pelepas dahaga, tetapi juga disantap untuk mengusir lapar.
”Sudah lapar, ya? Semoga kalian suka teh,” kata Zheng Yulin, Minggu (23/4/2023). Kami, sekelompok jurnalis asing yang berasal dari Asia, serempak mengangguk.
Bagi orang Asia, teh sudah tidak asing lagi. Ada teh poci ala Indonesia, teh rempah masala chai asal India, atau cha yen alias thai tea dari Thailand yang juga populer di Tanah Air. Bukan hanya jenis teh yang beragam, cara menghidangkan dan meminumnya pun berbeda-beda.
Sembari menikmati teh hijau Malipo yang disajikan di gelas keramik kecil dan menanti makan siang, kami pun asyik berbagi cerita tentang keunikan teh dari negara masing-masing. Ah, teh memang nikmat. Akan tetapi, apa hubungannya rasa lapar dengan sajian teh?
Di sekitar kami satu per satu hidangan mulai diletakkan di atas meja makan. Aroma lezat menyeruak, menggoda perut yang keroncongan menahan lapar sejak pagi. Obrolan soal teh sontak berhenti dan kami segera lahap bersantap.
Yulin mengambil sumpit dan memungut salah satu sajian yang sekilas tampak seperti tumis daging bebek dengan sayur kangkung. Guru Bahasa Inggris di sekolah menengah atas di Malipo itu meniup-niupnya sejenak sebelum mengunyah dengan lahap.
Kehadiran daun teh memberikan sensasi rasa getir yang pas untuk mengimbangi pekatnya aroma rempah.
”Ini bukan sayur, ini pucuk daun teh,” ujar Yulin. ”Semua makanan di atas meja ini terbuat dari daun teh,” lanjutnya.
Kami terbelalak. Benar saja, semua dedaunan hijau yang awalnya kami kira sayuran ternyata daun teh—segar dan kering—dimasak jadi beragam menu kuliner khas China.
Selain tumis daging bebek dengan pucuk daun teh, ada juga longjing tea meat soup alias sup daging sapi dengan daun teh. Rasanya segar sekaligus hangat di satu suapan.
Pucuk daun teh mula-mula direbus seperti proses memasak teh pada umumnya. Lalu, pada kuah rebusan itu ditambahkan aneka bumbu, rempah, dan lembaran daging sapi. Daun teh itu memberi sensasi rasa getir yang pas untuk mengimbangi pekatnya aroma rempah dan asin daging sapi.
Menu sup ini paling berkesan hingga kami menambah bermangkuk-mangkuk. ”Seperti lagi minum teh, tetapi ada daging sapinya,” komentar salah satu jurnalis.
Pertama kali
Namanya selera, pasti berbeda untuk tiap orang. Ada menu yang tidak terlalu bersahabat di lidah, seperti tumis daun teh dan taoco yang dihidangkan dingin, mirip-mirip tumis bayam wijen sigeumchi namul ala Korea. Berhubung bahan utamanya hanya daun teh, pahitnya terlalu tajam untuk selera saya, yang memang bukan penggemar sayuran pahit.
Bukan hanya sajian asin, ada pula menu makanan manis yang dibuat dari teh, seperti kue ubi manis dengan teh hijau yang dihidangkan dengan bubuk kacang. Sekilas mengingatkan pada kue mochi rasa matcha. Manisnya pas, sebagaimana umumnya hidangan manis tradisional di China. Lezat disantap sembari minum teh.
Staf Kementerian Luar Negeri China di Yunnan, Shen Shenglin, mengatakan, warga Malipo sudah terbiasa mengonsumsi daun teh sebagai makanan atau kudapan. Namun, ini pertama kalinya daun teh dicampur ke dalam semua menu khas China dan disajikan pada satu kesempatan yang sama.
Inisiatif itu diambil pemerintah kota Malipo dalam rangka mempromosikan teh Malipo lebih luas lagi kepada dunia. ”Kita semua jadi saksi sejarah. Setelah hari ini, mungkin kreasi makanan China dengan dauh teh seperti ini bakal tenar. Kalian orang yang paling pertama mencicipinya,” tuturnya.
Yunnan memang terkenal sebagai provinsi pembuat teh. Teh paling tersohor adalah teh Pu’er dari kota Ning’er, yang dulunya bernama Pu’er. Teh Pu’er memiliki metode pembuatan yang unik karena daun teh difermentasi lalu dipadatkan. Produk akhirnya berbentuk seperti kue atau cakram bulat, bukan tumpukan daun teh kering.
Warga Malipo sudah terbiasa mengonsumsi daun teh sebagai makanan atau kudapan.
Shenglin mengatakan, teh Malipo masih kalah tenar dari teh Pu’er. Festival Teh Laoshan berskala internasional pun digelar pertama kalinya tahun ini di Malipo, agar Malipo bisa mengejar popularitas Pu’er. ”Ini penting karena perkebunan teh adalah sektor penggerak ekonomi di Malipo, yang berkontribusi mengangkat warga dari kemiskinan,” katanya.
Pohon teh kuno
Festival teh itu digelar di pusat kota Malipo, di lembah yang dikelilingi pegunungan. Semilir angin segar berembus sembari kami menikmati sajian teh di lapak-lapak penjual. Senyum lebar dan lambaian tangan warga Malipo menyambut di hampir setiap tikungan.
Meski mayoritas warga yang kami jumpai tak bisa berbahasa Inggris, keramahan mereka melampaui batas bahasa. Berbeda dari kota-kota metropolitan seperti Beijing, Guangzhou, dan Shanghai, kunjungan ke Malipo terasa menyegarkan. Menampakkan ”wajah” lain dari China yang unik, otentik, dan membumi.
Perkebunan teh adalah sektor penggerak ekonomi di Malipo, yang berkontribusi mengangkat warga dari kemiskinan.
Teh Malipo, sebagaimana teh lain dari Yunnan, berasal dari pohon teh kuno yang tumbuh liar, bukan dari lahan perkebunan. Pohon-pohon kuno ini dapat ditemukan di kawasan pegunungan Yunnan.
Proses pemetikannya lebih sulit, mengingat pohon kuno liar bisa tumbuh hingga 5-10 meter. Berbeda dari pohon teh di perkebunan yang biasanya hanya setinggi satu meter karena dipangkas berkala.
Pan Shuqian (40), petani dan pengusaha teh bermerek ”Laoshan in One Hundred”, misalnya, memetik daun tehnya dari pohon berusia 200 tahun. Ia tidak memiliki lahan perkebunan khusus sebagai basis produksi.
”Pohon teh kuno kami tersebar di barisan pegunungan di sini, melintasi sejumlah desa. Ada yang letaknya jauh di dalam hutan di gunung, jauh dari permukiman warga,” tuturnya.
Sembari bercerita, tangannya gesit menyiapkan teh untuk dicicipi pengunjung. Teh hijau yang ia produksi memiliki sentuhan unik rasa nutty. Namun, cara membuatnya harus sesuai aturan seni menyeduh teh ala China atau gong fu cha agar rasa unik itu keluar.
Shuqian pertama-tama membilas poci dan cangkir dengan air panas. Berikutnya, ia mengambil sejumput daun teh, memasukkannya ke poci, dan menyiramnya dengan air panas. Alih-alih menyeduhnya untuk diminum, air itu langsung dibuang. ”Ini hanya untuk ’membangunkan’ daun tehnya supaya lebih bersih dan harum,” ucapnya.
Setelah air bilasan pertama dibuang, barulah ia mengisi poci dengan air panas untuk menyeduh hasil rebusan teh yang siap diminum. Suhu air pun harus tepat, berkisar 70 derajat celsius, agar kualitas rasa dan aroma teh terjaga. Setelah beberapa detik, teh siap dihidangkan.
Teh Malipo, seperti teh lain dari Yunnan, berasal dari pohon teh kuno yang tumbuh liar, bukan dari lahan perkebunan.
Pengentasan dari kemiskinan
Shuqian bercerita, dalam rangka program pengentasan rakyat dari kemiskinan Malipo, produksi teh menjadi salah satu sektor utama yang dikembangkan. Pemerintah memberikan berbagai bantuan, asistensi, dan promosi untuk meningkatkan kualitas dan nilai tambah teh petani lokal.
Dibandingkan 20 tahun lalu, harga jual daun teh di tingkat petani kini meningkat pesat. ”Dulu, petani teh tinggal di rumah dari tanah liat. Sekarang, rumah petani sudah bagus-bagus,” kata Shuqian. Keluarganya kini bisa mempekerjakan total 20 orang di industri teh berskala kecil.
Teh Malipo kini sudah beredar di seluruh China, dan sedang bersiap menembus pasar ekspor. Shuqian pun menaruh harapan besar pada perhelatan Festival Teh Laoshan untuk membantu petani memperluas pasar dan mencegah mereka jatuh lagi ke garis kemiskinan.
”Apalagi setelah pandemi situasi lebih berat. Pemerintah memang sempat memberi bantuan, tetapi itu, kan, hanya sementara,” ujarnya.
Tak terasa, waktu berlalu cepat. Kunjungan hangat kami ke Malipo harus disudahi. Tak lupa, kami membeli sebungkus teh hijau sebagai kenangan, tersihir daya pikat teh Malipo yang serbaguna sebagai pelepas dahaga dan pengusir lapar.