Smelter Manyar d Gresik, Jawa Timur, yang dibangun PT Freeport Indonesia, ditargetkan mulai beroperasi 2024 dan beroperasi penuh pada akhir 2024.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berharap pembangunan Smelter Manyar milik PT Freeport Indonesia dapat diselesaikan sesuai target, bahkan dipercepat, hingga mampu mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun atau kapasitas penuh. Progres konstruksi ditarget 4 persen per bulan sehingga bisa mencapai 92 persen pada Desember 2023.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif meninjau langsung Smelter Manyar PT Freeport Indonesia (PTFI), di Gresik, Jawa Timur, Kamis (4/5/2023), didampingi Presiden Direktur PTFI Tony Wenas. Hal itu dilakukan setelah pemerintah memutuskan merelaksasi larangan ekspor konsentrat tembaga yang seharusnya diberlakukan mulai Juni 2023.
Arifin, di Jakarta, Jumat (5/5/2025), mengatakan, saat pertama kali mengunjungi smelter itu pada 2021, kondisinya baru land clearing. Kemudian, saat peletakan batu pertama pada Oktober 2021, pembangunan masih tahap awal. Namun, pembangunan saat ini dinilainya sudah masif.
”Pada (akhir) Maret (2023) kemajuan 61,5 persen dan April diharapkan menjadi 65 persen. Kami meminta (PTFI) berusaha (agar kemajuan) mencapai 4 persen per bulan. Mereka sampaikan, Desember itu mencapai 92 persen dan Mei 2024 sudah mulai commissioning (uji coba), lalu ke produksi, lalu ramp-up (meningkat),” kata Arifin.
Arifin juga meminta agar pengolahan konsentrat tembaga secara penuh Smelter Manyar bisa segera dipastikan. ”(Setelah produksi awal) masih ada lagi. Harus di-challenge agar bisa di-expedite (dipercepat). Supaya ketahuan pabrik ini benar-benar mampu mengolah 1,7 juta ton konsentrat atau tidak,” lanjutnya.
Sebelumnya, pada Jumat (28/4/2023), pemerintah memutuskan memperpanjang izin ekspor konsentrat tembaga kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, ekspor harus stop per Juni 2023.
Kemajuan konstruksi proyek Smelter Manyar yang dianggap signifikan pun menjadi salah satu pertimbangan pemerintah melonggarkan aturan. Pertimbangan lainnya ialah pandemi Covid-19 dan potensi kerugian yang ditimbulkan jika larangan ekspor diberlakukan tahun ini. Terlebih, 51 persen saham PTFI kini dimiliki Indonesia.
Vice President Corporate Communications PTFI Katri Krisnati, saat dikonfirmasi mengenai target pembangunan dan kemungkinan percepatan operasional penuh Smelter Manyar menjawab, ”Pre-commissioning dan commissioning akan dimulai setelah tahap konstruksi selesai di Desember 2023. Mei 2024 sudah mulai beroperasi dan beroperasi penuh pada Desember 2024,” ujarnya, Jumat.
Smelter Manyar ialah fasilitas pemurnian dan pengolahan konsentrat tembaga PTFI di Kawasan Java Integrated Industrial Estate (JIIPE) Gresik dengan luas total sekitar 100 hektar. Dengan kapasitas pengolahan 1,7 juta ton konsentrat per tahun, diharapkan akan mendukung hilirisasi yang digaungkan pemerintah.
Pada Kamis, Arifin juga meninjau smelter pertama PTFI yang kini dikelola PT Smelting. Saat ini sedang dilakukan ekspansi smelter guna menambah kapasitas pengolahan konsentrat dari sebelumnya 1 juta ton per tahun menjadi 1,3 juta ton per tahun. Pembangunan smelter ekspansi itu ditargetkan selesai pada akhir 2023.
Banyak faktor
Pengamat ekonomi yang juga dosen Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Rossanto Dwi Handoyo, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat, mengatakan, sejak 2021, nilai ekspor kumulatif tahunan Indonesia di atas 200 miliar dollar AS. Produk hilirisasi pertambangan memberi kontribusi signifikan.
Salah satunya produk turunan nikel seiring dengan kebijakan larangan ekspor bijih nikel pada 2020. Menurut Rossanto, ada berbagai faktor yang menyebabkan larangan serupa belum dapat diterapkan pada komoditas lain. Selain kesiapan industri penyerap, juga faktor kekalahan Uni Eropa dalam gugatan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait nikel.
”Meski sudah ada peraturan perundangan, pemerintah hati-hati dalam mengambil kebijakan. Kelebihan produksi barang mentah dan tak ada industri yang mengolahnya juga jadi pertimbangan (dalam menerapkan kebijakan). Pemerintah akan pelan-pelan agar smooth (mulus),” ujar Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Internasional Unair itu.
Sementara dari sisi investor, imbuh Rossanto, masih relatif wait and see. ”Investasi kan jangka panjang. Jangan sampai investor sudah membangun industri dengan infrastruktur masif, tetapi ada kelebihan produksi bahan baku sehingga keran ekspor (mineral mentah) dibuka kembali. Apabila pemerintah bisa konsisten dengan kebijakan, akan banyak investor masuk,” jelasnya.
Secara terpisah, pengamat ekonomi energi yang juga dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radhi, menilai, relaksasi larangan ekspor konsentrat tembaga menimbulkan diskriminasi terhadap pengusaha mineral lain, seperti nikel.
Inkonsistensi pemerintah pada aturan yang dibuatnya sendiri juga bisa berdampak negatif pada rencana hilirisasi yang selama ini digaungkan. Investor akan melihat ada ketidakpastian hukum. Padahal, tujuan mulia program hilirisasi ialah meningkatkan nilai tambah dan mengembangkan ekosistem industri.
Melihat apa yang terjadi pada nikel, larangan ekspor memang memberi dampak di awal penerapan. Namun, setelahnya nilai tambah berlipat-lipat. ”Sudah tidak ada win win solution, tetapi ini soal bagaimana ketegasan pemerintah. Sebelumnya, (dalam pidato) Presiden juga berani menghadapi WTO, kan,” kata Fahmy.