OJK: UMKM Menjadi Target Pangsa Pasar ”Peer to Peer Lending”
Sejak 2018 hingga Februari 2023, agregat penyaluran pendanaan P2P lending mencapai Rp 564 triliun. Dana tersebut disalurkan oleh 1 juta pemberi pinjaman atau lender kepada 106 juta penerima pinjaman.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Platform teknologi finansial atau tekfin berupa peer to peer lending menargetkan pangsa pasar usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM. Selain sebagai upaya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, sektor UMKM masih memiliki potensi yang besar bagi tekfin.
Hal ini disampaikan Direktur Pengawasan Financial Technology Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tris Yulianta dalam acara yang diadakan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dan Taralite, di Jakarta, Jumat (5/5/2023). Dalam diskusi bertajuk ”Mendorong Pemberdayaan Kelompok Underbanked melalui Peningkatan Akses Layanan Pendanaan Produktif”, UMKM dinilai sebagai salah satu sektor yang berpotensi untuk pengembangan peer to peer (P2P) lending.
Platform P2P lending adalah model pembiayaan yang mempertemukan antara debitor atau pemilik dana dengan kreditur atau orang yang membutuhkan dana dalam satu platform. Mengacu pada Peraturan OJK Nomor 10/POJK.5/2022, P2P lending telah ditetapkan sebagai lembaga jasa keuangan lainnya.
Tris menyebut, sekitar 65 juta pelaku UMKM di Indonesia mampu menyerap 120 juta tenaga kerja. Bahkan, sebanyak 96,9 persen tenaga kerja Indonesia berada di sektor UMKM. Sementara sektor UMKM turut menyumbang pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 60 persen.
”Persoalan utama dari UMKM adalah keterbatasan modal, kualitas sumber daya, pemasaran, dan penggunaan teknologi. Masih banyak para pelaku UMKM yang belum terserap. Sebagian besar dari mereka tidak mempunyai layanan yang bisa diterima lembaga jasa keuangan, seperti agunan,” ujarnya.
Di sisi lain, hampir 213 juta atau sekitar 70 persen dari total penduduk di Indonesia merupakan pengguna internet. Lebih lanjut, 167 juta atau 60 persennya adalah pengguna media sosial. Data tersebut menunjukkan, sebagian besar penduduk Indonesia telah mengenal teknologi.
Lalu, studi berjudul eConomy SEA 2022 menyebut, nilai ekonomi digital di Indonesia diprediksi akan mencapai 77 miliar dollar AS pada 2022. Sampai dengan tahun 2025, nilai ekonomi digital Indonesia diproyeksikan akan mencapai hingga 135 miliar dollar AS.
Masih banyak pangsa pasar yang belum tersentuh. Dengan internet dan teknologi, akses menggunakan fintek menjadi lebih mudah. Jika AFPI, para pelaku usaha, dan OJK berkolaborasi untuk menggarap prospek ini dengan serius, fintek akan berkembang lebih baik lagi.
”Artinya, masih banyak pangsa pasar yang belum tersentuh. Dengan internet dan teknologi, akses menggunakan tekfin menjadi lebih mudah. Jika AFPI, para pelaku usaha, dan OJK berkolaborasi untuk menggarap prospek ini dengan serius, tekfin akan berkembang lebih baik lagi,” lanjutnya.
Selama lima tahun terakhir, sejumlah 102 P2P lending sebagai Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) telah menyalurkan dana sekitar Rp 583 triliun dengan outstanding sebesar Rp 51 triliun. Penyaluran dana yang besar ini terjadi karena rata-rata jangka waktu tenor pinjamannya pendek dan peminjaman dilakukan secara berulang sehingga menghasilkan omzet yang besar.
Namun, dari omzet dan outstanding yang didapat, P2P lending hanya memiliki aset Rp 6 triliun. Ini karena P2P lending tidak memiliki portofolio, tetapi hanya mencatat secara administratif antara orang menyalurkan dana (lender) dan orang yang membutuhkan atau (borrower).
”Ada P2P lending yang asetnya hanya Rp 5 miliar, tapi penyalurannya mencapai Rp 20 triliun. Itu hanya dicatat secara administrasi. Lalu, aset dari P2P lending syariah dari tujuh platform mencapai Rp 129 miliar, tapi penyalurannya triliunan rupiah,” ucap Tris.
Kini, dari jumlah 109 juta rekening pengguna P2P lending yang tercatat hanya sekitar 17 juta rekening aktif. Di sisi lain, OJK terus menjalin kerja sama dengan sejumlah pemerintah daerah (pemda) dan UMKM, antara lain dengan Pemda Lombok dan 5.000 UMKM, dan Pemda Palangkaraya dengan 2.000 UMKM.
Literasi
Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dikeluarkan oleh OJK akhir tahun 2022 menunjukkan, indeks inklusi keuangan masyarakat Indonesia mencapai 85,1 persen, atau meningkat sebesar 76,19 persen dibandingkan tahun 2019. Sementara indeks literasi keuangan masyarakat mencapai 49,68 persen atau naik 38,03 persen dibanding tahun 2019.
Diketahui, inklusi keuangan merupakan akses bagi setiap individu atau sebuah bisnis untuk dapat memanfaatkan produk ataupun layanan keuangan. Sementara literasi keuangan adalah kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan keuangan dan pertimbangan biaya dengan percaya diri atas apa yang harus dilakukan.
Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko mengatakan, tantangan inklusi tidak begitu sulit dibandingkan dengan literasi. ”Kalau mau melihat tantangan literasi, cobalah lihat di media sosial atau Youtube. Cari mengenai pinjaman online, pasti yang muncul adalah bagaimana caranya supaya tidak membayar pinjaman. Ini adalah gambaran bahwa orang di luar sana yang berpikir bahwa uang ini gratisan,” katanya.
Padahal, para pemangku kepentingan seperti platform, OJK, dan industri sudah berupa memberikan edukasi. Namun, masih ada orang yang berusaha melawan upaya itu.
Oleh sebab itu, literasi menjadi pekerjaan rumah masyarakat. Agar industri ini berkembang, lanjut Sunu, jangan hanya dilihat dari satu sisi karena literasi bukan hanya soal membayar utang melainkan bagaimana manajemen risiko, mengatur keuangan, dan bagaimana meminjam sesuai kebutuhan.
Adapun gap antara tingkat literasi dan tingkat inklusi keuangan semakin menurun, yakni dari 38,16 persen di tahun 2019 menjadi 35,42 persen di tahun 2022. Walakin, masih banyak kelompok masyarakat yang perlu mendapatkan edukasi dan akses terhadap pendanaan.