Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kembali Normal seperti Sebelum Pandemi
Kondisi perekonomian Indonesia telah kembali seperti saat sebelum pandemi. Tingginya harga komoditas dan ”low-base effect” membuat Indonesia cenderung cepat pulih ketimbang negara lain.

Aktivitas bongkar muat peti kemas dari dan ke dalam kapal barang di terminal peti kemas New Priok Container Terminal (NPCT) 1, Jakarta Utara, Kamis (4/5/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi Indonesia telah kembali normal atau kembali seperti kondisi sebelum masa pandemi Covid-19. Namun, menurunnya harga komoditas berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa tumbuh lebih cepat.
Situasi pandemi Covid-19, pecahnya perang Rusia-Ukraina, inflasi, dan disrupsi rantai pasok global membuat sebagian besar analis ekonomi global menyebut awal tahun 2021 dan 2022 dengan istilah ”ketidakpastian”, ”pemulihan yang lebih lambat”, dan ”potensi resesi atau perlambatan ekonomi”. Sementara hingga awal tahun 2023, sekilas, performa perekonomian global selama tiga tahun terakhir selalu gagal memenuhi ekspektasi untuk bisa kembali ke kondisi ekonomi sebelum pandemi.
Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky memaparkan, Indonesia dalam tiga tahun terakhir telah mengalami kondisi perekonomian yang luar biasa atau extraordinary secara dua arah. Pertama, pada periode 2020-2021, perekonomian Indonesia berada di bawah normal, yakni pertumbuhannya berkisar 2-4 persen.
Sebaliknya, pada tahun 2022, Indonesia justru mengalami kondisi di atas normal atau jauh di atas trajektori jangka panjang, yakni pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebesar 5,31 persen. Bahkan, pada satu triwulan tahun 2022, Indonesia mampu mencatatkan pertumbuhan PDB 5,7 persen.

Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teuku Riefky (tengah) dalam acara rilis Indonesia Economic Outlook Q2-2023 bertajuk Back to the Old Normal yang diadakan oleh LPEM FEB UI, di Jakarta, Kamis (4/5/2023).
”Indonesia sudah kembali ke kondisi normal karena pertumbuhan ekonominya sudah berada di kisaran 5 persen, itulah yang terjadi di 2022. Terdapat efek-efek yang extraordinary sebelumnya sehingga pada tahun 2023 sudah ternormalisasi. Hal ini tampak dari tingkat konsumsi, investasi, dan aspek-aspek lainnya yang sudah kembali normal,” katanya sesuai acara rilis Indonesia Economic Outlook Q2-2023 bertajuk ”Back to the Old Normal”yang diadakan oleh LPEM FEB UI, di Jakarta, Kamis (4/5/2023).
Pertumbuhan PDB tersebut turut menjadi pencapaian Indonesia dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tahunan tertinggi selama 10 tahun terakhir. Pada akhir 2022, Indonesia juga kembali mencatat pertumbuhan yang lebih tinggi dari perkiraan, yakni sebesar 5,01 persen dibandingkan tahun sebelumnya pada triwulan IV-2022.
Menurut Riefky, ada beberapa faktor kombinasi yang membuat Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi, yakni windfall profit atau tingginya harga komoditas dan low-base effect kecenderungan pertumbuhan dari nilai yang awalnya rendah. Selama periode 2020-2021, Indonesia telah mengalami kondisi pertumbuhan ekonomi yang rendah sehingga secara teori, untuk tumbuh ke level yang lebih tinggi menjadi relatif mudah.
Kita sudah kembali normal, tapi normal kita sendiri sebelum pandemi memiliki banyak pekerjaan rumah.
”Bisa dibilang bagus sekaligus dikatakan ada kekurangannya. Bagus karena Indonesia sudah kembali ke kondisi normal dan jauh lebih cepat dibanding negara lain. Itu didukung dengan inflasi yang sudah normal dan nilai tukar rupiah yang cenderung baik,” lanjut Riefky.
Riefky menambahkan, kembalinya pertumbuhan ekonomi pada kondisi sebelum pandemi turut mengingatkan pemerintah terhadap pekerjaan rumah di masa itu. Menurut dia, Indonesia belum memiliki source of growth atau sumber pertumbuhan lain sehingga dari sebelum pandemi sampai sekarang, pertumbuhan cenderung stagnan di angka 5 persen.
Padahal, pertumbuhan yang diharapkan mampu menembus 5 persen, yakni berkisar 6-7 persen. Untuk mencapainya, pemerintah perlu mendorong investasi secara produktif, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, dan sumber daya manusia.
Baca juga: Jaga Kecukupan Pasokan
”Ini masih jadi pekerjaan rumah dan ini bukan hal baru, melainkanpekerjaan rumah yang terjadi bahkan sebelum pandemi. Kurang lebih 2023 seperti itu, kita sudah kembali normal, tapi normal kita sendiri sebelum pandemi memiliki banyak pekerjaan rumah,” ucap Riefky.
Pertumbuhan melambat
Kuatnya windfall profit atau commodity windfall seperti harga komoditas batubara, minyak kelapa sawit mentah (CPO), dan produk ekspor lainnya membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 bertahan. Hal itu turut didukung dengan permintaan domestik yang kuat, situasi pandemi yang mulai terkendali, dan aktivitas produksi.
Kondisi tersebut juga tecermin dari pertumbuhan sektor manufaktur yang menyumbang PDB terbesar pada tahun 2022 mencapai 4,89 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, pertumbuhan sektor manufaktur tercatat sebagai tingkat pertumbuhan tahunan tertinggi sejak tahun 2013.
LPEM FEB UI memproyeksikan, PDB akan terus tumbuh positif di angka 4,92 persen dibandingkan tahun sebelumnya pada triwulan I-2023. Sementara pada periode tahun 2023 (FY2023), PDB Indonesia akan tumbuh pada kisaran 4,9 persen hingga 5,0 persen.
Peneliti LPEM FEB UI sekaligus pengajar di FEB UI, Jahen F Rezki, menjelaskan, dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga yang mencapai 4,48 persen pada triwulan IV-2022 turut menjadi kontributor terbesar PDB tahun 2022. Setelah pembatasan sosial dilonggarkan dan pandemi Covid-19 mulai mereda, konsumsi rumah tangga di semua kelompok pengeluaran terus bertumbuh sebagai bentuk tingginya tingkat kepercayaan konsumen.

Tabel yang menunjukkan data pertumbuhan manufaktur dan subsektornya pada 2018-2022Q4
”PDB kita masih ditopang oleh konsumsi, tetapi ada kecenderungan bahwa konsumsi mengalami sedikit penurunan,” ujarnya.
Selanjutnya, pertumbuhan kredit terus meningkat, yakni 11,52 dibanding tahun sebelumnya pada triwulan IV-2022 atau menjadi level tertingginya sejak era sebelum pandemi. Ini mengindikasikan banyak orang yang mulai berani karena ekspektasinya terhadap kondisi ekonomi yang mulai pulih sehingga kemudian meningkatkan kapasitas produksinya.
Selain itu, inflasi tahunan pada bulan April 2023 sedikit menurun menjadi 4,33 persen dibandingkan tahun sebelumnya dengan kenaikan harga hanya tercatat pada kelompok pakaian dan alas kaki mengikuti penyambutan Idul Fitri. Ini mengindikasikan, masyarakat masih berbelanja saat Lebaran, tapi tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, realisasi investasi mencapai Rp 328,9 triliun pada triwulan I-2023 atau meningkat 16,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2022. Realisasi tersebut sekaligus telah mencapai 23,5 persen dari target realisasi investasi tahun 2023, yakni sebesar Rp 1.400 triliun.

Adapun 46,2 persen dari total realisasi investasi atau Rp 151,9 triliun berasal dari kategori penanaman modal dalam negeri (PMDN). Selebihnya, sebesar 53,8 persen atau Rp 177,0 triliun merupakan penanaman modal asing (FDI) yang menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan dunia usaha internasional di Indonesia cukup baik, bahkan meningkat sebesar 20,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Namun, neraca perdagangan Indonesia telah melewati akhir dari commodity windfall. Artinya, penurunan harga komoditas dapat menurunkan surplus perdagangan Indonesia di tahun 2023 karena ekspor masih bergantung pada bahan mentah dan komoditas.
”Indonesia sudah kembali ke level sebelum pandemi melanda. Terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah, yakni menggenjot investasi, penciptaan nilai tambah dalam negeri, dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja,” tutur Riefky.
Adapun estimasi penurunan surplus perdagangan sebagian telah tecermin dalam surplus perdagangan yang lebih rendah pada triwulan I-2023 dibandingkan dengan surplus di triwulan IV-2022 akibat turunnya ekspor dan impor. Ini karena harga komoditas yang terus turun dan prospek ekonomi global yang suram sehingga Indonesia mungkin tidak tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya di akhir tahun 2022.

Tabel yang menunjukkan data neraca perdagangan bulanan Indonesia dalam bentuk nominal
LPEM FEB UI memproyeksikan, PDB akan terus tumbuh positif di angka 4,92 persen dibandingkan tahun sebelumnya pada triwulan I-2023. Sementara pada periode tahun 2023 (FY2023), PDB Indonesia akan tumbuh pada kisaran 4,9 persen hingga 5,0 persen.
Harga komoditas
Selama lima tahun terakhir, komoditas nonmigas telah menyumbang lebih dari 90 persen nilai ekspor Indonesia. Pada Maret 2023, neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus senilai 2,91 miliar USD yang sekaligus menyambung capaian surplus sebelumnya selama 35 bulan berturut-turut.
Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global LPEM FEB UI Mohamad Dian Revindo menyebut, pencapaian tersebut disumbangkan oleh neraca nonmigas yang mencapai 4,58 miliar dollar AS. Adapun neraca migas kembali mencatatkan defisit senilai 1,67 miliar dollar AS.
Terdapat tujuh jenis komoditas ekspor utama Indonesia, yaitu minyak mentah, minyak sawit, besi dan baja, komponen kelistrikan, kendaraan bermotor, perhiasan, dan karet. Adapun lima produk impor yang mendominasi adalah bahan bakar minyak (BBM), mesin, alat kelistrikan, besi dan baja, dan plastik.

Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global LPEM FEB UI Mohamad Dian Revindo dalam acara rilis Indonesia Economic Outlook Q2-2023 bertajuk Back to the Old Normalyang diadakan oleh LPEM FEB UI, di Jakarta, Kamis (4/5/2023).
”Sejak pandemi Covid-19 melanda pada awal tahun 2020, perubahan yang terlihat jelas adalah penurunan drastis kontribusi sektor industri pengolahan dan penurunan tipis kontribusi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada satu sisi. Di sisi lain, terjadi kenaikan drastis kontribusi sektor pertambangan dan penggalian,” ujarnya.
Perubahan tersebut, lanjut Revindo, menjadi indikasi awal kembalinya peran penting sektor ekstraktif dalam perekonomian Indonesia. Meningkatnya permintaan dan harga mineral dan batubara di pasar global tidak boleh menyurutkan upaya pemerintah untuk melanjutkan secara konsisten agenda hilirisasi dan peningkatan nilai tambah barang tambang domestik.
Baca juga: 2022, Perekonomian RI Tumbuh 5,31 Persen
Menurut Revindo, kinerja positif ekspor dan neraca perdagangan selama 35 bulan terakhir hanyalah salah satu modal untuk menopang pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Untuk dapat menjadi jangka menengah dan panjang, pemerintah perlu meningkatkan diversifikasi komoditas ekspor, diversifikasi mitra dagang, dan konsisten dalam modernisasi industri pengolahan nasional.