Cakupan Kepesertaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Perlu Ditingkatkan
Perlindungan pekerja harus diutamakan menghadapi tren pasar kerja yang semakin fleksibel. Salah satu bentuk perlindungan ini berupa jaminan sosial.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penguatan jaminan sosial menjadi salah satu kunci untuk melindungi pekerja di tengah fenomena pasar tenaga kerja yang semakin fleksibel. Pemerintah perlu memastikan seluruh penduduk bekerja tercakup dalam kepesertaan jaminan sosial.
Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjudin Nur Effendi berpendapat, regulasi ketenagakerjaan di Indonesia, termasuk Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, masih cenderung mengatur pekerja formal. Padahal, beberapa tahun terakhir berkembang pasar tenaga kerja yang semakin fleksibel. Fenomena ini, salah satunya, ditandai dengan kemunculan warga yang bekerja sebagai mitra bagi perusahaan platform teknologi digital.
”Pada saat pembatasan sosial karena pandemi Covid-19, banyak mitra terdampak. Pengemudi ojek daring, misalnya. Kebanyakan di antara mereka belum jadi peserta program jaminan sosial sehingga ketika pandemi datang, beban mereka bertambah,” ujar Tadjudin saat menjadi pembicara pada diskusi Forum Merdeka Barat 9 bertajuk ”UU Ciptaker Dorong Perlindungan Kerja Buruh”, Selasa (2/5/2023), di Jakarta.
Beberapa tahun terakhir berkembang pasar tenaga kerja yang semakin fleksibel.
Selain mereka yang bekerja sebagai mitra, Tadjudin menyebut adanya potensi pekerja lepas bertambah. Ini berpeluang meningkatkan proporsi pekerja informal. Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS), proporsi pekerja informal pada Agustus 2019 mencapai 55,88 persen, naik menjadi 60,47 persen pada Agustus 2020, dan turun tipis menjadi 59,45 persen pada Agustus 2021. Pada Agustus 2022, proporsi pekerja informal sebesar 59,31 persen.
”Perlindungan penduduk bekerja itu harus diutamakan di tengah fenomena perkembangan pasar tenaga kerja yang fleksibel. Bagaimana melindungi mereka semua? Harus melalui kepesertaan jaminan sosial yang merata,” katanya.
Sesditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Surya Lukita Warman, dalam forum yang sama, membenarkan bahwa pola hubungan kemitraan tidak diatur dalam UU No 6/2023. Meski demikian, pemerintah telah menaruh perhatian kepada warga yang bekerja dalam pola hubungan kemitraan.
Sejauh ini, Kemenaker gencar mendorong perusahaan platform teknologi digital yang menyediakan pola hubungan kemitraan agar turut memfasilitasi mitra mereka terdaftar sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan. Dia menyatakan, sudah ada sejumlah pengemudi angkutan daring tercatat sebagai peserta sehingga mereka bisa mengakses jaminan sosial kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan sosial kematian (JKM).
Pemerintah bersama DPR juga masih membahas Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tanggal (RUU PPRT). Dia berharap pembahasan bisa segera selesai. Dengan begitu, PRT yang selama ini bekerja di ranah informal mendapat perlindungan hukum dari negara.
”Dalam UU No 6/2023 diamanatkan bahwa pekerja alih daya (yang biasanya punya hubungan kerja waktu tertentu/sementara) tetap dilindungi oleh pemerintah. Jenis-jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan dibatasi dan akan diatur dalam peraturan pemerintah,” kata Surya.
Dalam UU No 6/2023 diamanatkan bahwa pekerja alih daya (yang biasanya punya hubungan kerja waktu tertentu/sementara) tetap dilindungi oleh pemerintah.
Dia menekankan, pemerintah melalui Kemenaker berusaha merumuskan konsep kebijakan perlindungan yang lebih matang dan akan lebih spesifik. Segala upaya meningkatkan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan juga jadi prioritas pemerintah.
Sejauh ini, mereka yang tidak bekerja di sektor industri formal, termasuk bekerja sebagai mitra perusahaan platform teknologi digital, PRT, dan pekerja lepas, masuk kategori peserta bukan penerima upah (BPU) di program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Mengutip akun resmi Kemenaker di Instagram, jumlah tenaga kerja aktif dan nonaktif dalam kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan mengalami kenaikan dari 2020 ke 2022. Pada tahun 2020, jumlahnya tercatat 29.980.082 orang, tahun 2021 sebesar 30.660.901, dan tahun 2022 meningkat menjadi 35.864.017 orang.
”Dari sekitar 35 juta pekerja peserta jaminan sosial ketenagakerjaan, mungkin hanya sekitar 5 juta peserta yang masuk kategori BPU. Angka pastinya saya belum pegang, tetapi memang peserta BPU masih rendah. Kami dan BPJS Ketenagakerjaan telah sepakat untuk gencar sosialisasi supaya tingkat kepesertaan BPU naik,” imbuh Surya.
Pada saat bersamaan, Ketua Umum Serikat Pekerja Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Lukman Hakim mengatakan, serikat pekerja/buruh sejak lama menginginkan perombakan besar-besaran regulasi ketenagakerjaan agar relevan dengan dinamika pasar tenaga kerja. Keinginan ini pun sempat muncul ketika pemerintah mengumumkan akan mengeluarkan omnibus law Cipta Kerja.
Akan tetapi, dalam perjalanannya, dia mengakui terjadi gejolak pasca-omnibus law Cipta Kerja disahkan. Di antara serikat pekerja/buruh bahkan ada yang berencana menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Gejolak tersebut perlu dimaknai agar pemerintah meningkatkan forum musyawarah agar tercipta komunikasi yang harmonis dalam perumusan peraturan turunan.
”Tidak banyak pekerja masuk serikat. Pemerintah seharusnya bisa menciptakan satu forum supaya perumusan kebijakan bisa imbang,” tutur Lukman.